Klaim Keberhasilan Ekonomi Presiden Jokowi, Dibalas Lima Kritikan
Berita Islam 24H - Presiden Joko Widodo telah meluncurkan 15 Paket Kebijakan Ekonomi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Pemerintah mengklaim paket kebijakan itu telah menaikkan peringkat kemudahan berbisnis dan investasi. Namun bukannya menuai pujian, Presiden justru banyak dikritik sebab kehidupan rakyat justru semakin susah.
Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR pada 16 Agustus 2017, mengatakan, ke-15 Paket Kebijakan Ekonomi itu bertujuan memangkas berbagai regulasi dan pita birokrasi panjang yang selama ini telah membelenggu ekonomi Indonesia.
Menurut dia, hasil dari berbagai Paket Kebijakan Ekonomi itu terlihat dengan semakin meningkatnya kepercayaan dunia internasional terhadap ketangguhan ekonomi Indonesia. Dalam peringkat Kemudahan Berusaha (Ease of Doing Business/EODB), lanjut presiden, posisi Indonesia meningkat dari peringkat 106 pada 2016, menjadi peringkat 91 pada 2017. Begitu pula, Indonesia mendapat peringkat investment grade atau layak investasi dari tiga lembaga pemeringkat internasional, yaitu Standard and Poors Global Ratings, Fitch Ratings, dan Moodys.
“Bahkan di dalam survei bisnis oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), posisi Indonesia naik ke peringkat 4 sebagai negara tujuan investasi prospektif,” jelas Presiden Jokowi.
Berbeda dengan pujian lembaga internasional itu, Presiden Jokowi justru menuai banyak kritikan dari masyarakat luas yang mempertanyakan, mengapa beban kehidupan rakyat, termasuk persoalan ekonomi justru dirasakan semakin berat di era kepemimpinannya.
Berikut ini. lima kritik dari masyarakat terkait Paket Kebijakan Ekonomi Presiden Jokowi yang dirilis oleh merdeka.com;
Pertama, Paket Kebijakan Ekonomi tak mampu dongkrak konsumsi masyarakat
Anggota Komisi XI DPR RI, Kardaya Warnika mengatakan, paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah belum mampu mendongkrak konsumsi masyarakat. Tak hanya itu, investasi pun belum begitu menggembirakan.
“Iklim investasi mungkin dilihat oleh investor yang besar, masih belum cukup menarik. Jadi saya kira ini yang harus dipikirkan,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Gedung DPR RI, baru-baru ini.
Dia menuturkan, pemerintah harus meninjau ulang kebijakan-kebijakan investasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Mantan pejabat Kementerian ESDM ini menilai seharusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 7 persen.
Kedua, Paket Kebijakan Ekonomi tidak fokus
Institut For Development Of Economics and Finance (Indef) menilai, Paket Kebijakan Ekonomi I-XIV yang dikeluarkan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla belum berdampak pada perekonomian Indonesia.
Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, paket-paket kebijakan yang telah dirilis oleh Pemerintah dinilai tidak fokus berdasarkan sektor yang ingin dituju.
“Berdasarkan kelompok atau subsektor industri, sebagian besar turun semua baik skala besar dan sedang. Saat ini sketor industri sedang mengalami masa-masa sulit karena peranannya telah mencapai titik rendah selama dua dekade terakhir,” ujar Heri.
Heri menegaskan paket kebijakan ini memberikan ekspektasi tinggi terhadap pasar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam kenyataannya hal ini masih jauh dari harapan.
Ketiga, implementasi paket kebijakan lambat
Direktur Core Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, paket-paket kebijakan tersebut dinilai tidak akan memberikan dampak yang efektif baik dari sisi teknis implementasi maupun dari sisi substansi kebijakan.
Hal ini dapat dilihat dari sisi teknis implementasi. Di mana, paket kebijakan tersebut belum didukung oleh payung hukum yang bersifat permanen.
“Sosialisasi kepada pihak terkait masih rendah, sementara implementasi kebijakan oleh kementerian/lembaga terkait juga berjalan lambat. Selain itu, beberapa paket kebijakan sulit dievaluasi kemajuannya karena tidak memiliki target waktu yang terukur,” ujarnya.
Keempat, Paket Kebijakan Ekonomi belum dirasakan pelaku usaha
Ketua Umum Kadin, Rosan Roeslani mengungkapkan, kondisi di dalam negeri yang tak kunjung membaik juga disebabkan karena berbagai Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan pemerintah masih belum dirasakan seutuhnya oleh para pelaku usaha.
“Tentunya kita harapkan iklim usaha dan investasi bisa terus mendorong usaha pengembangan industri nasional. Iklim investasi yang kondusif melalui pelaksanaan secara penuh dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi sangat didambakan oleh para pelaku usaha di bidang industri dan perdagangan,” ujarnya saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Hotel Bidakara, Jakarta.
Menurut dia, kinerja ekspor masih lemah dan defisit neraca transaksi berjalan melemah juga menjadi sinyal adanya penurunan peran industri dalam perekonomian secara umum. Untuk itu, dia meminta pemerintah segera menjalankan hilirisasi industri untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi, memperkuat struktur industri, menyediakan lapangan kerja serta membangun daya saing dan produktivitas produk-produk dalam negeri.
Kelima, Paket Kebijakan Ekonomi minim evaluasi
Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Bambang Haryo Soekartono, menilai 13 paket kebijakan yang kerap diobral pemerintah juga belum memberi dampak yang signifikan. Hal ini terjadi lantaran pemerintah enggan melakukan evaluasi dari paket kebijakan tersebut.
“Kita punya 13 paket kebijakan terus diobral. Tapi saya soroti paket kebijakan ini tidak dievaluasi dengan baik. Bisa 1 bulan, 3 bulan atau 6 bulan. Tapi ini tidak,” tegasnya.
Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani mengakui, meski sudah berjalan, namun ada beberapa paket kebijakan yang belum optimal. Sehingga, perlu dilakukan evaluasi agar tujuan dari kebijakan tersebut bisa sejalan dengan target pemerintah.
“Ada beberapa paket kebijakan belum berjalan seperti yang diharapkan. Tapi pemerintah telah merespons dengan membuat pokja (kelompok kerja) untuk mengevaluasi kebijakan tersebut. Ini hal yang positif dan kita cari bottlenecking dan kita cari solusinya,” kata Hariyadi. [beritaislam24h.info / smc]