Oleh: Arin RM, S.Si
Di antara tuntutan aksi yang disuarakan, maka akan didapati bahwa sejatinya apa yang disuarakan hanyalah dalih. Ada maksud lain terselubung, ada upaya mengusik kehidupan perempuan Indonesia yang religius dengan nuansa Islam sebagai agama mayoritas, dan tentunya ada aroma liberal yang turut menyeruak.
Laman nasional.tempo.co (4/3/2018) menuliskan ada delapan tuntutan yang dibacakan perwakilan masa di depan umum pada saat aksi Women’s March lalu. Dan masing-masing poin dapat dikaji sebagai berikut: Pertama: “Membangun kembali masyarakat yang toleran dan mengormati keberagaman.” Keberadaan masyarakat yang toleran sebenarnya sudah lama ada dan hidup dalam keseharian penduduk Indonesia.
Hanya saja, perihal toleransi ini sempat terkoyak dan memanas tatkala ada seorang calon kepala daerah yang menyentil ketenangan tersebut dengan mengungkapkan penghinaan kepada salah satu ayat Al Quran. Reaski oancingan tersebut wajar jika memicu aksi dari ummat Islam, sehingga inilah yang memberikan energy bagi ummat untuk bersatu membela kehormatan agamanya dengan melakukan berbagai aksi, meminta pelaku dihukum.
Aksi tersebut juga memunculkan kesadaran bagi kaum muslim diuntuk memilih pemimpin sesuai dengan keyakinannya, inilah yang dinamakan oleh mereka intoleran –tak menghormati keberagaman-. Padahal jelas yang dilakukan muslim sebagai mayoritas hanyalah menjalankan keyakinanya. Masyarakat yang didominasi muslim pun terbiasa dengan keragaman kebiasaan selain muslim selama tidak dalam hal yang dilarang agama. Sehingga jika keberagaman yang dimaui itu lahir dari kebebasan yang kebablasan seperti munculnya LGBT, maka jelas tidak akan diterima. Mengapa, sebab Islam melarang akan hal itu. Jadi frase intoleran ini pun salah alamat jika dimaksudkan untuk hal yang demikian.
Kedua: “Membangun infrastruktur hukum dan kebijakan yang pro keadilan gender.” Ide ini mengemuka lantaran banyak di antara kasus kekerasan fisik dan seksual yang belum berpihak pada korban (mayoritas perempuan), sehingga tidak salah jika memang perlu ditegakkan keadilan hukum atas hal ini. Hanya saja fokus pada korban tak boleh melupakan pada pelaku dan kondisi yang menyertai pelaku untuk berbuat jahat, termasuk faktor apa yang dilakukan oleh perempuan sehingga memunculkan kesempatan adanya kejadian tak diinginkan. Sudahkan perempuan menjaga kehormatannya, berpakaian menutup aurat misalnya? Sudahkah memperhatikan kondisi saat beraktivitas seperti ditemani mahrom saat bepergian jauh atau keluar di malam yang larut?
Ketiga: “Meminta agar lebih aktif dan komprehensif dalam membuat dana untuk program terkait perempuan.” Program terkait perempuan bervariasi, mulai dari perbaikan pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga ekonomi. Pengucuran dana untuk perempuan hendaknya bisa memunculkan kontribusi yang lebih baik bagi terlaksananya peran perempuan sebagai pencetak utama dan pertama generasi yang berkualitas, sebagai menejer terbaik bagi keberlangsungan rumah tangganya agar terwujud sakinah mawadah dan rohmah.
Apabila sebaliknya, yakni hanya menjadikan bagian dari penggerak roda ekonomi dengan menarik perempuan ke dalam lingkungan kerja, maka tidaklah akan memunculkan kebaikan di masa depan. Fenomena lost generation di Jepang sekiranya bisa menjadi pembelajaran, bahwa tercerabutnya peran wanita dari fitrahnya sebagai ummun wa rabbatul bait menyebabkan kelahiran menurun dan generasi muda yang ada jauh dari visi misi pengisi peradaban, sebab jiwa-jiwa mereka kosong dari nilai religi kendati secara fisik dibalut kecanggihan teknologi.
Keempat: “Mengajak masyarakat untuk ikut perhatian pada isu lingkungan hidup, perubahan iklim, dan kaitannya dengan hak-hak pekerja perempuan.” Ujung dari tuntutan ini lebih mengarah pada disahkannya RUU Pekerja Rumah Tangga. Benar tidak ada larangan bagi perempuan untu bekerja jika memang benar-benar dalam kondisi membutuhkan dan tidak ada wali yang menanggungnya.
Namun demikian, jika arahan yang dimau adalah untuk menggencarkan kapitalisasi perempuan justru tak layak dituruti. Kapitalisasi perempuan dengan memasifkan keterlibatan perempuan tak selalu menyenangkan, kebanyakan dunia kerja memberikan peluang bekerja bergaji minim yang justru akan merugikan kaum perempuan. Dengan dalih perbaikan finansial, perempuan sebenarnya dilibatkan dalam perputaran penyerap barang dan jasa yang diproduksi masal oleh para kapital.
Kapitalis canggih membaca hobi belanja di kalangan kaum hawa, sehingga mereka mau populasi yang besar ini memberikan kontribusi bagi datangnya pundi rupiah mereka. jalan yang ditempuh adalah dengan memberi mereka uang, dengan menarik mereka ke dunia kerja, tak perduli dengan itu mereka harus dijauhkan dari keoptimalan tugasnya sebagai istri dan ibu sekaligus pendidik generasi. Jadi, kemaslahatan seperti apa yang akan disuguhkan di bangunan keluarga Indonesia?
Kelima: “Membangun kebijakan dan pelayanan publik yang pro pada perempuan.” Tuntunan seperti ini sebenarnya akan terskip secara otomatis apabila pelayanan publik sudah memadai. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa keberadaan layanan publik memang banyak yang kurang memadai, termasuk di antaranya ketersediaan ruangan khusus yang menjaga privasi perempuan (missal ruang laktasi,- pen).
Namun, mengingat kebutuhan ini vital bagi semua kalangan, maka alangkah jauh lebih baik jika pelayanan ditingkatkan da diperbaiki kualitasnya untuk semua khalayak, naik laki-laki maupun perempuan. Konsep seperti ini akan lebih adil bagi setiap warga Negara.
Keenam: “Mengajak agar memenuhi HAM dan hak seksualitas bagi individu dan kelompok dengan orientasi seksual berbeda.” Poin ini perlu dicermati dengan serius. Mengenai hak sesksual individu, telah dinyatakan dengan jelas bahwa Islam mewajibkan adanya pernikahan bagi mereka yang sudah baligh dan mampu. Islam sama sekali tak mentolerir aktivitas pemenuhan seksualitas di luar jalur halal meskipun dengan berdalih pemenuhan hak. Al Isra ayat 32 pun dengan tegas melarang hal-hal yang mendekatkan pada perbuatan zina, siapapun itu baik laki-laki maupun perempuan.
Larangan ini tak serta merta dijadikan sasaran untuk di protes dengan tuduhan bahwa Islam mengekang hak seksualitas, sebab secara terperinci Islam memiliki aturan runtut bagaimana mengarahkan naluri pada manusia. Selain naluri seksual yang di antara penampakannya adalah adanya ketertarikan pada lawan jenis, manusia juga memiliki naluri mempertahan diri (survival instinc) dan juga naluri beragama.
Ketiga naluri ini kemunculannya tidak serta merta dating dari dalam diri, sebagaimana rasa haus dan lapar. Kemunculan berbagai naluri ini salah satunya diakibatkan oleh pemicu dari luar (rangsangan eksternal), sehingga sebenarnya masih dapat bertahan hidup andaikan tidak terpenuhi sempurna. Pun jikalau sudah memuncak namun belum memenuhi syaratnya, maka masih bisa dialihkan dari pemicu-pemicunya. Oleh karenanya, ketika kecenderungan menyukai lawan jenis meninggi namun belum memenuhi syarat menikah, maka diarahkan untuk berpuasa.
Dengan berpuasa, naluri beragama seseorang akan cenderung meningkat, akan muncul dorongan kuat untuk melaksanakan ibadhah mahdhah, mendekatkan diri kepada Allah. Kesibukan untuk terus bertaqarub ini secara tidak langsung akan mengalihkan dan sekaligus menekan naluri yang lainnya.
Sedangkan frasa kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda ini siapa yang dimaksudkan? Apakah mereka yang tergabung dalam komunitas “kaum pelangi”? jika benar demikian arahnya, maka upaya pemenuhan tuntutan ini sama saja dengan menantang Allah, menghalalkan apa yang sudah di larangNya dengan tegas. Dan sama sekali tak layak untuk didukung, termasuk dikampanyekan oelh kaum perempuan.
Ketuju: “Memperhatikan hak politik perempuan.” Aktivitas politik perempuan tidak cukup diukur dari angka partisipasi 30% di parlemen sebagaimana harapan PBB. Perempuan yang hendak berkiprah politik hendaknya memahami juga esensi politik sebagai aktivitas mengelola urusan ummat, bukan sebatas berebut kekuasaan dalam demokrasi.
Banyaknya perempuan di lingkuangan kekuasaan belum tentu menjadi kunci selesainya permasalahan yang menimpa perempuan selama paradigma pengurusan urusan ummat (termasuk perempuan di dalamnya) didasarkan pada prinsip penguasa sebagai regulator publik, bukan sebagai penanggung jawab utama agar segala urusan ummat terselesaikan tanpa membayar.
Terlebih saat ini sebenarnya keterlibatan perempuan di ranah publik justru lebih tinggi dibanding laki-laki. Siswi di berbagai jenjang pendidikan, jumlah mahasiswi, jumlah karyawati, bahkan angka harapan hidup perempuan pun sudah lebih tinggi dari laki-laki.
Jadi keberadaan pesanan global untuk menarik perempuan dari ranah domestik dengan mengangkat isu gendernya sangat terasa dalam kampanye ini. Terlebih hal tersebut nyata tersebutkan dalam poin Kedelapan: “Mengajak agar lebih peduli pada isu perempuan dan dampak kebijakan internasional dari seluruh dunia.”
Dari paparan di atas, apa yang diaruskan pejuang feminis tidaklah memberikan dampak yang baik bagi perempuan Indonesia yang mayoritas muslim. Keberadaan HAM sebagai bungkus perjuangan mereka hanya akan membawa pada ranah kebebasan yang sebenarnya keluar dari aturan Islam. Sedikit demi sedikit parempuan akan dibuai untuh meninggalkan kodratnya sebagai sosok agung, ratu di kerajaan rumah tangganya yang berperan sebagai ibu sekaligus pengatur rumah tangga.
Ketercerabutan sang ratu ini akan disambut dengan rusaknya generasi. Rusaknya generasi akan diiringi dengan mudahnya Negara di kuasi penjajah SDA. Penjajah akan bergelimang jarahan, sementara kita akan berjibaku dengan kerusakan yang mematikan. Jika demikian adanya, apakah masih perlu diperjuangkan?[MO]