Oleh: Ananda Dzulfikar
(Anggota Komunitas Sahabat Taat Nganjuk)
Mediaoposisi.com-Isu kesetaraan gender sejak era Kartini hingga era Milenial masih terus menjadi topik menarik di negeri pertiwi ini. Diskriminasi berupa pelecehan seksual,penghinaan fisik, kekerasan dalam rumah tangga, adalah sederet fakta yang angkanya masih cukup mencengangkan dari dahulu bahkan hingga saat ini.
Cita-cita untuk memperjuangkan harkat martabat perempuan pun semakin didengungkan bukan hanya sebagai wacana semata, tetapi sampai puncak tertinggi yaitu dengan merealisasikannya dalam perlindungan undang-undang yang dinilai aman.
Dalam ruang gerak perempuan yang semakin luas dan bebas mereka masih merasa belum aman sehingga membutuhkan sebuah perlindungan agar dalam urusan aktivitasnya menjadikan mereka aman dari segala bentuk kejahatan. Hingga lahirlah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
Benarkah perempuan benar-benar akan terlindungi dengan pasal-pasal RUU ini?
Kontroversi terus bergulir sejak pertama kali munculnya RUU PKS ini di kalangan masyarakat. Kenapa demikian? Bukankah seharusnya masyarakat senang dengan adanya peraturan ini sehingga membuat kaum perempuan terlindungi dan bisa beraktivitas dengan aman dan nyaman?
Dalam RUU PKS ini setidaknya ada beberapa pasal yang dianggap kontroversial diantaranya yaitu,
Pasal 7 ayat (1) tindak pidana kontrol seksual sebagaimana pasal 5 ayat (2) huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan dan atau pengambilan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat.
Ada aroma liberalisasi
Dalam pasal 7 tersebut bahwasanya ada indikasi kebebasan seksual di dalamnya, yaitu adanya hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas individu untuk melakukan atau berbuat atau tidak berbuat.
Artinya disini hukum harus melindungi kebebasan seksual termasuk ketika individu tersebut memilih untuk melakukan kumpul kebo, seks bebas, maupun seks menyimpang seperti LGBT.
Jika diteliti lebih mendalam makna bahasa yang terkandung dalam pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa kontrol seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu; maka dalam hal ini orang tua tidak boleh memaksa anaknya untuk berpakaian sesuai syariat islam. Jika orang tua tetap memaksa seorang anak untuk memakai kerudung dan berpakaian syari dan si anak kekeh tidak mau melakukannya maka orang tua tersebut bisa terkena delik pasal ini.
Ilusi kesejahteraan perempuan penganut kapitalis
Pernahkah kita berfikir bahwasanya upaya pengangkatan derajat perempuan dan perlindungan terhadapnya setiap tahun terus didengungkan tetapi kekerasan terhadapnya tidak pernah surut bahkan meningkat? Ibarat mengaduk lumpur yang diharapkan akan berubah menjadi jernih namun itu sebuah kemustahilan.
kebaikan dan kebatilan yang dicampur adukkan tak akan pernah mengeluarkan kebijakkan termasuk sebuah solusi yang solutif bahkan cenderung akan mengundang dan memunculkan permasalahan baru.
Niatan baik ingin memuliakan perempuan, melindunginya dalam setiap kondisi dan situasi hanya menjadi ilusi jika system yang dipakai negeri pertiwi masih mempertahankan kapitalis liberalis yang hanya memanfaatkan perempuan sebagai objek eksploitasi demi meraup pundi-pundi. B
agaimana tidak, ruang kerja yang dibuka selebar-lebarnya untuk kaum perempuan mengharuskan mereka untuk melepas pakaian syari mereka, karena perempuan hanya digunakan sebagai pemanis agar dagangan perusahaan laris manis.
Lihatlah para perempuan yang bekerja di bank, perusahaan kosmetik dan busana, model iklan, perusahaan besar, baik sebagai sekretaris maupun sales, pasti mereka berpakaian minim menarik perhatian.
Lantas bagaimana caranya mengendalikan pola pikir para laki-laki yang melihat mereka? mustahil jika para lelaki disuruh untuk mengendalikan pikiran dan menundukkan pandangan terus menerus, apalagi mereka yang minim iman. Belum lagi pengaruh media yang bebas sebebas bebasnya menayangkan geliat perempuan dengan lekuk tubuh mereka yang berhamburan di thumbnail layar gadget. Mau mensejahterakan perempuan? Mimpi disiang bolong.
Hanya dengan islam perempuan akan terangkat derajatnya
Jalan keluar dari akar masalah ketimpangan sosial terutama yang dialami perempuan sesungguhnya terletak pada system yang digunakan, maka kita butuh sebuah solusi yang didalamnya memuliakan perempuan yang sudah terbukti bukan ilusi dan janji semu. Ternyata semua itu hanya terdapat pada system islam.
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengatur interaksi manusia dengan tuhannya, dirinya sendiri dan sesamanya. Sebagai agama dan system kehidupan yang diturunkan oleh Allah zat yang maha sempurna, islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Diterapkannya islam maka pemeliharaan agama(hifzh ad-din), jiwa(hifzh an-nafs), akal(hifzh al-aql), harta(hifzh al-mal), keturunan(hifzh an-nas), kehormatan(hifzh al-karamah), keamanan(hifzh al-amn), dan negara(hifzh ad-daulah) akan terjaga. Semua itu tidak bisa diterapkan sendiri-sendiri, tetapi harus diterapkan dalam sistem syariah secara kaffah.
Sebagai contoh, agar kehormatan perempuan terjaga, hukum pergaulan antara perempuan dan laki-laki tidak bisa diterapkan sendiri sementara hukum berzina tidak diterapkan. Padahal hukum bagi pezina tidak bisa dijalankan kecuali di dalam negara islam.
Inilah islam rahmatan lil’alamin sesungguhnya. Inilah islam sebagaimana yang telah diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW. Inilah islam yang benar-benar telah diterapkan selama 14 abad diseluruh dunia, yang pernah memimpin umat manusia dari barat hingga timur, utara hingga selatan.
Dibawah naungannya dunia pun aman, damai dan sentosa dipenui keadilan. Muslim, Kristen, Yahudi dan penganut agama lain dapat hidup berdampingan dengan aman damai selama berabad-abad lamanya. [MO/sg]