Dengan pemaknaan pendidikan karakter seperti yang dikemukakan Thomas Lickona, maka seorang Muslim bisa saja mengadakan kemusyrikan
Foto sekelompok anak SD yang sedang berjalan di atas trotoar melewati seorang pengemis. Salah satu anak mengacungkan jari tengah ke arah pengemis. Inilah contoh kegagalan pendidikan. Foto ini sempat menjadi pembicaraan netizen di Barat (ilustrasi)
Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Syahrullah Asyari
DALAM kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter adalah akumulasi dari seluruh ciri pribadi seperti perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, kemampuan, kecenderungan, potensi, nilai-nilai dan pola-pola pemikiran. Adapun kata ‘akhlak’ berasal dari bahasa Arab ‘khuluqun’ yang secara bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Melihat arti ‘karakter’ dan ‘akhlak’ dari sisi bahasa, nampaknya sama. Akan tetapi, dalam ajaran Islam, akhlak ini mengandung makna media yang menunjukkan adanya hubungan antara Khaliq dan makhluk, serta antara makhluk dan makhluk.
Kata ‘akhlak’ bersumber dari kalimat yang tercantum dalam Al-Qur’an, (artinya) “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) mempunyai (khuluq) yang agung.” (QS.Al-Qalam: 4).
Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, maksud ayat ini adalah benar-benar memiliki agama yang agung. Tidak ada agama yang lebih Aku cintai dan lebih Aku ridhai dari agama itu. Yaitu agama Islam. Jadi, Allah subhanahu wata’ala menjadikan agama Islam ini seluruhnya adalah akhlak. Maka, siapa saja yang menambahkan akhlak lain di luar akhlakmu berarti ia telah menambahkan hal baru dalam agamamu. Adapun menurut Hasan radhiyallahu ‘anhu, yang dimaksud dengan akhlak yang agung itu ialah adab-adab Al-Qur’an. Selain itu, Ibnul Qayyim mengatakan: “Maksudnya ialah engkau memiliki akhlak yang hanya diberikan kepadamu di dalam Al-Qur’an.”
Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu anha pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bunda ‘Aisyah radhiyallahu anha menjawab: “Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” Adapun menurut imam An-Nawawi, maksudnya adalah mengamalkan Al-Qur’an, mematuhi hukum-hukumnya, mengikuti adab-adabnya, mengambil pelajaran dari perumpamaan-perumpamaan dan kisah-kisahnya, merenungkan maknanya dan membacanya dengan cara yang baik.
Demikian juga, hadits Nabi shallallahu ‘alahi wasallam, (artinya) “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Bukhari, Muslim dan Al-Hakim).
Menurut Fadhlullah Al-Jailani, maksud hadits ini adalah: “Tidak ada agama yang sepi dari nilai-nilai akhlak yang mulia. Tetapi nilai-nilai akhlak yang mulia itu belum pernah dihimpun seluruhnya dalam salah satu agama di masa lalu sampai Allah subhanahu wata’ala menghimpun semua akhlak yang baik di dalam agama Islam. Inilah yang dimaksud dengan kata ‘untuk menyempurnakan akhlak yang baik’.
Semakin jelas, makna kedua istilah tersebut berbeda. Apabila dimasukkan ke dalam proses pendidikan menjadi ‘pendidikan karakter’ atau ‘pendidikan akhlak’, implementasinya pun jelas berbeda. Kalau kita meninjau ‘karakter’ dari lensa ‘akhlak’, maka pembatasan ‘pendidikan karakter’ oleh Thomas Lickona hanya pada hubungan horizontal antarmanusia di dalam masyarakat (individu dengan individu lain) akan menjadi keliru, karena Lickona memberikan pemaknaan yang sangat sempit.
Dalam Islam, hubungan horizontal bukan hanya antarmanusia, tetapi antarmakhluk Allah ‘azza wajalla yang lain, termasuk hubungan antara manusia dengan jin, manusia dengan malaikat, manusia dengan binatang, dan antara manusia dengan alam. Bahkan, mengenai aturan berakhlak seperti ini, bukan hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga berlaku bagi bangsa Jin.
Dari alasan yang telah diuraikan di atas, kiranya umat Islam sadar akan perbedaan makna antara ‘karakter’ dan ‘akhlak’ yang kelihatannya mirip atau dianggap sama secara bahasa, padahal secara istilah sebenarnya berbeda dan ternyata menyangkut perkara besar, yaitu akidah. Karenanya, penting bagi umat Islam untuk tidak memasyarakatkan istilah karakter, tetapi akhlak. Bukan pendidikan karakter, tetapi pendidikan akhlak atau secara komprehensif pendidikan Islam. Wallahu A’lam Bishshawab.*
Penulis adalah Dosen Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Makassar, ulla_math05@yahoo.co.id