Oleh : Khamsiyatil Fajriyah, S.Pd
Mediaoposisi.com- UU MD3 telah disahkan meski tanpa persetujuan presiden. Berarti badan legislatif sebagai salah satu kekuasaan di negara demokrasi ini telah memasang superbodynya. Dengan pasal-pasal kontroversial, seperti pasal 73 yang memberikan wewenang bagi lembaga legislatif untuk memànggil siapapun dengan alasan apapun dan pasal 245 yang memberikan imunitas hukum bagi anggota parlemen, banyak pihak yang menuding nantinya badan legislatif ini akan bebas bertindak sewenang-wenang. Memanggil siapapun yang dikehendakinya dan berbuat kejahatan merugikan kepentingan rakyat akan menjadi implementasi dari pasal-pasal tersebut.
Pelan namun pasti demokrasi menunjukkan wajah aslinya. Selama ini kita memahami bahwa demokrasi adalah suatu sistem politik yang sempurna. Bila ada kesalahan, semua itu hanyalah malpraktek. Seperti untuk UU MD3 ini, banyak pihak yang melihatnya sebagai UU yang memberi citra buruk kepada demokrasi yang sudah berjalan dengan baik di negara ini. Padahal sejatinya UU MD3 adalah konsekuensi dari demokrasi.
Legislatif adalah salah satu kekuasaan dalam trias politika. Badan ini ada sebagai wakil rakyat untuk membuat undang-undang. Meskipun legislatif hanya merupakan salah satu kekuasaan dalam trias politika, lembaga ini terlihat sangat menonjol daripada eksekutif dan yudikatif. Karena legislatif sebagai perwujudan rakyat, badan ini lah yang menyerap aspirasi rakyat, membuat undang-undang yang konon adalah untuk kepentingan rakyat. Hal itu yang menjadi ruh demokrasi.
Untuk melaksanakan tugasnya ini, parlemen butuh hak untuk dilindungi. Hak agar ia bisa membuat undang-undang sebebas-bebasnya. Inilah yang melahirkan UU MD3. Dengan UU MD3, legislatif bisa melaksanakan tugasnya dalam menyusun undang-undang. Secara personal tidak boleh ada yang 'menyentuhnya', secara wewenang juga tidak boleh ada yang 'mengganggunya'. Terbukti apa yang disebutkan oleh Socrates dalam buku Encyclopedia Britannica bahwa dalam demokrasi banyak orang tidak senang jika pendapat mereka disanggah sehingga mereka membalas dengan kekerasan. 'Orang baik berjuang untuk keadilan dalam sistem demokrasi akan terbunuh," katanya.
Sistem politik Islam yang selama ini dituduh cenderung bertindak otoriter karena kekuasaannya bertumpu pada satu orang, secara konsep dan praktek telah menghilangkan penguasa otoriter. Dalam islam, pembuat UU bukanlah Khalifah. Khalifah hanyalah wakil rakyat yang menegakkan hukum syara' atas mereka. Mahkamah madholim ada untuk menghilangkan kedholiman yang dilakukan khalifah, penguasa yang ada di bawahnya, dan aparat pemerintahan dalam melakukan pelayanan kepada umat.
Tidak ada satupun dari mereka yang kebal hukum. Karena pembuat hukum bukanlah dari salah satu mereka, tetapi dari Dzat Pencipta alam semesta ini, Yang Maha Pengatur dan Maha Adil. Dan bila ada penyelewengan oleh para penguasa, Islam mewajibkan umat Islam untuk menasehatinya. Rasulullah SAW memberi predikat sekaligus pertanda 'imbalan' bagi orang yang paling depan menasehati penguasa dan terbunuh sebagai pemimpin para syuhada'. Predikat yang sangat mulia dan menggiurkan bagi orang yang beriman, yang memiliki cita-cita tertinggi sebagai syahid.
Implementasi menasehati,memberi saran dan masukan bagi pemimpin juga bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Bisa dilakukan oleh semua warga negara, muslim dan non muslim. Telah masyhur dalam Sirah Nabi, Rasulullah acap kali diprotes, diberi masukan oleh para sahabat beliau. Rasulullah menerima saran sahabat untuk menguasai sumber air pada saat perang badar. Dengan lapang dada beliau menerima protes dari seorang petani anshor tentang pengairan. Hal seperti itu diteladani oleh para Kahulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah sesudahnya.[MO]