PROYEK MEIKARTA, RAKYAT UNTUNG APA BUNTUNG ?
oleh : Nina Nisfulail
(Aktivis Mahasiswi STEI Hamfara)
Mediaoposisi.com- Proyek Meikarta adalah sebuah proyek pemukiman seluas 500 hektar yang terletak di kawasan strategis Bekasi-Karawang, salah satu basis pertumbuhan industri nasional di Jakarta. Meikarta dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di kawasan Jakarta, sehingga wajar jika lokasi ini menjadi wilayah strategis karena terhubung dengan berbagai moda transportasi di Jakarta, antara lain kereta api cepat Jakarta-Bandung. Belum lagi beberapa fasilitas seperti pembangunan Patimban Deep Seaport, bandara internasional Kertajati, dan pembangunan jalan tol Jakarta-Cikampek Elevated Highway.
Dengan harga tanah yang ditawarkan oleh Lippo Group selaku pemilik proyek ini yang begitu fantastis, yaitu sekitar Rp 12.5 juta/m2, namun pembeli yang datang begitu membludak. Hal ini disebabkan -versi Lippo Group- karena Meikarta mempunyai banyak akses transportasi dan termasuk fasilitas yang akan diberikan sangatlah menggiurkan pembeli, maka wajar harga yang ditetapkan sangatlah tinggi. Namun, siapa sangka keberadaan Meikarta yang disebut sebagai “kota raksasa” ini belum mempunyai izin, dan dalam tata ruang provinsi, kota ini juga tidak ada dalam perencanaan Pemprov Jabar.
Sejatinya, Pemprov Jabar mempunyai rencana pembanguna kota Metropolitan Bogor-Depok-Bekasi-Karawang dan Purwakarta untuk menigmbangi pertumbuhan Jakarta, namun tidak ada perencanaan untuk pembangunan “kota raksasa” yang tiba – tiba muncul ini.
Pembangunan fisik proyek Meikarta ini sudah dimulai sejak Januari 2016 dengan perencanaannya yang sangat matang dan terencana. Anehnya, mana bisa Pemprov Jabar dan Pemkab bekasi tidak tahu-menahu tentang proyek ini dan tidak pernah mengeluarkan izin untuknya. Hal ini bisa dilihat dari yang dilakukan Lippo pada proyek reklamasi Teluk Jakarta. Dimana pengembang sudah mengiklankan produknya ke berbagai media China, padahal perizinan belum didapatkan. Sementara, nilai proyek Teluk Jakarta diperkirakan mencapai Rp 500 Triliun, sedangkan Meikarta sebesar Rp 278 Triliun.
Apabila proyek itu berhasil, maka nilai ekonomisnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan kali lipat. Dan lagi – lagi siapa yang mendapat keuntungan dibalik proyek besar itu semua? Sudah jelas, bahwa proyek – proyek besar di Indonesia telah digarap oleh swasta yang menggandeng para investor asing. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan bisnis kelompok taipan yang dirintis oleh Mochtar Riady ini yang dengan hebatnya mengubah “tempat pelosok” menjadi kota dengan berbagai mutiara yang dihasilkan. Mereka sepertinya menganut paham “Jual dulu, izin baru diurus kemudian”.
Maka sudah jelas, dimana suatu kelompok yang bermodal, berani melakukan apapun demi mendapat keuntungan yang sebesar – besarnya tanpa memperdulikan bagaimana nasib manusia – manusia yang diakibatkan oleh ulah tangan mereka. Sebuah penjajahan halus gaya baru yang tidak nampak, yang semakin menggurita oleh asing maupun aseng di seluruh Indonesia. [MO]