Oleh: Lalang Darma - Praktisi Media
Sebentar lagi, bangsa Indonesia bakal mengikuti Pemilu 2019, yang tidak lain ditujukan untuk memilih para calon pemimpin yang baru, baik yang duduk di pemerintahan (eksekutif) maupun di DPR (legislatif). Hiruk pikuk spekulasi cawapres pendamping Jokowi menghiasi beragam diskusi di media massa. Lumrah, mengingat batas pendaftaran kandidat capres dan cawapres pilpres 2019 makin dekat. Partai berlambang banteng PDI Perjuangan (PDIP) deklarator pertama capres untuk pilpres 2019 dengan memajukan lagi Jokowi, kini sedang mencari pendamping yang cocok sebagai cawapres Jokowi. Banyak analisis Prabowo masih akan maju, publik menunggu pengumuman resmi dari koalisi Gerindra dan PKS.
Ini bagian dari khasanah politik demokrasi saat ini. Bicara politik sejatinya merupakan aktivitas kunci untuk mengurusi urusan umat di dalam dan di luar negeri. Dalam Islam, politik dalam negeri ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan warga negara, melayani kepentingan-kepentingan mereka, menyelesaikan problem yang mereka hadapi, meningkatkan tarap hidup mereka, dll. Hal ini mengharuskan sikap lembut, perhatian atas keberatan-keberatan dan kondisi masyarakat, serta toleransi atas sedikit kesalahan dan kekurangan mereka.
Hari ini bangsa ini menghadapi banyak tantangam suksesi kepemimpinan. Biaya politik yang tinggi membuat partai politik membutuhkan dana yang besar terutama untuk kampanye dan merawat konstituen. Biaya pemilu 2019 mendatang pun diperkirakan lebih mahal daripada pemilu 2014, terlebih setelah sistem pemilu semakin terbuka serta ideologi dan masyarakat semakin cair. Biaya politik tinggi itu menjadi ciri bawaan demokrasi kapitalisme. Pemilihan penguasa dan wakil rakyat melalui pemilu membutuhkan dana yang besar untuk membangun citra, mengenalkan calon, mendapatkan kendaraan partai, membujuk pemilih, menggerakkan mesin partai, dan sebagainya. Untuk dapat masuk dalam sistem politik seperti itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki modal uang.
Modal terkenal dan ketokohan saja belum cukup. Terlebih lagi ketika rakyat pun terformat menjadi pragmatis dan melihat kepentingan sesaat akibat didikan sistem politik pragmatis ini dan oleh sikap pragmatis politisi dan penguasa. Dalam hal seperti ini, politik uang ‘money politic’ menjadi hal lumrah. Dalam kamus kapitalis, motivasi yang ada hanyalah motivasi materi dan mendapatkan keuntungan materi. Sistem politik yang melibatkan modal pun akhirnya dikelola seperti halnya industry menjadi sebuah industri politik. Biaya yang dikeluarkan dianggap sebagai modal yang ditanam dan harus kembali berikut keuntungan. Dalam sistem seperti ini, masuknya modal atau biaya tinggi membuat praktek politik transaksional menjadi biasa.
Jika politisi atau calon penguasa tidak punya modal sendiri, modal tersebut dapat didapatkan dari para cukong kapitalis yang siap memberikan modal. Maka lahirlah kolaborasi (persengkongkolan) pemodal dengan politisi dan penguasa. Biaya yang diberika cukong itu adalah modal yang dia tanam dan tentu saja harus kembali berikut keuntungannya. Politisi dan penguasalah yang harus merealisasikan itu atau setidaknya memberikan jalan. Akhirnya, disamping kepentingan sendiri, kepentingan cukong kapitalis menjadi yang lebih utama. Disamping itu, biaya politik yang tinggi itu juga diduga menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi. Pasalnya, biaya yang telah dikeluarkan harus kembali. Segala cara akan ditempuh untuk menegembalikan modal itu sekaligus mengumpulkan modal untuk proses berikutnya.
Selain korupsi, menjadi makelar baik makelar jabatan atau anggaran pun jadi. Terlebih lagi memang politisi khususnya wakil rakyat memiliki pengaruh terhadap penentuan jabatan dan anggaran melalui kekuasaan anggaran, legislasi, dan control terhadap eksekutif. Pada akhirnnya, terjadilah persengkongkolan pemodal-politisi-penguasa/pejabat. Kepentingan mereka dan kelangsungan posisi, jabatan dan kekuasaan menjadi yang mereka utamakan. Kepentingan rakyat tidak lebih hanyalah dijadikan komoditi, barang jualan selama kampanye.
dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B.Hayes pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusaahan, oleh perusahaan, dan untuk perusahaan). Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat, yakni para pemilik modal.
Bangsa ini mencari sosok pemimpin ideal. Berbicara tentang kepemimpinan seharusnya tidak hanya terbatas pada sosok orangnya, tetapi juga sistem pemerintahan. Semua nash al-Quran dan al-Hadis yang berbicara tentang kepemimpinan senantiasa menyinggung kedua aspek ini, baik secara tersurat maupun tersirat. Baginda Rasulullah saw., misalnya, selain sebagai pengemban risalah, adalah juga seorang kepala Negara. Sistem pemerintahan yang beliau jalankan tidak lain adalah sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan syariah Islam.
Ijmak Sahabat tentang wajibnya mengangkat sekaligus membaiat khalifah pun tidak terlepas dari kedua aspek ini: sosok pemimpin dan sistem pemerintahan yang dijalankannya. Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka adalah sosok para pemimpin Kekhilafahan Islam. Khilafah Islam tidak lain adalah sistem pemerintahan yang didasarkan pada syariah Islam, yang dicirikan dengan penerapan syariah Islam itu secara total dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan bernegara. Lalu mengapa saat ini para penguasa Muslim enggan menerapkan syariah Islam dalam negara sebagai bukti bahwa mereka benar-benar meneladani Rasulullah saw.? Mengapa mereka enggan mengatur urusan ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, budaya, pendidikan, peradilan dll dengan hukum-hukum Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam? [IJM]