Oleh : Isromiyah SH
(Pemerhati Generasi)
Isu kesetaran dan kebebasaan yang diperjuangkan kaum feminis muncul karena penolakan perempuan barat terhadap dokrin gereja yang memarginalkan kaum perempuan selama berabad-abad.
Feminis berargumentasi bahwa perempuan memiliki kapasitas rasio yang sama dengan laki-laki. Gerakan feminis lambat laun menjadi gelombang akademik di universitas-universitas, termasuk negara-negara Islam, melalui program ”woman studies”.
Gerakan perempuan telah mendapat “restu” dari Perserikatan Bangsa Bangsa perempuan dengan dikeluarkannya Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women.
Negara dan lembaga serta organisasi-organisasi di dunia terus mendukung gerakan-gerakan perempuan.
Dalam perkembangannya menurut Thisisgender.com memperlihatkan akar dari gerakan feminisme adalah paham relativisme yang menganggap bahwa benar atau salah, baik atau buruk, senantiasa berubah-ubah dan tidak bersifat mutlak, tergantung pada individu, lingkungan maupun kondisi sosial.
Dalam laporan utama baru UN Women, “ Kemajuan Perempuan Dunia 2019-2020: Keluarga di Dunia yang Berubah , mengkritisi arti sebuah keluarga.
Mengambil sebagian dari laporan Direktur Eksekutif Wanita PBB, Phumzile Mlambo-Ngcuka, bahwa keluarga, dalam semua keragamannya, dapat menjadi pendorong penting kesetaraan gender, asalkan pembuat keputusan memberikan kebijakan yang berakar pada kenyataan bagaimana orang hidup hari ini, dengan hak-hak perempuan sebagai inti mereka. keluarga secara klasik terdiri dari seorang ibu, seorang ayah dan anak-anak.
Sang ayah pergi bekerja, sang ibu merawat anak-anak, mungkin dia bekerja paruh waktu, di rumah atau dekat dengan rumah sehingga dia bisa berada di sana ketika anak-anak kembali dari sekolah. Phumbzile Mlambo-Ngcuka menganggap ini formula umum dalam iklan, film, dan media, pola plot percintaan, kisah lirik lagu, gambar ilustrasi di buku sekolah.
Nyaman, stabil, dapat diprediksi. Dan itu salah, untuk sebagian besar keluarga di dunia. Dua pertiga keluarga dunia lainnya tidak cocok dengan stereotip itu.
Keluarga tetap menjadi unit sentral dari masyarakat, namun, tanpa kejelasan penuh tentang bagaimana mereka disusun, kebijakan yang menentukan dukungan mereka ditujukan pada minoritas, dalam banyak kasus kehilangan yang paling membutuhkan.
Ada lebih dari 100 juta ibu mandiri di dunia saat ini. Mereka adalah 84 persen dari semua orang tua tunggal.
Semua pemerintah mengakui pentingnya keluarga, dan peran mereka sebagai blok bangunan masyarakat dan ekonomi. Tetapi apakah pembuat kebijakan cukup menanggapi kenyataan bagaimana keluarga hidup hari ini? tidak.
Keluarga tidak menerima dukungan yang mereka butuhkan, dan di dalam keluarga itu, perempuan dan anak perempuanlah yang paling dirugikan oleh kegagalan ini.
Realitas lain adalah bukti bahwa rumah adalah tempat perempuan dan anak perempuan sering menghadapi kekerasan mematikan dan pengalaman pertama mereka tentang diskriminasi yang menormalkannya seumur hidup.
Meskipun secara global, jumlahnya menurun, sekitar 12 juta anak perempuan menikah di masa kecil setiap tahun.
Pada 2017, setiap hari, 137 wanita terbunuh oleh anggota keluarga. Sekitar sepertiga dari wanita yang sudah menikah di negara-negara berkembang melaporkan sedikit atau tidak memiliki suara atas perawatan kesehatan mereka sendiri.
Keluarga bisa menjadi tempat cinta, perhatian, dan berbagi, tetapi mereka juga bisa mengecewakan anak perempuan dan perempuan.
Memaknai peran perempuan dan keluarga secara relativisme memang tidak akan pernah sama, berubah-ubah karena tidak memiliki sandaran utuh.
Gerakan feminis dari tahun ke tahun memunculkan masalah sosial baru yang membuat peradaban Barat diambang kehancuran. Isu kebebasan membuat perzinahan diakui sebagai hak individu dan negara tidak boleh memberikan sanksi hukum bagi para pelakunya.
Kaum perempuan Barat banyak yang memilih untuk tidak menikah dan menganggap pernikahan sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan mereka.
Penemuan alat kontrasepsi dan dilegalkannya praktik aborsi telah menjadikan perempuan barat terjerumus dalam pergaulan bebas tanpa takut resiko memiliki anak di luar pernikahan.
Gerakan feminis pada akhirnya telah menjauhkan perempuan dari kehangatan sebuah keluarga. Kaum perempuan terlalu sibuk mengejar karir dan bersaing dengan laki-laki untuk membuktikan eksistensi mereka.
Banyak dari mereka kemudian mengalami alienasi, depresi dan masalah psikologis lainnya, karena melawan naluri dan fitrah sebagai perempuan.
Masyarakat Baratpun akhirnya tersadar dari kekeliruannya dan gerakan feminis dituding sebagai biang kerok atas kehancuran moral yang menimpa kaum perempuan sehingga gerakan ini berangsur-angsur surut dan kini hanya tinggal wacana.
Namun ide yang telah basi di negeri kelahirannya ini kemudian menjadi mainstream di negeri para pengikut. Ini yang rajin dikampanyekan oleh aktivis muslimah di negeri-negeri muslim atas nama melindungi hak kaum perempuan.
Namun yang terjadi justru tatanan masyarakat rusak, seks bebas, HIV/AIDS, dan kehancuran kelurga menjadi marak karena hilangnya peran ibu dan ayah.
Peran Ibu sebagai pendidik dan pengurus rumah tangga ditinggalkan, anak terancam masa depannya dan tidak terdidik dengan benar.
Sebuah upaya global untuk menghancurkan tatanan masyarakat terkecil yaitu keluarga atas nama kebebasan dan kemandirian.
Islam Sesuai Fitrah
Islam telah menetapkan kedudukan laki-laki dan perempuan secara adil dan sama dalam kapasitasnya sebagai hamba. Islam juga menempatkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sesuai sifat dan karakter khususnya dalam rangka saling mengiringi bukan menyaingi. Islam meletakkan peran domestik dan publik kepada perempuan secara seimbang.
Dalam ranah domestik, kewajiban perempuan sebagai al umm warabatul bayt tak bisa disepelekan. Pasalnya, di tangan kaum perempuan (Ibu) kualitas generasi ditentukan.
Tatkala tugas dan kewajibannya sebagai Ibu dan pengatur rumah tangga diabaikan, maka generasi tak akan terdidik dan terurus dengan baik.
Sebagai Istri, mereka wajib taat kepada suami, selama tak menyalahi hukum ilahi. Adanya kehidupan suami istri bukan dalam rangka saling menentangi, akan tetapi saling melengkapi. Hubungan suami istri adalah saling menguatkan.
Adapun dalam ranah publik, perempuan dalam Islam diwajibkan beramar makruf nahi munkar seperti halnya laki-laki.
Selain itu, Islam tak pernah memberikan pengekangan dalam perkara –perkara umum yang berlaku pula untuk laki-laki.
Semisal, menuntut ilmu, mengajar, bekerja dan sebagainya. Islam membolehkan setiap Muslimah bekerja dalam keahliannya semisal, menjadi guru, dokter, perawat, dosen dan sebagainya dengan syarat tak melalaikan kewajiban utama sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.
Karena bekerja dalam pandangan Islam adalah perkara mubah, sedang tugas utama sebagai ibu dan pengurus rumah tangga adalah perkara wajib.
Jika Barat saja menyadari kelemahan ide feminisme yang menjadi bumerang bagi mereka, lalu mengapa kita masih saja mengadopsi dan mengkampanyekan hak-hak perempuan dengan balutan feminisme dan kesetaraan gender?
Hak-hak sebagai perempuan kita dapatkan secara berkeadilan tatkala Islam menjadi pengaturnya. Fitrah laki-laki dan perempuan itu berbeda. Itulah mengapa Allah ciptakan mereka agar saling bersanding bukan bertanding.
Tak perlu mencari contoh yang lain. Apalagi mengadopsi ide feminisme yang sejatinya lahir dari pemikiran Barat. Dengan Islam sudah cukup menjadi teladan dalam kehidupan.[MO/ad]