Oleh :‘The Red One’,
Mediaoposisi.com-Bagi saya, mandi, kakus, cuci pakaian, cuci alat makan, menyiram tanaman yang ada di rumah, bahkan mencuci sepeda motor saya sendiri adalah kegiatan yang wajib harus ada air bersih. Bahkan tak jarang pula jika anggota keluarga saya sakit, maka butuh memasak air bersih untuk mandi air hangat. Ya, bagi masyarakat jagad kode ponsel +62, hal itu wajar, dan dialami oleh hamper semua keluarga. Namun bagaimana jika tiba-tiba pengumuman di televisi atau sosmed menyatakan; “PDAM rugi karena tarif air bersih rendah”?, satu yang menjadi suudzon masyarakat adalah; “Apa tarif air naik lagi?”Tidak pernah ada narasi yang benar-benar membuat suudzon masyarakat berkurang, kecuali semakin bertambah dengan naiknya pula tarif untuk menghidupi hajat hidupnya sendiri. Padahal ketika ia menggali tanah yang ada di bawah kaki rumahnya sendiri, ia bisa menemukan air, dimana-mana, di bawah tanah sana, air menggenang luas.
Ada berita yang muncul Agustus 2019, oleh rri.co.id, dinyatakan bahwa kenaikan tarif PDAM bisa menaikkan pula tingkat pelayanannya.
PDAM Tirta Baluran Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, mulai awal 2020 akan melakukan penyesuaian atau kenaikan tarif air minum.
Menurut Direktur PDAM Tirta Baluran, Jamal Fajri, penyesuaian tarif dilakukan berdasarkan Permendagri Nomor 71 Tahun 2016 tentang Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum.
"Ada beberapa alasan yang mendasari penyesuaian tarif, termasuk rekomendasi BPKP Jawa Timur, atas Evaluasi Kinerja PDAM Situbondo 2018," imbuh Jamal Fajri, saat menggelar Konsultasi Publik Penyesuaian Tarif Air Minum, Sabtu (24/8/2019).
Apa yang tertuang di dalam berita tersebut, dan dasar adanya kebijakan dan klaim yang telah dibuat oleh yang bersangkutan seakan memberikan tanda, bahwa semua yang dilakukan oleh pemerintah haruslah terbayar lunas hingga menimbulkan keuntungan yang banyak bagi instansi yang bersangkutan. Padahal jika kita membahas mengenai sumber daya yang diolah oleh negara, dalam hal ini air, yang merupakan hajat hidup orang banyak, sangat dilarang melakukan praktek kapitalisasi (pengerukan keuntungan sebanyak-banyaknya) dengan memeras rakyat untuk membayar dengan harga tinggi.
Tak hanya kenaikan tariff yang menjadi solusi pemerintah untuk menutupi “aspek kerugian” dari PDAM, pihak PDAM sendiri menambahkan bahwa instansi tersebut membutuhkan suntikan investasi demi memajukan PDAM dan menyelamatkan anak perusahaan BUMN itu.
Kita analogikan secara sederhana, ketika investasi yang dimaksudkan oleh PDAM adalah investasi dari instansi lain dalam bentuk utang (dalam hal ini dari pihak swasta, asing atau pihak perbankan), dengan ketetapan bunga yang tak hanya sedikit, mereka bisa saja mengambil asset atau hal yang sangat vital dari PDAM itu sendiri ketika PDAM tidak mampu membayarkan utangnya (aliran dana investasi). Ini justru menjadi bom waktu yang benar-benar akan melumpuhkan Negara dan merugikan masyarakat luas. Masyarakat diperas untuk membayar lebih, namun disisi lain, justru PDAM ingin membunuh dirinya sendiri. Ini konyol!
Kalau dianalogikakan dengan sangat sederhana, kesimpulannya menjadi:
“Seorang ayah memaksa anaknya menolongnya, tapi sang ayah sendiri berniat kokoh untuk bunuh diri”
Bukankah ini hal yang bodoh?
Ini bukanlah hal yang baru jika kita kaitkan terhadap yang telah terjadi di tahun 1992, dimana di tahun tersebut telah terjadi perubahan paradigm tentang air bersih melalui The Dublin Statement on Water and Sustainable Development (yang lebih dikenal dengan Dublin Principles) dimana Indonesia juga turut meratifikasinya.
Salah satu dari prinsip dalam Dublin Principles itu adalah “water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good”. Prinsip ini telah mengubah paradigma terhadap air yang sebelumnya dianggap sebagai barang sosial menjadi barang ekonomi. Paradigma yang salah ini menjelma menjadi serangkaian kebijakan dan program kerja yang sangat kapitalistik berupa privatisasi air, seiring dengan adanya tekanan dari Bank Dunia, sebagai konsekuensi atas tindakan pemerintah Indonesia yang mengandalkan sumber dana bagi pembangunan sumber daya air pada lembaga keuangan internasional. Selain terhadap Indonesia, Bank Dunia juga sukses “memaksa” sepertiga dari 276 Negara melakukan privatisasi air sebagai syarat persetujuan hutang baru.
Undang-undang hanyalah permainan semata, peraturan pemerintah, menteri, apapun itu tinggal sebuah nama. Semua substansinya jelas sama. Permainan orang-orang gila uang dan pengaruh kekuasaan, simple. Paradigma sesat mengenai bagaimana sumber daya alam harusnya dikelola telah disesatkan dengan adanya kesepakatan internasional yang sebenarnya telah lama menjadi lingkaran setan dunia.
Dalam teks analisis di sebuah website, tahun 2013, dinyatakan sebagai berikut
Tak heran jika harga air bersih perpipaan menjadi sangat mahal. Sebagai contoh di Jakarta, sejak tahun 1998 PAM JAYA telah menyerahkan operasional penuhnya kepada 2 pihak swasta yaitu PT. Palyja dan PT. Aertra Air. Hasilnya, meski telah diprivatisasi oleh kedua pihak swasta selama 13 tahun namun pengelolaan air tidak memberikan perbaikan yang berarti. Sebaliknya fakta sekarang menunjukkan bahwa harga air di Jakarta adalah harga termahal di ASEAN dengan kisaran harga rata-rata Rp. 7800/m3. Kedua operator swasta gagal memenuhi harapan, untuk memberikan perbaikan layanan kepada masyarakat. Target - target teknis yang telah disepakati gagal dipenuhi oleh dua operator swasta. layanan yang tertuang di kontrak kerjasama tidak berhasil dipenuhi, antara lain volume air yang terjual, kebocoran air dan cakupan layanan.Belum lagi kerugian perusahaan yang muncul akibat hutang shortfall (hutang akibat selisih antara imbalan yang diberikan kepada dua operator swasta dengan tarif) yang mencapai Rp 583,67 milyar (Hamung Santono, Layanan Air Bersih Jakarta; Tersesat Dalam Jebakan Privatisasi, www.kruha.com . 27/10/2011)
Meski data analisis tersebut tidaklah baru, namun cukup memberikan penjelasan yang detail mengapa lingkaran setan (privatisasi oleh kaum kapitalis) tidak kunjung mendapatkan solusi yang baik. Semakin lama semakin memburuk.
Hal ini dibuktikan dengan semakin maraknya berita tentang krisis air bersih di hampir seluruh wilayah Indonesia. Alasan yang selalu dilemparkan di media-media adalah pertama, kekeringan, kedua PDAM tidak mampu mengurai air yang tercemar. Padahal, krisis air bersih telah terjadi sejak tahun 2015. [MO/dp]
Apa yang membuat pemerintah hingga kini belum mendapatkan solusi tuntas mengenai masalah air bersih ini?
4 tahun bukanlah waktu yang sebentar!
Dikala sulitnya air bersih bagi rakyat, masih berkubangkah Negara di dalam pusaran pemikiran “Pokoknya PDAM gak boleh merugi”?
Sebenarnya, pemerintah peduli atau tidak mengenai apa yang terjadi di negerinya?
Jangan sampai ada lidah yang berkata “Apa solusi dari kamu?”,
Ketika pemerintah sendiri sibuk pula melahap gajinya dari rakyatnya