Oleh : Ida Purwati
Adanya wacana tersebut tentu saja menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Misalnya dukungan itu datang dari kalangan pegiat gendre. Selain itu juga program tersebut diharapkan bisa menekan angka pernikahan dini yang kian marak khususnya di negara Indonesia. Dari sisi kontra pun membeberkan alasannya, yang salah satunya dikhawatirkan bisa meningkatkan resiko perzinahan. Akibat prosedur yang dianggap rumit dan menganggap pernikahan itu bukan lagi sesuatu yang harus dilakukan. Sehingga mereka lebih memilih hubungan yang ilegal (di luar pernikahan, bisa pacaran atau bahkan hidup serumah tanpa adanya ikatan perkawinan).
Kita tidak bisa menutup mata dengan adanya fakta yang terjadi di masyarakat. Bahwa pergaulan antara laki-laki dan perempuan sudah tak bisa terjaga. Mereka mengumbar kemesraan di depan umum sudah dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja. Bahkan jikalau sekalipun mereka terpergok melakukan perbuatan zina, selama itu didasari rasa suka dengan suka, tanpa ada unsur paksaan, maka hukum pun tidak bisa bertindak banyak. Selain hanya diberikan sanksi dan pembinaan.
Padahal di dalam Islam sudah jelas, bahwa solusi bagi dua insan laki-laki dan perempuan ketika jatuh cinta, tidak lain dan tidak bukan hanya bisa disalurkan dalam ikatan suci pernikahan. Bukan yang lainnnya. Sedangkan kita juga mengenal rukun pernikahan adalah : Calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul. Meskipun tidak bisa dipungkiri, bahwasanya bagi pasangan yang hendak menikah juga dibutuhkan sebuah persiapan yang matang. Agar bisa mencapai tujuan keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah, kekuarga harmonis, anak-anak sholih/ah, dan ekonomi yang tercukupi.
Semua itu tidak serta merta upaya murni dari individu calon pengantin saja. Tetapi juga butuh peran negara sebagai pihak yang bisa mengeluarkan kebijakan, semisal untuk bisa memberikan iklim ekonomi yang kondusif bagi khususnya suami sebagai kepala rumah tangga yang mencari nafkah, menciptakan lingkungan atau suasana yang kondusif dalam masalah pendidikan anak, pemberian jaminan kesehatan, dan kesejahteraan lainnya. Karena tidak jarang juga kita melihat dalam sebuah runah tangga, seorang ayah dan ibu nya sudah sholiha/ah, ketika memiliki anakpun sudah dididik dengan sedemikian rupa baiknya.
Namun, ketika anak tersebut keluar dari lingkungan rumah, maka dia akan berhadapan dengan masyarakat yang beraneka ragam. Sehingga tidak jarang, anak tersebut pun mengikuti perilaku buruk dari lingkungan luar entah dari tontonan, perilaku, pergaulan. Tentu saja hal ini perlu dukungan pemerintah untuk bisa mensortir apa-apa yang layak beredar di masyarakat dan apa-apa yang tidak layak edar. Atau misal terkait lapangan pekerjaan, banyak di antara kepala rumah tangga yang sudah rajin bekerja, membanting tulang.
Tapi kenyataannya masih belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut pun perlu campur tangan negara, untuk memberikan lapangan pekerjaan, atau bantuan modal kewirausahaan, ataupun memberikan gaji yang layak bagi pekerja. Sehingga fakta-fakta tersebut juga harapannya bisa diperhatikan oleh negara. Agar bisa memberikan kebijakan yang tepat dan solutif pada akar permasalahannya. Terlebih kita sebagai seorang Muslim, sudah saatnya menjadikan aturan dari Sang Pencipta, Allah SWT sebagai landasan membuat aturan di muka bumi ini.[MO/db]