Oleh : Merli Ummu Khila
(Kontributor Media Oposisi)
Mediaoposisi.com- Pekan lalu kita disuguhi sebuah moment besar. Tepatnya tanggal 25 Juli 2019 mahkamah konstitusi mengetok palu kemenangan bagi petahana dengan menolak semua gugatan Prabowo - Sandi. Namun sayangnya nyanyian kemenangan petahana tak disambut rakyat dengan gembira. Wajar saja karena keputusan MK seolah penegasan keberpihakannya dengan kubu petahana. Seluruh rakyat menyaksikan jalannya persidangan. Dan kecurangan tidak terbantahkan dan terbukti bukan sekedar hoax. Kecurangan yang terstruktur, sistemik dan masif.
Keputusan MK menggambarkan bahwa dalam sistem demokrasi sebuah lembaga peradilan tertinggi pun tak berdaya dibawah ketiak penguasa.
Rezim boleh saja punya kuasa melegalisasi kemenangan lewat mahkamah konstitusi. Namun tidak dengan pengadilan rakyat.
Pilpres 2019 menjadi pilpres terburuk sepanjang sejarah. Sebuah pesta demokrasi penuh kecurangan sebelum pemilihan sampai dengan perhitungan suara. Yang tidak kalah tragisnya pesta demokrasi harus menelan korban ratusan nyawa para petugas KPPS.
Jika kita menilik semua kejadian, harusnya rakyat Indonesia mulai berpikir, bukan justru pragmatis apalagi sampai apatis. Dari rezim ke rezim, dari tahun ke tahun namun tidak ada perubahan menuju kesejahteraan. Harusnya rakyat bertanya. Jika berganti rezim tetap tidak ada perubahan berarti bukan rezimnya yang salah bisa jadi sistemnya.
Meski pemerintah mengaku menganut sistem demokrasi di negeri ini, pada praktiknya justru negeri ini seperti tidak mempunyai ideologi. Jika negara konsisten dengan demokrasi mungkin nasib rakyat tidak seterpuruk ini paling tidak. Karena sesuai slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sayangnya slogan ini hanyalah utopis yang mustahil terwujud.
Dari Rakyat
Jika dalam demokrasi kedaulatan dan kekuasaan ditangan rakyat. Seharusnya wakil yang dipilih yang hendak menduduki tampuk kekuasaan harusnya pilihan rakyat. Orang yang benar-benar cakap dan menguasai bidang yang hendak diduduki. Tapi pada faktanya calon legislatif dan eksekutif justru mencalonkan diri atau dicalonkan oleh partai yang terkadang rakyat tidak mengenalnya dan tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan sumbangsih untuk rakyat. Lebih tepat lagi calon yang diusung partai lebih sarat kepentingan partai atau para pemodal dari pada rakyat yang diwakilinya.
Oleh Rakyat
Ini salah satu sebab kehancuran negeri ini. Karena kedaulatan ada ditangan rakyat sehingga rakyat berkuasa penuh membuat berbagai aturan atau kebijakan. Jika rakyat yang dipilih sebagai wakil yang akan membuat undang-undang adalah orang yang amanah, mungkin dia akan mempergunakan wewenang nya untuk membuat kebijakan yang pro rakyat. Tapi dalam demokrasi hal ini sulit ditemui karena para wakil rakyat yang terpilih harus mengeluarkan ongkos yang besar untuk menduduki jabatannya melalui pileg atau pilkada. Secara rasional tentu akan berusaha mengembalikan modalnya dengan cara apapun. Sebaik-baik pejabat jika membuat suatu kebijakan pasti akan ada kecenderungan dan keterbatasan. Jadi tidak akan bisa memberi solusi dengan adil.
Untuk Rakyat
Jika dalam amanat undang-undang dasar 1945 pasal 33 UUD 1945 Ayat (2) : Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jika memang pemerintah dalam hal ini konsisten menjalankan undang-undang dasar, tentu saja kekayaan alam kita tidak berada di tangan asing. Contoh sebagian kecil kekayaan alam kita yang dikuasai asing :
1. Tambang Emas di Papua dikuasai PT Freeport,
2. Tambang Geothermal di Jawa Barat dikuasai PT Chevron.
3. Tambang Batu bara di Kalimantan dikuasai PT Antang Gunung Meratus
4. Tambang Minyak Bumi di Banyak Tempat
5. Tambang minyak bumi dikuasai oleh PT Shell atau Chevron.
6. Tambang Nikel di Sulawesi dikuasai oleh PT Vale Indonesia.
Terbukti bahwa rezim tidak menjalankan demokrasi itu sendiri . Dan terbukti pula slogan dari, oleh dan untuk rakyat hanyalah mantera demokrasi. Demokrasi adalah alat untuk para kapital leluasa bercokol di negeri ini. Demokrasi memang sudah terbukti membawa rakyat pada kesengsaraan bahkan di banyak negara bahkan sudah tidak mempercayai demokrasi sebagai suatu sistem membangun bangsa
Lalu ketika demokrasi tidak lagi dipercaya untuk memperbaiki segala permasalahan kehidupan ini lalu apa solusinya?
Ada sesuatu yang menarik yang disampaikan seorang budayawan terkenal Sujiwo Tejo saat menghadiri Indonesia Lawyers Club (ILC) Selasa malam, 02/07/2019 lalu "Kenapa sih HTI tidak boleh diskusi Publik apa takut digarong pemikiran ( Demokrasi sekuler) oleh HTI. Inilah sesungguh yang sangat berbahaya bagi Bangsa karena melarang diskusi untuk HTI."
Inilah salah satu ketakutan Barat ketika para intelektual HTI berhasil membuka pikiran umat untuk mencampakkan demokrasi. Segala cara dilakukan demi membungkam ide-ide HTI yang selalu membongkar kebobrokan sistem saat ini.
Intelektual HTI sejatinya berdakwah pemikiran, mengajak umat kembali pada kehidupan Islam. Mengajak umat untuk berpikir bahwa sistem yang saat ini dijalankan sengaja memisahkan agama dari kehidupan. Sebuah ormas yang terbentuk dengan pengkaderan mengikuti metode Rosulullah. Maka terbentuklah para intelektual yang tidak hanya mampu menganalisa sebuah kebijakan pemerintah namun juga mampu memberikan solusi.
Ada 3 ideologi didunia ini :
1.Kapitalisme yang melahirkan sistem sekularisme, liberalisme dan demokrasi
2. Sosialisme komunisme
3. Islam
Didunia ini hanya dua sistem yang dijalankan kapitalisme dan sosialisme. Kedua sistem ini diterapkan bahkan di negara negara islam tak terkecuali di Indonesia yang mempunyai populasi muslim terbesar didunia.
Sejarah tentang kegemilangan sistem yang ke tiga yaitu sistem Islam sengaja dihilangkan oleh Barat dari kaum muslim. Sehingga semua orang buta akan sistem yang dibangun oleh Rosulullah Saw yaitu sistem Islam. Padahal jika membaca siroh atau melihat lansung bukti peradaban Islam masih bisa kita saksikan beberapa bangunan bersejarah di Turki.
Jika ide khilafah yang dibawa HTI menurut pemerintah adalah sebuah ancaman. Itu karena sistem yang dijalankan negeri ini jauh dari syariah Islam.
Jadi jika ditanya apakah khilafah sebuah ancaman atau harapan? Maka akan ada dua jawaban.
Bagi para pelaku kedzaliman dan kemaksiatan maka bagi mereka adalah sebuah ancaman. Karena jika syariat Islam diterapkan maka segala bentuk kejahatan akan ditumpaskan, perekonomian ribawi akan dihilangkan.
Namun bagi umat yang mendamba hidup sejahtera seperti dulu islam pernah berjaya berabad-abad lamanya maka ide khilafah adalah sebuah harapan.[MO/AS]