-->

Bulog Buang 20 Ribu Ton Beras Impor Busuk, Neoliberalisme Biang Kerok Salah Urus Beras

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen
Oleh : Mufakkirot Fathinah (aktivis perempuan)
Mediaoposisi.com-Perum Bulog menyatakan akan membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang mereka. Keputusan ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), beras yang usia penyimpanannya sudah melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi dan atau mengalami penurunan mutu. Karena itulah, beras harus dibuang atau dimusnahkan.


Tentu kebijakan ini sangat mengagetkan. Angka 20.000 ton bukanlah jumlah yang sedikit meski itu hanya 1% dari 2,3 juta ton Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Nilai beras tersebut mencapai Rp160 miliar, tentu ini merupakan pemborosan.
Hal ini juga ironis di tengah kondisi 88 kabupaten/kota di Indonesia rentan rawan pangan menurut data Kementrian Pertanian dan 22 juta penduduk Indonesia menderita kelaparan kronis sepanjang tahun 2016-2018 menurut data ADB, yang mana justru dikarenakan masalah di sektor pertanian, seperti upah buruh tani yang rendah dan produktivitas yang juga rendah.
Di samping itu, menjadi sebuah tanda tanya besar ketika ribuan ton beras tak terserap sehingga mengalami kerusakan, di saat yang sama kebijakan impor beras begitu derasnya tak terbendung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi impor beras 2018 mencapai 2,25 juta ton dengan nilai US$ 1,03 miliar, meningkat tajam dibanding tahun 2017 yang hanya di angka 305,27 ribu ton dengan nilai US$ 143,64 juta.
Fakta ini menegaskan adanya salah urus beras di negeri ini. Setidaknya ada 2 persoalan besar: karut marut kebijakan impor dan distribusi CBP.

NEOLIBERALISME BIANG KEROK SALAH URUS BERAS
Indonesia negara agraris. Kemampuan sebagai negara agraris tetap dimiliki, terbukti pada 2017, Kementerian Pertanian mengklaim surplus produksi beras mencapai 16,7 juta ton. Data KSA BPS menyebutkan 2018 produksi beras 32,95 juta ton dengan konsumsi 29,57 juta ton, sehingga masih terjadi surplus 3,38 juta ton beras.
Namun ironisnya tingkat impor beras Indonesia sangat tinggi tarus meningkat. Di saat yang sama daya serap beras impor yang menjadi cadangan pemerintah untuk keperluan kebutuhan mendadak semisal bencana alam & pemenuhan kebutuhan pangan rakyat miskin, ternyata cukup rendah, padahal jutaan penduduk berada di bawah garis kemiskinan.
Mengapa tata kelola arus masuk dan keluar beras di Indonesia rumit? Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso mengatakan saat ini pasar pangan di Indonesia hampir 100% dikuasai oleh kegiatan kartel atau monopoli. Menurut Buwas, produk-produk pangan Bulog saat ini hanya mengusai pasar sebesar 6%. Sedangkan sisanya 94% dikuasai oleh kartel. Kartel-kartel pangan ini mengendalikan harga dan suplai bahan pangan. Bulog ataupun pemerintah tidak berdaya menghentikan praktik ini.

Ini adalah dampak dari Agreement of Agriculture (AoA) yang dirumuskan WTO sejak 1995, yang meliberalisasi sektor pertanian dalam semua aspek. Pasar pertanian dibuka seluas-luasnya mulai dari hulu hingga ke hilir bagi dunia internasional, termasuk mengizinkan masuknya transnational corporation (TNCs). Akibatnya, persaingan bebas dan konsep survival of the fittest berlangsung antara korporasi raksasa dengan petani-petani kecil.
Sebagai konsekuensi lain dari liberalisasi pertanian ini, kewenangan Bulog dalam mengatur pangan, baik dalam menjaga stabilitas harga pangan, melakukan impor dan ekspor, ataupun menentukan provisi subsidi dicabut. Bulog tidak boleh ‘memonopoli’ tata kelola pangan, sebaliknya Bulog harus berkompetisi dengan berbagai pihak termasuk korporasi-korporasi asing.
Dalam konteka komoetisi, tentunya Bulog bertindak sebagai entitas bisnis, menciptakan berbagai inovasi produk & pemasaran, seperti beras komersil, beras bervitamin dan bermitra dengan industri retail modern untuk menjual beras mediumnya, yang semuanya itu untuk komersialisasi dalam rangka mengejar keuntungan. Sehingga fungsi public service obligation (PSO) dilakukan seadanya, tidak benar-benar menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan rakyat.
Kondisi ini dikokohkan dengan model pemerintahan Reinventing Government (ReGom) sebagai turunan dari neoliberalisme, di mana Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang menyediakan berbagai kemudahan bagi investasi korporasi. Alhasil negeri ini diatur dengan konsep korporatokrasi, yaitu negara yang menjadi alat kepentingan bisnis dan keputusan politik mengabdi kepada investor, dan hal inilah yang menjadikan negara tidak berdaya dalam mengatur urusan rakyat.[MO/dp]

Referensi:



Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close