Gambar: Ilustrasi |
Oleh Chusnatul Jannah
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Mediaoposisi.com-Pesta rakyat telah usai. Pemenang telah dimenangkan. Diumumkan oleh pemangku pemilihan. Jokowi-Ma'ruf telah disahkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
Tinggal menunggu pelantikan, Sang petahana dipastikan melenggang di kursi kekuasaan kedua kalinya. Wacana rekonsiliasi pun deras diminta. Agar, rakyat tak lagi terbelah. Berharap rakyat seluruhnya menerima ketok palu MK dengan lapang dada.
Sebab, putusan MK sudah menjadi harga mati bagi pesta demokrasi 2019. Bahkan ada yang berkata, tak akui Presiden terpilih sama dengan pelanggaran hukum. Karena ia dipilih rakyat berdasarkan penyelenggaraan pemilu yang sah secara konstitusi.
Bagaimana dengan pendukung setia Prabowo-Sandi? Tentu saja kecewa berat. Perjuangan mendapat
keadilan akhirnya kandas di tangan para hakim MK. Harapan membongkar kecurangan dimentahkan oleh palu sang ketua.
Segudang bukti, belum cukup menguatkan dugaan adanya kecurangan terstruktur, masif, dan sistematis. Seluruh gugatan paslon 02 ditolak oleh MK. Begitulah aturan main demokrasi. Halal haram tak menjadi ukuran.
Jumlah suara terbanyak dialah pemenangnya. Entah cara mendapatkannya melalui kecurangan atau kejujuran. Tak peduli dengan kualitas pemberi suara yang penting kuantitasnya.
Begitu banyak rapor merah dalam pemerintahan Jokowi. Segudang fakta tak cukup menggoyahkan dukungan terhadap petahana. Sudah kadung cinta, apatah lagi banyak manfaat yang diambil tatkala bersikap sebagai pendukung pemerintah. Diantaranya, tak mudah terjerat hukum.
Hukum lebih tajam kepada lawan dibanding ke kawan. Mau pilih aman? Jangan jadi oposisi. Seolah itulah yang ingin disampaikan.
Pasca putusan MK, koalisi Adil Makmur dinyatakan bubar jalan. Partai pendukung dipersilakan mengambil jalan sendiri. Mau gabung pemerintahan atau setia mendampingi Prabowo-Sandi menjadi oposis. Sebagaimana yang dilakukan oleh partai dakwah, PKS.
Mereka tegas menetapkan diri sebagai oposisi. Mereka menyadari bahwa sikap lantang melawan kezaliman dan kemungkaran hanya bisa dilakukan jika berada di luar lingkaran kekuasaan. Sebab, kekuasaan itu melenakan. Bahkan, membuat pikiran bisa berantakan alias 'kurang sehat'.
Islam adalah musuh kezaliman dan kemungkaran. Sudah semestinya umat Islam tak memberi ruang
terhadap segala bentuk kecurangan, kezaliman, dan kemaksiatan. Maka, wajar bila sikap umat Islam
adalah menjadi oposisi. Memuhasabah penguasa dengan mengawasi dan menasihati mereka.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, "Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan tangannya. Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu, dengan hatinya, dan pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga memerintahkan hambanya untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar seperti dalam firman-Nya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar….” (Ali Imran: 110).
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengemukakan, “Ketika para da’i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak, dan kebodohan mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak kepada kebaikan dan menjauhkan umat dari kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang sesuai dengan kemampuannya.”
Betapa mulia kekuasaan apabila digunakan dalam beramar makruf nahi mungkar. Sebab dengan kekuasaannya, ia mampu mencegah kemaksiatan. Namun, jika kekuasaan itu ia salahgunakan, maka hal itu menjadi bencana bagi dirinya di akhirat kelak. Seorang muslim yang lantang menyampaikan kebenaran memiliki keutamaan yang tak kalah mulia.
Ia gunakan lisannya untuk menyampaikan perintah dan titah Tuhan. Memberi peringatan kepada mereka yang gemar bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Maka dari itu, tetaplah konsisten menjadi oposisi. Agar lidah kita tidak kelu dalam menyampaikan kebenaran Islam secara gamblang dan meyakinkan. Tidak gentar menjadi juru dakwah meski sebagian umat memilih diam karena takut kehilangan jabatan dan kekuasaan. Lanjutkan perjuangan melawan kezaliman hingga Islam dapat diterapkan di bumi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sampai Islam kembali memenangkan peradaban di pentas dunia. [MO/ms]