Oleh : Tri Ayu Lestari
Mediaoposisi.com- Tahun 2020 akhirnya tiba. Tidak bisa dipungkiri awal tahun senantiasa menjadi patokan setiap manusia untuk memulai perbaikan, termasuk di antaranya perbaikan ekonomi hidup. Akan tetapi kenyataan di depan mata sangat menyedihkan dengan banyaknya deretan tarif pelayanan publik yang naik di tahun 2020 ini, di antaranya tarif jalan tol, berdasarkan rilis IMS yang diterima media CNBC Indonesia, golongan I naik menjadi Rp. 107.500 dari Rp. 102.000. Sedangkan golongan II naik menjadi Rp. 177.000 dari Rp. 153.000.
Selain itu BPJS Kesehatan pun akan dinaikkan hingga 2 kali lipat untuk setiap golongannya yang mana sudah sangat mencemaskan masyarakat kebanyakan serta yang baru-baru ini dikaji pemerintah yaitu rencana pengupahan baru berbasis produktivitas untuk pekerja buruh. Pengupahan bersifat pukul rata ini menyebabkan pekerja yang tidak masuk seminggu pun akan mendapatkan upah yang sama dengan pekerja yang tidak pernah izin sama sekali. Melalui upah perjam artinya gaji yang diterima berdasarkan jam kerja.
Selanjutnya bagaimana angka pengangguran yang belum mengalami penurunan padahal Presiden Jokowi menyatakan sasaran pembangunan pada 2020, yakni penurunan pengangguran ke tingkat 4,8 % sampai 5,1 %. Akan tetapi yang terjadi justru meroketnya tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia sebanyak 38 % TKA yang asalnya didominasi dari China.
Seperti inilah kondisi perekonomian yang sedang terjadi di tubuh rezim kapitalis sekuler. Semakin banyak kebijakan yang menyengsarakan dan menyulitkan pemenuhan hajat hidup rakyat, bukan solusi kehidupan yang didapatkan justru semakin menambah daftar permasalahan-permasalahan.
Berkebalikan sekali kondisinya dengan penguasa di sistem islam yang selalu berorientasi untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat perindividu dan juga mempertimbangkan peluang masuknya asing baik permodalan maupun oang dengan pertimbangan kebolehan syariay dan kemaslahatan rakyat, bukan malah merugikan kemaslahatan rakyat.
Penentuan upah buruh dalam islam memang bukan dengan pematokan standar minimum sebagaimana mekanisme UMR (Upah Minimum Regional) saat ini. Dalam islam ada 2 jenis pengupahan, manfaat kerja dan manfaat diri (para pekerja). Pengupahan berdasarkan manfaat kerja adalah akad saling ridho antara pengusaha dengan pekerja terhadap manfaat yang bisa dinikmati oleh si pengusaha, maka boleh saja si pengusaha memberikan upah pada pekerja sesuai dengan jam kerja yang memberikan manfaat bagi pengusaha. Hal ini adil bagi pengusaha maupun untuk pekerja.
Persoalan UMR—sebagaimana ditetapkan dalam sistem hari ini, tidak terjadi di dalam sistem islam. Dalam sistem islam pengusaha tidak dibebani untuk memastikan kesejahteraan pekerjanya—terkait itu biaya kesehatan, pendidikan, tunjangan untuk rumah tangga mereka dan seterusnya. Karena akad antara pengusaha dan pekerja itu adalah akad manfaat kerja, maka si pengusaha yanya memberikan upah yang telah disepakati bersama.
Lalu bagaimana para pekerja itu akan menyejahterakan dirinya jika tidak dengan UMR? Ada mekanisme sistemik yakni negara memastikan dan menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar individu perindividu rakyat, melalui mekanisme bekerja. Setiap kepala keluarga atau laki-laki yang punya kewajiban bekerja akan dipastikan oleh negara bahwa mereka mampu bekerja. Mereka punya modal untuk mendapatkan pekerjaan, serta mereka difasilitasi dengan kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan, misalnya dalam proyek-proyek negara yang mengelola sumber daya alam dan energi akan menggunakan tenaga kerja lokal.
Di dalam sistem islam, negara tidak akan lebih mementingkan proyek-proyek asing, tidak membolehkan adanya investor yang memasukkan tenaga kerja asing di dalam proyek yang dia (asing) investasikan.
Kemudian, negara juga memastikan adanya mekanisme jaminan sosial yang diberikan negara kepada seluruh rakyat. Baik pekerja ataupun pengusaha, yakni bahwa negaralah yang menyediakan layanan kesehatan, pendidikan serta sistem keamanan secara gratis dan berkualitas. Bukan seperti yang terjadi di sistem hari ini di mana seluruh rakyat dibebankan dengan tarik-tarif layanan publik yang semakin hari semakin mencekik perekonomian mereka.
Dalam sistem ekonomi islam tidak akan ada sistem kapitalisasi terhadap pangan, sandang dan papan (perumahan). Justru negara memberikan subsidi pada pelaku-pelaku di sektor ini guna memastikan bahwa nanti ketersediannya di hadapan rakyat itu bisa mencukupi. Demikianlah islam memberikan solusi terhadap setiap permasalahan dalam hidup, tidak ada yang tidak mampu untuk diselesaikan islam, baik itu dari segi perekonomian maupun bernegara. Hanya sistem islam sajalah yang mampu menghadirkan kesejahteraan serta mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh rakyatnya.[MO/sr]