Oleh : Achmad Fathoni - Direktur el-Harokah Research Center (HRC)
Isu bangkitnya paham komunisme hingga Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang menjadi perbincangan di Indonesia saat ini. TNI pun akan melakukan kegiatan nonton bareng bagi setiap jajarannya di seluruh tanah air. Presiden, Ketua MPR hingga Mendagri memberikan sinyal tentangb pentingnya menonton kembali film pengkhianatan G 30 S/PKI.
Menanggapi isu bangkitnya komunisme harus dipandang secara komprehensif agar tepat dalam bersikap dan bertindak. Secara faktual seharusnya publik mengaitkan isu komunisme/sosialisme dengan kapitalisme. Bagaimanapun dalam sejarah lahirnya kedua ideologi itu bertemu pada hulu dan pangkal yang sama yaitu konspirasi dari gerakan Yahudi internasional dalam melawan Islam dan kaum muslimin, serta dalam upaya mendominasi dunia. Sehingga memisahkan keterkaitan sosialisme/komunisme dengan kapitalisme akan melahirkan kesimpulan yang tidak tepat. Yang pada gilirannya umat Islam tidak bisa merespon dan melawan kedua ideologi tersebut secara berimbang, bahkan umat Islam menjadi “bulan-bulanan” kedua ideologi tersebut.
Sebagaimana pendapat dan analisis salah seorang praktisi Politik, Agung Wisnuwardana, bahwa dalam pengkhianatan G 30 S/PKI ternyata tidak terlepas dari peran CIA, hingga kemudian PKI dibubarkan, ajarannya dilarang dan kadernya dikejar-kejar. Point pentingnya adalah membenturkan kekuatan umat Islam dan TNI (terutama AD) dengan PKI, sehingga PKI dibubarkan, ajaran komunismenya dilarang dan kadernya dikejar-kejar. Selepas benturan tersebut akhirnya yang menguasai Indonesia adalah kapitalisme lewat kekuasaan orde baru. Umat Islampun ditinggalkan dan malah kemudian dimusuhi oleh orde baru (www.soeararakjat.com 18/9/2017).
Selama sosialisme/komunisme dan kapitalisme mendominasi dunia, maka selama itu pula kaum muslimin akan terpinggirkan, kapanpun dan di manapun, yang jelas mereka tidak pernah sedikitpun berpihak kepada kepentingan Umat Islam. Karena memang secara faktual kedua ideologi tersebut akan bersatu padu dan berkonspirasi dalam melawan Islam dan umatnya. Dalam sejarahpun tercatat bahwa otak di balik keruntuhan institusi Khilafah Islamiyah yang berpusat di Istambul Turki, adalah Inggris yang berhaluan kapitalisme, berkolaborasi dengan kekuatan Yahudi yang dimotori oleh Mustafa Kamal At-taturk. Fakta empiris yang terbaru juga terjadi, tragedi genosida Muslim Rohingnya, itu atas restu dan dukungan barat, dengan diamnya sang pemegang nobel perdamaian Aung San Suu Kyi. Juga tokoh entitas Budha Myanmar, Biksu Ashin Wirathu, yang dicap sebagai provokator penyerangan etnis muslim Rohingya, yang dapat suport dari Tiongkok. Itulah kekejian hasil konspirasi negara-negara barat (kapitalisme) dan negara-negara timur (sosialisme-komunisme) yang sangat antipati dengan kepentingan Islam.
Oleh karena itu, seharusnya kaum muslimin segera menyadari eksistensinya bahwa ideologi sosialisme-komunisme dan kapitalisme merupakan “rival abadi”. Maka solusi komprehensifnya adalah umat Islam harus membuat arus baru, mewujudkan masyarakat baru yang independen, yang bisa mengimbangi hegemoni kapitalisme global, juga konspirasi neo sosialisme-komunisme, itulah kiranya gagasan Khilafah Islamiyah pernah ditawarkan dengan harapan besar Umat Islam bisa “mengganyang” sosialisme-komunisme dan kapitalisme sampai ke akar-akarnya. Serta bisa mewujudkan tatanan dunia baru yang penuh kedamaian dan keadilan bagi semua manusia dengan spirit Islam rahmatan lil-‘alamin. Wallahu a’lam. [IJM]