Oleh: Betha Vanglos
(Penikmat Literasi)
Mediaoposisi.com-Tanggal 30 Agustus 1999, ketika perpolitikan Indonesia masih terguncang pasca-tumbangnya Orde Baru, digelar referendum di Timor Timur di bawah perjanjian yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) antara Indonesia dan Portugal. Hasilnya Timtim lepas dari NKRI.
Tragedi ini diawali dengan adanya kebebasan untuk menyampaikan pendapat sehingga melibatkan negara Asing mendirikan partai APODETI. Keinginan ini diwujudkan bersama UDT yang ingin berintegrasi dengan Indonesia pada 28 November 1975.
Gerakan ini kembali dilancarkan oleh koalisi APODETI-UDT dengan membentuk Pemerintah Sementara Timor Timur dengan Arnaldo dos Reis Araújo sebagai ketuanya.
Peran saudara yang terjadi selama 24 di Timor Timur setidaknya memakan korban lebih dari 200.000 jiwa orang dinyatakan meninggal.
Bahkan menurut laporan investigasi yang dilakukan oleh CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia dari bom-bom napalm, serta mortir-mortir.
Antara bulan Maret-April 1999 terjadi serangakain peristiwa menegangkan di Timor Timur, antara lain eksodus massal warga pendatang, kekerasan di Gereja Liquica yang menyebabkan ratusan orang harus mengungsi, hingga kerusuhan besar di Dili yang menelan korban jiwa
Lima bulan kemuddian, Bendera Merah Putih diturunkan dari Timor Timur dalam upacara yang sangat sederhana. Media dilarang meliput acara ini, kecuali RTP Portugal.
Benturan Kebhinekaan Nusantara
Mati namun masih tetap bernyawa, begitula gambaran kondisi perpecahaan NKRI yang disebabkan oleh demokrasi
Referendum Timor-timur mengingatkan kita tentang ketidakberdayaan Indonesia menjaga persatuan seluruh wilayah Indonesia
Pada tahun 2002 Indonesia resmi melepaskan Timor-timur merdeka dengan sebutan nama baru yaitu Timur Leste
Kondisi yang sangat jauh dari kondisi aman dan damai saat ini sudah masuk dalam kondisi yang sangat menghawatirkan dan tergolong kritis.
Konflik horizontal maupun vertikal dalam segmen fisik ataupun dalam dunia maya kerap terjadi dan seolah tidak pernah mengarah pada perbaikan apalagi permufakatan persepsi.
Bahkan menurut beberapa pengamat maupun masyarakat umum, kondisi sosial khususnya dalam variabel kenyamanan dan kedamaian berada dalam titik terendah dalam sejarah NKRI.
Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan para wakil rakyat dalam mengelola negara khususnya dalam bidang politik, hukum, dan keamanan dianggap sudah dalam titik paling rendah.
Menurut Mantan Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana (Purn) Slamet Subijanto, menyatakan dengan tegas bahwa demokrasi adalah biang keladi dari kerusakan yang terjadi di negeri ini saat ini.
“Perpecahan yang terjadi sebagai akibat demokrasi saat ini sudah pada tingkat sangat membahayakan bagi keutuhan NKRI. Perpecahan yang terjadi pasti akan berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara".Demokrasi adalah politik gaya baru memecah belah bangsa.”, ujar Slamet subijanto saat dihubungi oleh Kantor Berita Nasional
Neo-Totaliter Dalam Kapitalisme
Kapitalisme beserta pengembannya telah masuk dalam jaring-jaring sistem kemasyarakatan, ke jantung kekuasaan, mengendalikan nilai-nilai persatuan.
Hari ini, kapitalisme secara praktis telah membentuk dirinya sebagai ideologi hegemoni hampir di seluruh belahan dunia. Cara kerjanya yang paradoks dan kontradiktif telah cukup membingungkan.
Rezim-rezim yang berlindung di balik ketiaknya berteriak "hidup kerukunan demokrasi" tapi secara nyata bersikap despotik terhadap penentang kekuasaan kapital mereka.
Sudah 7 dekade pemerintahan berganti tapi tak satupun hidup berdamai, tiap hari kita melihat benturan kepentingan antara kekuasaan
Sadar atau tidak, masyarakat tengah dipaksa untuk mengikuti kehendak penguasaa tanpa konfirmasi. Menuntut begitu banyak kepada rakyat namun memberi begitu sedikit
Upeti yang bersembunyi dalam kewajiban pajak dan kartu sakti, BPJS yang diklaim sebagai bentuk saling peduli, jadi bukti bahwa rezim sedang melepas tangannya dari mengurusi rakyat. Subsidi dan hak-hak rakyat dicabut. Pembangunan infrastruktur dikejar hingga abai membangun budi pekerti luhur.[MO/ad]