-->

Menimbang Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan Kesejahteraan

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Oleh: Dr. Fahrur Ulum, MEI - Peminat Ekonomi Syariah

Dalam sebuah tulisannya, Salamudin Daeng menyarankan para pejabat untuk meningkatkan belanja agar mampu berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan (mungkin) secara berseloroh ia mengatakan agar para pejabat negara bisa berpesta pora setiap hari, entah itu menikahkan anaknya atau menikah lagi, supaya bisa belanja banyak dan simultannya mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi.

Memang, pada kuartal III 2017 ini pertumbuhan perekonomian Indonesia mencapai 5,06%, lebih baik dari kuartal sebelumnya yang hanya 5,01%. Pertumbuhan ini dipicu oleh peningkatan ekspor 10,44% dibanding tahun sebelumnya. Selain itu juga didorong oleh perbaikan harga komoditas minyak dan gas bumi. Faktor lain yang biasanya menunjang pertumbuhan ekonomi adalah belanja negara. Nah mungkin ini yang dimaksud oleh Salamudin Daeng untuk meningkatkan belanja sehingga mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi.

Persoalannya sekarang adalah apakah pertumbuhan ekonomi menjadi masalah urgen dalam perekonomian? Apakah ekonomi yang tumbuh serta merta menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat?
Paradigma kapitalisme memang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai standar keberhasilan pembangunan. Indikator yang digunakan adalah pertumbuhan produk domestic bruto dan produk nasional bruto. Produk domestic bruto (PDB) yang dibagi dengan jumlah penduduk menghasilkan Income Percapita (IP). Jika IP ini tinggi, maka disinyalir perekonomian negara tersebut baik. Makanya penganut kapitalisme memiliki prinsip “more is better”.

Faktanya,  belum tentu lebih banyak itu lebih baik. Bisa saja banyak itu tidak menjadikan lebih baik ketika yang banyak itu tidak menambah kebaikan bagi individu maupun komunitas. Misalnya yang banyak itu adalah barang-barang yang akan merusak moral seperti minuman keras, jasa prostitusi dan sebagainya. Selanjutnya penghitungan per capita gross national product (GNP) juga seringkali menipu. Hal ini karena bisa jadi pertumbuhan ekonomi ditopang oleh sekelompok kecil bagian masyarakat. 

Sistem ekonomi kapitalis tidak memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi itu betul-betul nyata sebagai buah dari kegiatan ekonomi rill seperti pengerjaan proyek pembangunan dan jual-beli barang dan jasa, ataukah berasal dari sektor non-riil dan keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, reksadana dan lainnya yang cenderung menghasilkan pertumbuhan semu.

Sementara itu dalam sistem ekonomi Islam, sektor finansial tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pertumbuhan. Sektor non riil ini dianggap tidak ada karena memang pada hakekatnya tidak ada. Pertumbuhan ekonomi dalam sistem ekonomi Islam adalah pertumbuhan yang nyata dan stabil. Pertumbuhan dalam Islam hanya diakibatkan dari sektor kegiatan ekonomi yang nyata. Pertumbuhan ekonomi tersebut didorong di antaranya dengan memastikan bahwa uang terus beredar. Caranya, dengan melarang penimbunan uang atau emas, melarang pembungaan uang-- yang notabene transaksi ribawi-- dan melarang judi karena merupakan transasksi spekulasi. Penimbunan emas/uang akan menghambat laju putaran uang sehingga mengurangi laju kegiatan ekonomi. Uang juga tidak boleh dijadikan komoditas dengan ditarik bunganya. Uang dilarang sebagai alat judi dan spekulasi, hingga membuat uang hanya bertemu dengan uang, bukan dengan barang dan jasa. 

Justru, sistem ekonomi Islam mendorong orang untuk bekerja dan berusaha atau berniaga. Islam sangat memuliakan orang yang mau bekerja dan mencari nafkah. Nabi saw.  menyatakan bahwa dari perniagaan terbuka banyak pintu rezeki. Dalam hal ini, negara selain aktif sebagai pelaku ekonomi, juga giat memberikan kemudahan dan fasilitas agar orang bisa bekerja dan berniaga. Dengan cara itu, kegiatan ekonomi akan meningkat sehingga ekonomi akan terus tumbuh. 

Yang pasti, dalam ekonomi, pertumbuhan alami akan terjadi seiring dengan bertambahnya aktifitas ekonomi secara riil dan seiring dengan perkembangan teknologi untuk menghasilkan barang-barang produksi maupun jasa. Jadi sebenarnya pertumbuhan ekonomi bukan persoalan utama dalam sistem ekonomi Islam karena sifatnya yang alamiah. Namun persoalan ekonomi terletak pada upaya menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial dengan menggunakan mekanisme syariah. 

Penciptaan kesejahteraan dan keadilan sosial bisa dilakukan dengan penekanan pada distribusi kekayaan di masyarakat. Itulah isu sentral dalam ekonomi Islam. Mekanisme distribusi kekayaan di masyarakat ini tidak bisa berdiri sendiri, namun terkait dengan konsep yang lain yaitu konsep kepemilikan. Oleh karena untuk menciptakan  kesejahteraan dan keadilan sosial harus diurai dari persoalan besar dalam sistem ekonomi Islam, meliputi konsep kepemilikan dan pengelolaannya serta distribusi kekayaan di masyarakat.
Mekanisme distributive yang digunakan bersifat ekonomis dan non ekonomis.  Distribusi ekonomi dilengkapi dengan  berbagai hukum yang mengaturnya. Di antaranya adalah larangan berbagai praktik yang merusak mekanisme pasar, seperti penimbunan barang (al-ihtikâr), pematokan harga (al-tash’îr) penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs), maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). 

Kendati telah tercipta pasar yang bersih, tetap saja ada orang-orang yang tersingkir dari mekanisme pasar itu dengan berbagai sebab, seperti cacat fisik maupun non-fisik, keterampilan dan keahlian yang kurang, modal yang sedikit, tertimpa musibah, dan sebagainya. maka Islam menyediakan mekanisme  kedua, yaitu mekanisme nonpasar, diantaranya adalah mekanisme zakat, infak, sedekah, hibah, hadiah, wasiat, termasuk pula pembagian harta waris. Disinilah peran negara sangat urgen untuk menciptakan kesejahteraan  ekonomi masyarakat secara merata dan berkeadilan. [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close