Oleh : Rachma Shalihah
(Pegiat Literasi Kota Malang)
Mediaoposisi.com-Baru-baru ini Presiden terpilih periode 2019-2024 Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan 12 Staf Khsusus Keprisidenan. Mayoritas Staf Khusus tersebut berasal dari kalangan Milenials. Menurut Presiden 7 orang tersebut bukan sembarang milenials namun mereka dipilih karena berbagai macam latar belakang prestasi dan pencapaianya. Mereka adalah Angkie Yudistia (32), Aminuddin Maruf (33), Adamas Belva Syah Devara (29), Ayu Kartika Dewi (36), Putri Indahsari Tanjung (23), Andi Taufan Garuda Putra (32), dan Gracia Billy Mambrasar (31). Menurut Jokowi Staf Khusus tersebut diharapkan mampu untuk memberikan masukan – masukan yang inovatif bagi Indonesia kedepannya (tirto.id,2019).Dalam dunia perpolitikan di zaman sekarang adalah suatu hal yang istimewa apabila sesuatu hal dipilih secara netral. Karena pada faktanya penguasa sekarang membutuhkan siapa – siapa saja yang mendukung dan melanggengkan kursi kekuasaannya. Layaknya permainan catur, raja akan memasang kuda-kuda untuk tetap mempertahankan posisi amannya. Kalau kita lihat lebih teliti sebenarnya 7 dari 12 staf khusus tersebut bukan dari kalangan milenials yang netral. Hampir bisa dikatakan bahwa mereka memang pro jokowi sebelum pelantikan presiden. Atau mereka memiliki hubungan kekeluargaan dengan pendukung Pak Presiden. Nuansa oligarki sangat kental ditunjukkan pada pemilihan staf khusus kepresidenan.
Disisi lain menjadikan milenials sebagai staf khusus bukanlah suatu hal yang sangat signifikan untuk memajukan Indonesia. Karena yang pertama mereka tidak pernah terjun dan berpengalaman dalam bidang politik praktis. Kedua, mayoritas ketujuh staf khusus tersebut berasal dari kalangan Entrepreneur yang tidak bisa mempresentasikan seluruh elemen masyarakat. Ketiga, para milenilas tidak memiliki tendensi terhadap kekuasaan para elite politik. Alih – alih mereka dapat menyumbangkan suatu inovasi baru malah akan tersisihkan oleh kepentingan para elite politik diatasnya.
Perlu banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika menjadikan milenials yang belum pernah terjun langsung ke ranah politik dan diberi tanggung jawab yang besar. Seperti anak kecil yang diberikan tugas yang dia tidak tau harus melangkah kemana. Latar belakang kesuksesan mereka dibidang Entrepreneurship harusnya tak menjadikan satu – satunya alasan diangkatnya mereka. Disisi lain Staf Khusus Presiden belum mempunyai tupoksi yang jelas. Buram akan tugas yang diberikan. Padahal gaji yang diberikan berkisar hingga 51 juta rupiah.
Kondisi diatas mencerminkan oligarki politik yang akut dalam pemerintahan saat ini. Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemis.
Dalam sistem demokrasi pengangkatan staf khusus seperti ini lumrah terjadi, karena pengangkatan tersebut adalah cara para penguasa dan elit politik yang didomonasinpara kapitalis untuk tetap melanggengkan kepentingan mereka. Sejatinya sistem demokrasi membentuk lingkaran hitam dalam hal kekuasaan maupun pemerintahan karena menghalal segala cara untuk meraihnya, sehingga sistem ini tidak layak untuk manusia.
Sedangkan dalam Islam, penunjukkan para pemimpin atau orang yang berkuasa untuk mengurusi urusan ummat bukan orang yang ditunjuk berdasarkan keinginan nafsu belaka. Apalagi hanya untuk melanggengkan kekuasaanya. Mereka ditunjuk karena murni keahliannya dan kemampuannya. Teringat kisah Abu Bakar ketika terpilih menjadi Khalifah, maka apa yang beliau lakukan? Menangis. Karena takut dalam mejakankan amanahnya tersebut beliau dzalim. Kursi kekuasaan bukan dijadikan suatu hal yang mereka ingini, karena mereka paham kursi itu berat pertanggung jawabannya.
Dalam Islam seorang pemimpin disebut dengan Khalifah. Khalifah adalah seorang hakim (penguasa) yang memerintah, melaksanakan dan melakukan pelayanan terhadap urusan – urusan ummat. Seorang khalifah dalam masa pemerintahannya dibantu oleh Mu’awin Tanfidz dan Mu’awin Tafwidh. Mu’awin Tanfidz adalah pembantu pemerintah yang mempunyai kewenangan dalam bidang kesekretariatan, bukan tugas pemerintahan.
Singkatnya hanya berwenang dalam tugas operasional bukan dalam pemerintahan praktis. Sedangkan Mu’awin Tafwidh adalah pembantu yang diangkat oleh khalifah agar dia bersama – sama dengan seorang khalifah memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Maka dalam hal ini Mu’awin Tafwidh bisa mewakili Khalifah dalam urusan negara dan Mu’awin Tafwidh juga dapat berijtihad apabila dibutuhkan suatu solusi terhadap suatu permasalahan.
Kedua mu’awin tersebut mempunyai syarat – syarat khusus yang harus terpenuhi. Disisi lain tugas kedua mu’awin tersebut sangat jelas, sehingga negara dapat mengoptimalkan tugasnya untuk mengurusi urusan ummat. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi umat manusia jika ingin meraih keberkahan hidup hendaknya kembali kepada sistem Islam. Marilah kita sesama umat Islam bahu membahu menerapkan sistem Islam dalam setiap aspek kehidupan kita termasuk dalam hal pemerintahan.[MO/dp]
Wallahu’alambishowab.