Oleh: Ummu Azka
(Ibu Peduli Generasi)
Mediaoposisi.com-Anjing menggonggong kafilah berlalu. Bisa jadi perumpamaan yang tepat menggambarkan situasi politik dari awal pemilu hingga saat ini. Berbagai reaksi masyarakat terkait pemilu dan beragam peristiwa di dalamnya, seolah dihempaskan begitu saja dengan diumumkannya pemenang pilpres dan rencana kerja periode ini.
Termasuk di dalamnya pemilihan kandidat menteri. Aroma sangit kekuasaan tercium di mana- mana.
Ketua umum PKB Muhaimin Iskandar dengan jelas menyebutkan setidaknya partainya layak mendapat 10 kursi dalam kabinet periode ini. Dalam kesempatan lain, Anggota Dewan Pakar Nasdem, Tengku Taufiqul Hadi mengatakan partainya layak mendapat jatah menteri lebih banyak dari PKB karena perolehan suara yang lebih besar. Menanggapi hal tersebut, ketua umum Partai Golkar mengatakan bahwa permintaan terkait jatah kursi merupakan hal yang biasa.
Di tengah posisi tawar menawar dan siapa yang merasa paling berhak, khususnya di kalangan partai koalisi, Pengamat Politik menegaskan PDI Perjuangan-lah yang paling berhak mendapatkan jatah kursi menteri terbanyak sesuai dengan peringkat perolehan suara pemilu.
Demokrasi korporasi
Adalah hal yang lumrah ketika banyak partai politik (parpol) meminta jatah menteri kepada penguasa. Karena sejak awal meminta dukungan terhadap parpol, ada transaksi politik yang akan mengikat kedua belah pihak dalam satu kepentingan.
Inilah politik transaksional. Sarat dengan tukar-menukar jasa, antara parpol dengan konstituen. Banyaknya politikus yang terjerembab dalam skandal korupsi, adalah indikasi nyata praktik politik transaksional tersebut.
Dalam hal ini partai politik sekadar menjadi jembatan yang bisa mengantarkan mereka meraih berbagai jabatan publik yang diperebutkan secara bebas. Di sinilah demokrasi menampakkan rupanya. Ya, politik transaksional sangat mungkin terjadi dalam demokrasi.
Sebagai "anak" yang lahir dari rahim kapitalisme sekuler, demokrasi mewarisi banyak sifat dari sekulerisme liberal.
Demokrasi menghendaki adanya kebebasan untuk berfikir dan berkeyakinan, kebebasan mengeluarkan pendapat, rule of law, dan persamaan di muka hukum.
Semua orang berhak terlibat dalam pemerintahan. Tak ada kebenaran absolut dalam demokrasi. Semua akan dipandang relatif. Tergantung pada siapapun yang berkuasa saat itu.
Jika seperti ini maka kekuasaan hanyalah ajang " bancakan" dalam setiap pesta demokrasi.
Dampaknya sangat jelas, rakyat kembali jadi tumbal. Pemenuhan hak rakyat pada akhirnya tak sebesar janji ketika suara mereka betul-betul dibutuhkan. Betapa banyak kebijakan yang sukses membuat rakyat tercekik. Kenaikan harga bahan pangan, sulitnya mencari pekerjaan, bahkan banyak diantara Undang-Undang dibuat berdasarkan permintaan korporasi. Semua dilakukan demi memenuhi hasrat para kapitalis yang menjadi sponsor dalam setiap tampuk kekuasaan.
Kekuasaan dalam Islam
Sebagai bagian dari sebuah ideologi, kekuasaan menjadi hal yang sangat penting. Dengan kekuasaan banyak hal bisa diputuskan. Melalui kekuasaan, masa depan peradaban dapat direncanakan. Lantas bagaimana Islam memandang kekuasaan?
Sebagai risalah paripurna, Islam mengatur kekuasaan sebagai wasilah dalam menerapkan syariat. Sedangkan kedaulatan sendiri ada di tangan Syara'. Inilah kunci pembeda antara demokrasi dan Islam. Kedaulatan dalam Islam mutlak dipegang Syara' dalam hal ini Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber hukum. Maka sekalipun yang menjalankan kekuasaan tersebut adalah manusia, namun tetap terkendali di bawah hukum syariat.
Dari konsep yang cemerlang ini telah lahir peradaban gemilang yang pernah memimpin dunia. Selama kurang lebih 13 abad lamanya, Islam menjadi mercusuar yang menyilaukan dunia. Bahkan ketika peradaban lain masih dalam kondisi gelap gulita, Islam sudah ada pada masa digdaya.
Goresan tinta emas sejarah mencatat kekuasaan Islam yang gemilang pada masa Dinasti Abbasiyah. Berbagai kemajuan dalam bidang kehidupan berhasil diraih dan mampu mencetak generasi berkualitas.
Al Kindi dikenal dunia sebagai bapak ilmu pengetahuan. Hasil pemikirannya menginspirasi banyak ilmuwan. Selama abad ke-9 M, Al Kindi termasuk salah seorang yang gemilang namanya dalam dunia ilmu kimia dan fisika. Ia menjadi pelopor utama dalam memperkenalkan masalah metafisikia, psikologi, etika, geometri, astronomi, isiologi, optika, serta pendekatan yang didasarkan atas metode logika dan ilmiah.
Ibnu Rusyd, cendekiawan muslim dari Cordoba. Tercatat, karya-karya beliau setidaknya mencapai 78 buah, mencakup kedokteran, hukum, teologi, astronomi, sastra.
Ibnu Sinna, dikenal sebagai bapak kedokteran dunia. Kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit.
Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi, kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman.
Sementara itu pendidikan mengalami banyak perkembangan, dengan berdirinya madrasah dan kuttab serta universitas. Fasilitas umum berupa Rumah Sakit Jiwa pertama di dunia muncul pada masa ini.
Bahkan pernah ditemui pada satu masa kekhalifahan dinasti Abbasiyah, sulitnya mencari mustahik zakat. Karena tingkat kesejahteraan yang cukup pada masyarakat dikala itu.
Keberhasilan peradaban Islam pada masa itu adalah buah dari diterapkan nya syariat secara kaffah dalam semua aspek kehidupan. Kesempurnaan ajaran Islam juga mampu melahirkan sosok negarawan dan pemimpin hebat dambaan umat.
Tersebut dalam sejarah betapa tangisan pecah saat diberi amanah. Ya, beliau lah sang Khalifah penuh rahmah, Umar bin Abdul Aziz. Beliau diangkat menjadi Khalifah pada dinasti Bani Umayyah, menggantikan khalifah sebelumnya Sulaiman Bin Abdul Malik. Saat diumumkan di depan publik sebagai pengganti, seluruh hadirin pun serentak menyatakan persetujuannya. Tapi tidak dengan Umar. Sang Khalifah menangis terisak-isak. Ia memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesunggukan.
Ia terkejut, seperti mendengar petir di siang bolong. bahkan mengucapkan Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’uun saat terpilih.
Jika banyak pejabat berpesta ria saat meraih kekuasaan, Umar bin Abdul Aziz malah banjir air mata karena takut pertanggungjawabanya di hadapan Allah pada hari kiamat kelak tak mampu dipikulnya.
Demikianlah seharusnya kekuasaan digunakan, amanah jabatan dipandang sebagai bukti kepercayaan yang akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan manusia tapi juga di hadapan Allah SWT. Maka sejatinya tak pantas jadi rebutan, apalagi ajang mencari keuntungan.
Begitulah sosok dambaan umat. Semoga tak lama lagi ummat mendapatkan sosok yang taat. Memimpin dengan syariat supaya selamat dunia dan akhirat. [MO/AS]