Oleh: Ahmad Rizal - Dir. Indonesia Justice Monitor
Persoalan energi di Indonesia merupakan persoalan yang serius untuk diselesaikan. Pasalnya, kian hari harga yang harus dibayar oleh masyarakat semakin tinggi. Selain itu, di beberapa daerah juga mengalami kelangkaan. Tentu problem energi ini harus segera dituntaskan karena energi merupakan komoditas strategis yang sangat dibutuhkan oleh khalayak.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan bahwa PT PLN akan menghapus sebagian besar kelas golongan pelanggan listrik Rumah Tangga (RT) bagi penerima nonsubsidi. Intinya, ke depan pelanggan nonsubsidi hanya terbagi menjadi dua kelas golongan, yakni 4.400 VA dan 13.200 VA.
"PLN sendiri sepakat mengubah kelas golongan langganan rumah tangga dari 450 VA, 900 VA, 1.300VA, 2.200 VA, akan dihapus kecuali yang menerima subsidi, yang lain mungkin sekalian 4.400 VA, 13.200 VA," kata Jonan, Selasa (7/11).
Kebijakan itu tentu akan menimbulkan makin mahalnya harga tarif dasar listrik (TDL) yang ditanggung oleh masyarakat. Sebelumnya melalui pemangkasan penerima subsidi listrik pada rumah tangga dengan daya 900 VA pelanggan nonsubsidi mengeluhkan mahalnya tarif listrik. Itu masih daya 900 VA, bagaimana mungkin kemudian pelanggan nonsubsidi daya 900 VA yang telah merasa berat akan tarif listrik diminta beralih ke daya 4.400 VA? Ini merupakan kebijakan yang mencekik.
Selain itu, ada semacam upaya legitimasi kepada pihak asing untuk menguasai pasar energi tidak hanya sekedar pada sektor hulu, namun juga hingga ke hilir. Sebagaimana pemberitaan di media bahwa baru-baru ini menteri ESDM Ignasius Jonan meresmikan SPBU VIVO di Cilangkap, Jakarta Timur. Yang mengejutkan adalah bahwa harga BBM untuk Revvo 89 dibanderol dengan harga Rp 6.100. Ini berbeda dengan premium yang dijual Pertamina dengan harga Rp 6.450. Padahal, Ron Premium Pertamina adalah 88 atau lebih rendah dari Ron Revvo 89 milik VIVO. Selain itu, subsidi untuk pertamina juga semakin minim. Jika semacam ini, bisa dipastikan Pertamina secara cepat atau lambat akan disaingi oleh asing. Lebih lanjut, Pertamina di ambang kebangkrutan. Tentu keuntungan akan mengalir ke tangan asing. Yang berbahaya adalah energi dalam hal ini BBM akan mengalami ketergantungan pada asing. Jika Pertamina bangkrut, maka pemain asing akan menguasai sepenuhnya pasar BBM di sektor hilir. Suatu saat, asing akan memainkan harga BBM sesuai "selera" mereka karena tak ada lagi pesaing domestik.
Persoalan lain, terkait dengan gas elpiji. Tahun depan pemerintah berencana akan mencabut subsidi elpiji 3kg sehingga harga elpiji 3kg bisa mencapai Rp 45.000 per tabung. Ini merupakan dampak yang serius karena akan menambah pengeluaran masyarakat, terutama rumah tangga miskin. Belum lagi, kelangkaan pada beberapa daerah sering terjadi. Ini semakin menambah efek buruk bagi rakyat.
Sedikit contoh persoalan tadi merupakan dampak dari adanya liberalisasi energi di Indonesia. Ini merupakan hasil adanya keterlibatan lembaga-lembaga donor asing semacam ADB, World Bank, dan USAID dalam penentuan kebijakan energi nasional. Lembaga-lembaga itu telah memberikan kucuran dana yang sangat besar (ratusan juta dolar AS) dalam penyusunan draf UU tentang energi di Indonesia.
Kebijakan yang mencerminkan adanya keterlibatan kekuatan asing bisa dilihat pada keberadaan UU No. 22 tahun 2001 tentang migas, khususnya pasal 28 ayat 2 yang mengharuskan penentuan harga energi diserahkan melalui mekanisme persaingan pasar.
Disinyalir, lembaga asing tersebutlah yang merancang draf dalam UU No. 22 tahun 2001 tentang migas untuk mengurangi peran pemerintah sebagai regulator, mengurangi subsidi, dan mendorong keterlibatan pihak swasta di sektor migas. Liberalisasi sektor migas Indonesia sesungguhnya tidak lepas dari peran lembaga-lembaga asing tadi.
Lembaga-lembaga itu juga memberi rekomendasi rancangan UU migas nasional yang harus berlandaskan pada semangat kompetisi, orientasi pasar, menghilangkan peran pemerintah dalam intervensi ekonomi negara, dan juga konsisten mengikuti aturan-aturan internasional.
Kebijakan itu merupakan bagian dari ciri khas kebijakan neoliberal yang hingga saat ini masih diterapkan di negeri ini dan senantiasa dipelihara oleh penyelenggara negara. Kebijakan itu sangat menyusahkan dan memberi dampak kesengsaraan hidup di tengah-tengah rakyat. [IJM]