Oleh : Hervilorra Eldira, S.ST
Mediaoposisi.com-Kementerian Perdagangan dan Kejaksaan Agung menuangkan salah satu syarat ujian Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tahun 2019 yaitu pelamar tak memiliki “kelainan orientasi seks dan tidak kelainan perilaku (transgender)”. Kejaksaan Agung mengaku memiliki landasan hukum terkait larangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) mengikuti seleksi pegawai negeri sipil (CPNS) 2019 di institusinya.Ketentuan yang dimaksud tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI Nomor 23 Tahun 2019 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan PNS dan Pelaksanaan Seleksi CPNS 2019. (Sumber: Kompas)
Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menilai, penyebutan “kelainan orientasi seksual dan kelainan perilaku” kepada minoritas gender membuktikan bahwa negara menolak perkembangan ilmu pengetahuan. Dan menganggap pelarangan dan pembatasan peran kaum LGBT adalah merupakan tindakan diskriminatif. (Sumber: tirto.id)
Keberadaan kaum LGBT di Indonesia semakin meningkat kuantitasnya, meskipun tidak diketahui persis jumlahnya. Hal ini terlihat dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan di kalangan komunitasnya. Mereka semakin lihai menunjukkan eksistensinya ketika didukung oleh lembaga-lembaga Liberal. Kebebasan berekspresi yang dijamin oleh HAM (Hak Asasi Manusia) semakin melegitimasi aktifitasnya.
Di Indonesia LGBT kurang diterima, dan difatwakan haram oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan. Dalam fatwa MUI tersebut aktifitas LGBT diharamkan karena suatu bentuk kejahatan, dapat menimbulkan penyakit yang berbahaya bagi kesehatan dan sebagai sumber penyakit menular seperti HIV/AIDS.
Dipandang dari sudut pandang sosial, pelaku LGBT cenderung menyembunyikan identitas disorientasi seksualnya. Karena ada ketakutan terhadap penolakan lingkungan terhadapnya. Hal ini membuktikan pelaku LGBT telah menentang etika moral di tengah masyarakat dan budaya ketimuran.
Perbedaan penerimaan kaum LGBT disebabkan karena ketidakjelasan hukum di Indonesia yang tidak merinci secara jelas bagaimana kedudukannya. Meskipun di Indonesia tidak melindungi komunitas LGBT terhadap diskriminasi dan kejahatan kebencian, tapi juga tidak memberikan ancaman hukuman yang tegas terhadap pelakunya. Sehingga komunitasnya perlahan-lahan menjadi terus lebih terlihat dan aktif secara politik.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu peluang pekerjaan yang banyak dicari saat ini. PNS adalah pegawai yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam satu jabatan negeri atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Profesi PNS di masyarakat cukup strategis. Bisa menjadi sorotan dan panutan karena dianggap yang paling mencerminkan Warga Negara yang baik. Maka profesi PNS itu tidak boleh cacat hukum. Maka jika kaum LGBT diberikan ruang untuk menempati posisi tersebut, hal ini bertentangan dengan norma sosial dan agama.
Polemik kaum LGBT sebagai PNS wajar terjadi di Negara yang masih menggunakan sistem sekularisme. Pemisahan hukum agama dari hukum Negara menjadikan Negara tidak memiliki sikap tegas dalam hal ini. Karena di satu sisi Negara akan disudutkan oleh komunitas ini atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka pasti akan menuntut kesetaraan dan menolak diskriminasi atas kaumnya.
Inilah kerusakan yg terjadi di sistem kapitalistik. Moralitas diabaikan, dan agama dibuang dari praktik kehidupan dan kepentingan bisnis dimenangkan dengan berbalut slogan kesetaraan dan HAM.[MO/dp]
Wallahu’alam.