Oleh :Lilis Holisah, Mahasiswa Pascasarjana UNTIRTA – Banten
Mediaoposisi.com-Islam pernah berjaya, menguasai dua pertiga dunia lebih dari 13 abad lamanya. Dalam rentang sejarah yang panjang tersebut, peradaban Islam mampu mengangkat harkat martabat umat manusia dari kegelapannya menuju cahaya terang benderang. Peradaban Islam tak bisa dipungkiri telah melahirkan para ilmuwan yang mampu menciptakan berbagai kemudahan untuk kehidupan umat manusia. Daulah Islam menjadi pusat ilmu, yang diakui oleh orang-orang Barat. Bahkan dalam suratnya, Raja George II (Raja Inggris, Swedia dan Norwegia) kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia Spanyol, diketahui mengirimkan putrinya untuk belajar di Daulah Islam. Oliver Leaman, ahli filsafat dari Universitas Cambridge mengatakan “….pada masa peradaban agung (kekhilafahan) di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universitas penting berada”.
Demikian realitas kegemilangan peradaban Islam, selain juga mampu menghasilkan karya yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia hingga kini. Namun sejarah keemasan di masa lalu, tidak sejalan dengan kondisi kekinian. Di era kapitalisme, justru dunia Islam mengalami kemerosotan yang sangat dalam.
Data yang Diterbitkan oleh Forum Ekonomi Internasional 2015/2016, diketahui negeri Arab mendapat kedudukan yang rendah dalam indeks kualitas pendidikan. Sebagai contoh, Bahrain menempati posisi ke-33, Yordania di posisi ke-45, Tunisia di posisi ke-85 skala internasional, sedangkan Maroko menduduki posisi ke-101, Jazair menempati posisi ke-119, Mauritania di posisi ke-129, dan Mesir meduduki posisi sebelum akhir dalam taraf 140 Negara.
MIT Technology Review Pakistan (Februari 2016) mengeluarkan artikel yang berjudul The Dark Age of Muslim World, diketahui fakta bahwa 1,6 miliar Muslim di dunia berkontribusi sangat kecil untuk pengetahuan dunia. Selain itu Komunitas Muslim global - yang membentuk mayoritas penduduk dari 57 negara dan mencakup hampir setiap negara di dunia – ternyata hanya memiliki tiga pemenang Nobel dalam sejarah penghargaan bergengsi ini.
Jumlah perguruan tinggi dari negara-negara anggota OKI (Organisasi Kerjasama Islam) hanya berada di peringkat 500 dunia atau sedikit lebih baik dari itu. Nyaris semua perguruan tinggi di dunia Muslim termasuk Indonesia, tidak mendapat peringkat tinggi di berbagai jenis sistem peringkat universitas global.
Barat Kafir Memerangi Islam dengan Serangan Misionaris
Kehancuran Islam tidak serta merta terjadi. Tetapi telah melewati berbagai fase yang didesain oleh Barat. Sejak awal abad ke-17, Barat mendirikan pusat misionaris di Malta, sebuah negara kecil yang terletak di Kepulauan Sisilia di Semenanjung Italia. Di ssinilah basis serangan misionaris dilancarkan terhadap dunia Islam, hingga serangannya mencapai Suriah (Syam) tahun 1625 M.
Serangan misionaris akhirnya mewujud dengan pendirian sekolah-sekolah dan penyebaran buku-buku keagamaan. Sekolah-sekolah milik Inggris, Amerika dan Perancis bercokol di sana sebagai kedok menutupi gerakan mereka. Sekolah-sekolah tersebut digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam.
Tahun 1834 M, para misionaris melancarkan serangannya secara massif hingga berhasil mendirikan sekolah wanita di Beirut Libanon. Di Libanon juga didirikan lembaga kajian Ilmiah yang dipimpin oleh misionaris Amerika Serikat. Kelompok studi pertama kali yang didirikan adalah Kelompok Studi Sastra dan Ilmu Pengetahuan tahun 1847 M.
Tujuan lembaga ini adalah menyebarkan ilmu kepada masyarakat agar mereka berpemikiran Barat. Mereka juga mendirikan Kelompok Studi Ilmiah Suriah. Dengan kedok masyarakat setempat mereka berhasil memperdaya kaum Muslim sehingga menerima mereka. Tahun 1850 M Kelompok Studi Ketimuran (Jam’iyyah asy-Syarqiyyah) didirikan oleh Henri Dubroiner, misionaris berkebangsaan Perancis, yang semua anggotanya adalah orang Nasrani.
Selanjutnya tahun 1875 M, di Beirut dibentuk kelompok studi yang sangat rahasia. Fokusnya adalah menggerakkan revolusi politik dengan menghembuskan ide nasionalis Arab. Strategi mereka adalah meracuni pemikiran kaum Muslim Suriah dan Libanon dengan ide kebangsaan dan kearaban serta membangkitkan permusuhan terhadap
Daulah Utsmaniyah yang mereka namakan Negara Turki. Selain itu, mereka berusaha memisahkan agama dari negara dan menjadikan kebangsaan Arab sebagai asas ideologi. Mereka juga mempropagandakan bahwa Turki telah merampas Kekhilafahan Islam dari tangan orang-orang Arab. Turki juga dituduh telah melanggar syariah Islam dan melanggar batas-batas agama.
Gerakan-gerakan misionaris ini berkontribusi dalam meruntuhkan negara Khilafah. Mereka berhasil menghembuskan ide nasionalisme ke dalam dada kaum muslimin, yang pada akhirnya khilafah terpecah belah menjadi banyak negeri.
Barat tidak menginginkan persatuan Islam. Demokratisasi di berbagai negeri muslim dilakukan atas arahan Barat.Hal tersebut sejalan dengan tujuan Lord Curzon, Menteri Luar Negeri Inggris (1919-1924) yang mengatakan “Kita harus mengakhiri apapun yang mendatangkan persatuan Islam di antara putra-putri kaum muslimin. Sebagaimana kita telah berhasil mengakhiri Khilafah…..”
Strategi AS Menjajah Dunia Islam
Penjajahan terhadap dunia Islam terus berlangsung hingga kini. Di masa lalu penjajahan fisik dilakukan untuk penguasaan asset-aset tanah dan materi lainnya. Kini wajah penjajahan berubah dari hard power menjadi soft power. Secara politik, penjajahan dilakukan dengan agenda demokratisasi di berbagai dunia Islam.
Penerapan sistem pemerintahan demokrasi di berbagai belahan dunia Islam telah menjaga eksistensi AS, sebagai negara pertama saat ini. Sistem demokrasi, telah menghilangkan peran agama dalam kehidupan. Sekularisasi di berbagai bidang kehidupan terus dilakukan dalam upaya AS menjaga kepentingannya di dunia Islam.
Demokrasi dan sekulerisme berkelindan menopang peradaban kapitalis saat ini di dunia Islam. Demokrasi sekuler telah menjadi Tuhan baru bagi negara di dunia. Agama tidak lagi dijadikan landasan kehidupan, perannya disingkirkan di tempat-tempat yang sangat privat.
Secara ekonomi, AS memaksakan kehendaknya ke dunia Islam untuk melaksanakan apa yang disebut dengan pasar besar, dan menekan negara-negara berkembang untuk melakukan privatisasi secara besar-besaran terhadap aset-aset publik. Tidak mengherankan jika kemudian jurang antara kaum the have dan si miskin kian nyata lebarnya. Dalam demokrasi, yang kuat secara modal dialah pemenang.
Pasar bebas dan privatisasi telah mengaleniasi peran negara. Negara tidak hadir dalam percaturan ekonomi secara real.Negara bertindak layaknya wasit dalam sebuah pertandingan olah raga. Aset-aset publik diprivatisasi, minyak, tambang yang seharusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat, kini berada dalam genggaman kapitalis global. Alhasil rakyat berkesusahan mendapatkan minyak secara murah, listrik gratis, air dan layanan publik yang seharusnya dilayani oleh negara.
Kapitalisasi dan sekulerisasi pendidikan kian nyata. Pendidikan gratis dan berkualitas laksana mimpi di siang bolong. Karena pendidikan dewasa ini dikapitalisasi menjadi komoditas, siapa yang ingin mendapat kualitas, harus membayar lebih. Output pendidikan sekuler yang dihasilkan gagal membentuk manusia yang shalih dan berkarakter sekaligus menguasai sains teknologi.
Arah kurikulum yang ditegakkan di negeri-negeri muslim adalah sekularisme, dimana Islam boleh dipelajari dari aspek ruhiah bukan sebagai ideologi- politik, membuat arus islam baru/Reformasi Islam-Islam moderat, damai, toleran.
Penghapusan materi kurikulum yang berisi permusuhan terhadap negara barat dan ajakan untuk melakukan jihad melawan sekutu Amerika, orang-orang Yahudi dan negara barat pada umumnya juga terus dilakukan.Dalam kurikulum yang dilaksanakan dewasa ini, sejarah emas peradaban islam dihapus, sehingga wajar banyak intelektual yang tidak mengenal sejarah kegemilangan Khilafah.
Pola penjajahan AS berikutnya adalah dengan penguasaan media. Media-media mainstream diarahkan agar berkesesuaian dengan arahan AS. Media sangat efektif dalam pembentukan opini. Saat ini hampir seluruh media-media besar dikuasai dan didrive oleh AS. Opini-opini yang disebarkan sejalan dengan agenda liberalisasi dan pluralilsme sebagaimana yang dikehendaki AS.
Kebijakan Pendidikan Tinggi
Pendidikan Tinggi menjadi target Barat dalam upayanya menguasai negeri Islam. Sekulerisasi ilmu menjadi niscaya ketika kepemimpinan dunia saat ini berada di tangan Barat. Kurikulum sekuler merata di hampir seluruh Perguruan Tinggi. Penanaman tsaqafah Barat terus digencarkan. Ide-ide feminisme, pluralisme, HAM, liberalisme, nasionalisme, demokrasi, deradikalisasi bahkan masuk dalam kurikulum Pendidikan Tinggi. Reformasi karakter Islam moderat menjadi bagian dalam target output pendidikan.
Ilmu dipisahkan dari ruhiyah, sehingga wajar output pendidikan adalah orang-orang yang kosong dari ketakutan dan ketundukannya kepada Pencipta. Pendidikan dijadikan sebagai lahan bisnis, yang berorientasi pada keuntungan materi, bukan untuk mewujudkan generasi pemecah masalah, berkarakter unik dan sholih dan penguasaan terhadap sains dan teknologi mumpuni.
Ilmu dijadikan sebagai komoditas dalam sistem pendidikan yang pro pasar saat ini. Amerika Serikat di tahun 60-an, menemukan hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa investasi dalam dunia pendidikan jauh lebih menguntungkan dibandingkan investasi di bidang saham (Abuddin Nata, 2009). Tidak kurang dari 6 milyar dolar, AS membiayai penelitian terapan (applied research) dalam bidang pendidikan.
Hasilnya adalah Amerika Serikat memiliki sebuah sistem pendidikan yang pragmatis dan berorientasi pasar, yang meniscayakan standarisasi semua bidang ilmu terhadap kebutuhan industri. Akhirnya mulai tahun 70-an hingga sekarang, Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan di dunia. (Rum Rosyid, 2010).
Pada tahap selanjutnya, model pendidikan Amerika ini diadopsi oleh seluruh dunia, hingga timbul kesepakatan dari seluruh negara di dunia, bahwa pendidikan adalah salah satu komoditas yang diperdagangkan. Kesepakatan ini dimotori oleh WTO melalui General Agreement on Trade in Services (GATS).
GATS menjadi legitimasi jual beli pendidikan, Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No, 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan barang, jasa dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali "jasa non-komersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya".
Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidakpunya keterampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya keterampilan. Melalui GATS, semua transaksi perdagangan, di mana pendidikan ditetapkan termasuk di dalamnya dapat diperjual-belikan di pasar global.
Pendidikan tinggi diarahkan sesuai dengan kebutuhan pasar. Buka tutup jurusan menjadi hal biasa dalam pendidikan kapitalis sekuler. Intelektual muslim terkooptasi dalam arus global yang didesain Barat. Mereka bermental inlander, siap masuk dalam dunia kerja dan menjadi buruh murah. Bahkan laju braindraintak terelakkan.
Dalam 50 tahun terakhir, sejumlah besar intelektual Muslim telah bermigrasi dari dunia Muslim ke negara-negara industri. Studi memperkirakan jumlahnya hampir 500.000, ini baru dari dunia Arab, yang meliputi sepertiga dari seluruh diaspora profesional tersebut.
Begitupula dengan Indonesia, sebutlah putra putri terbaik Indonesia; Khoirul Anwar yang lahir di Kediri, Jawa Timur. Dia kini bekerja di Nara Institute of Science and Technology, Jepang. Dia ahli dalam bidang telekomunikasi dan pemilik paten dalam sistem telekomunikasi 4G yang berbasis Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM). Ada Andrivo Rusydi, 33 tahun, dan Nelson Tansu. Keduanya adalah pakar teknologi nano. Saat ini Andrivo menjadi dosen di National University of Singapore, sementara Nelson Tansu menjadi pengajar di Universitas Lehigh, Amerika Serikat (AS).
Kooptasi SDM Muslim terbaik akhirnya menjadi demikian mudah dilakukan, akibat absennya visi politik Negara-negara di dunia Islam dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Apalagi jika pendidikan sudah ditetapkan sebagai bidang usaha terbuka dari modal asing, maka kooptasi SDM oleh asing sangat mudah dilakukan dengan mem-baratkan hati dan pikiran pemuda Muslim, menjanjikan masa depan bagi penelitian mereka, serta 'menjual' ideologi sekuler, dan nilai-nilai (values) yang seolah identik dengan kemajuan dan kesejahteraan.
Islam dan Pendidikan
Negara berkewajiban menyediakan pendidikan yang berkualitas dan gratis untuk seluruh warga negara. Kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Pembiayaan pendidikan akan didanai dari Baitul Mal yaitu dari pos fai` dan kharaj --yang merupakan kepemilikan negara-- seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); serta dari pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Namun perlu meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf.[MO/db]