-->

Dominasi Politik Oligarki Di Balik Pengangkatan Stafsus Milenial

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh : Fety Andriani S.Si ( Muslimah Peduli Generasi)
Mediaoposisi.com-Penunjukan staff khusus (stafsus) presiden yang mencuat bulan lalu menyedot banyak perhatian publik. Publik dibuat bertanya-tanya tentang penunjukan stafsus tersebut. Pasalnya publik menilai bahwa penunjukan ini tanpa tupoksi yang jelas dan gaji yang fantastis. Hal ini tentu akhirnya menuai protes keras. 


Presiden memperkenalkan 12 orang stafsus yang 7 diantaranya merupakan generasi milenial. Presiden mengharapkan keberadaan milenial di jajaran staff khusus presiden bisa memberi masukan segar demi kemajuan bangsa dan negara.
Adapun 7 orang stafsus tersebut adalah Andi Taufan Garuda Putra, Ayu Kartika Dewi, Adamas Belva Syah Devara, Gracia Billy Mambrasar, Putri Indahsari Tanjung, Angkie Yudistia, dan Aminuddin Maruf. Selain ketujuh milenial tersebut, Presiden juga menunjuk dua wajah baru lainnya yakni politikus PDI-P Arief Budimanta dan politikus PSI Dini Shani Purwono. Selain itu, Presiden juga menunjuk sejumlah wajah lama yakni Diaz Hendropriyono, Sukardi Rinakit dan Ari Dwipayana. (kompas.com)
Hadirnya para stafsus yang kontroversial ini tentunya menjadi pengukuh bahwa politik oligarki ternyata masih menggurita hingga detik ini. Gelagat balas budi pun terasa begitu kentara kala sejumlah nama yang dekat dengan rezim ditunjuk menjadi stafsus. Diaz Hendropriyono, Sukardi Rinakit, dan Ari Dwipayana adalah nama-nama yang sudah lama berkecimpung dalam dunia politik.
Diaz Hendropriyono sendiri adalah seorang politikus muda Indonesia. Namanya lebih dikenal sebagai anak ketiga dari mantan ketua Badan Intelijen Negara (BIN). Sukardi Rinakit juga merupakan seorang Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), sebuah lembaga riset yang menganalisis kemenangan Jokowi-Ma'ruf saat pilpres. Adi Dwipana dulunya merupakan seorang dosen  Fisipol UGM dan pengamat politik yang cukup condong kepada PDIP. Beberapa stafsus dari kalangan milenial juga berasal dari keluarga konglomerat, orang-orang dekat presiden dan parpol koalisi. 
Jika pemerintah serius ingin memberikan ruang bagi anak muda untuk berinovasi maka seharusnya pemerintah fokus menyiapkan lapangan pekerjaan.  Kalau lah ingin mengambil anak muda sebagai teman ngobrol rasanya berlebihan "membeli" ide kreatif mereka dengan harga fantastis sedangkan diluar sana banyak mahasiswa menyuarakan ide dan aspirasinya tetapi presiden malah terkesan abai dan mendadak tuli.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, dengan masuknya para milenial ke lingkaran istana, ruang inovatif itu sudah dikerangkeng oleh Jokowi karena anak milenial itu dituntut untuk bekerja dan mengabdi pada kepentingan penguasa. Bagaimana mau inovatif dan kreatif jika sudah dibatasi. Karena stafsus milenial tak punya daya tekan. Akan kalah oleh elite politik senior. Karena elite politik senior ini punya partai, punya bargaining, dan sering kompromi dengan Jokowi. (tirto.id)
Penunjukan stafsus presiden terkesan memaksakan kehendak. Layaknya penderita obesitas, konsumsi makanan berlebih namun minim aktivitas dan semakin gemuk semakin susah untuk beraktivitas. Stafsus tanpa tupoksi yang definitif dan kinerja yang kongkrit hanya memboroskan uang negara. Hal ini berkebalikan dengan pernyataan Jokowi yang menggadang-gadang efisiensi dan perampingan birokrasi. Nampaknya presiden masih tetap konsisten dengan sikap inkonsistensinya. Semua ini kembali menegaskan kentalnya politik oligarki di negeri ini.
Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemis.
Stafsus milenial adalah manifestasi politik oligarki yang sudah akut. Dengan modal kapital dan status sosial yang kuat para elit berhasil memegang kendali atas partai politik bahkan kekuasaan dalam lingkaran pemerintahan.
Politik oligarki dalam sistem demokrasi sesuatu yang lumrah terjadi. Hal tersebut menunjukkan gagalnya partai politik sistem demokrasi dalam menjalankan fungsinya. 
Mental politikus yang haus kekuasaan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Mereka bahkan rela menggelontorkan dana dalam jumlah besar untuk membeli setiap kepala. Seolah kekuasaan adalah ladang bisnis yang menggiurkan, setelah menanam modal maka tinggal tunggu waktu saja modal tersebut akan kembali dalam jumlah berlipat ganda.
Ongkos politik yang mahal memaksa partai politik melakukan segala macam cara untuk mendapatkan pendanaan. Peluang ini dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk melekatkan tentakel oligarkinya. Akhirnya juga  berimbas pada kaderisasi dan penyiapan para kader untuk mengisi posisi birokrasi menjadi pasif lantaran aksi main comot kandidat dari kalangan elit kapital.
Hal itu sangat berbeda dengan Islam. Islam hadir tidak hanya sebagai pemuas naluri ruhiyah semata. Islam hadir memancarkan cahaya bahkan di setiap sudut dan celah kecil kehidupan manusia dengan syari’atnya yang sempurna dan paripurna.  Allah telah menuntut kita untuk menerapakan seluruh aturan-Nya di segala aspek kehidupan sebagaimana firman-Nya: 
"Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu" (TQS. Al-Maidah [5]: 49).
Dalam kitab Nidzamul Islam, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani merumuskan struktur negara yang terdiri dari 13 bagian yakni ; (1) Khalifah, (2) Mu’awin at-Tafwidl, (3) Mu’awin at-Tanfidz, (4) Al-Wulat, (5) Amirul Jihad, (6) Keamanan Dalam Negeri, (7) Urusan Luar Negeri, (8) Perindustrian, (9) Peradilan, (10) Kemaslahatan Umat, (11) Baitul Mal, (12) Penerangan,  dan (13) Majelis Umat.
Dalam sistem pemerintahan Islam penguasa mencakup empat orang yaitu Khalifah, Mu’awin Tafwidl, Wali dan Amil. Selain mereka tidak tergolong sebagai penguasa melainkan sebagai pegawai pemerintahan. Sistem pemerintahan adalah sistem kesatuan dan bukan sistem federal. Otoritas membuat perundangan hanya ada di tangan khalifah.
Undang-undang yang diadopsi oleh khalifah dari hukum syara’ berlaku untuk seluruh wilayah daulah tanpa terkecuali. Sehingga tumpang tindih hukum dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak akan terjadi. Tidak seperti dalam negara demokrasi saat ini. Ketika timbul kegaduhan semuanya tiba-tiba mengidap sindrom kaget, saling lempar tanggung jawab dan membuat publik geleng-geleng kepala menyaksikan kacaunya birokrasi.
Pemerintahan bersifat sentralisasi sedangkan sistem administrasi adalah desentralisasi. Dalam khilafah pula tidak dibenarkan seorangpun berkuasa atau menduduki jabatan apapun yang berkaitan dengan kekuasaan kecuali orang itu laki-laki, merdeka, baligh, berakal, adil, mampu dan beragama Islam. Disamping birokrasi yang sederhana namun tepat sasaran, penguasa yang bertaqwa dan sistem sanksi yang tegas akan mampu menutup pintu korupsi dan suap dalam tubuh birokrasi. 
Begitulah Islam menyusun birokrasi sehingga terjaga dari terbentuknya rezim oligarki. Sebuah sistem yang diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah  mendatangkan rahmat lil alamin. Hanya dengan Islam keadilan dan kesejahteraan dapat tercipta. [MO/dp]
Wallahu’alam bishshawab


Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close