Oleh : Achmad Fathoni
(Direktur el-Harokah Research Center)
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya di akhir bulan Ramadhan umat Islam senantiasa berbahagia menyambut datangnya Idul Fitri. Dan tentu saja umat Islam yang telah menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lain selama satu bulan penuh, layak berbahagia dengan datangnya bulan Syawal yaitu dengan kedatangan hari raya Idul Fitri. Tua-muda, besar kecil, putra-putri, kaya-miskin, pejabat-rakyat, di kota dan di desa, di berbagai daerah telah mempersiapkan datangnya hari raya Idul Fitri dengan berbagai aktivitas layaknya kedatangan “tamu agung”, yang layak mendapat perhatian lebih dari biasanya. Bahkan kaum Muslimin yang hidup dalam perantauan, menyempatkan diri “mudik” dalam rangka mengunjungi orang tua dan sanak-saudara di daerah asal dengan harapan bisa merayakan hari raya Idul Fitri bersama-sama sanak-saudara di kampung halaman.
Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengakhiri Ramadhan atau dalam penetapan bulan Syawal sebagai penanda waktu perayaan hari raya Idul Fitri. Patut menjadi perhatian publik, khususnya kaum Muslimin, bahwa problem tersebut tidak hanya terjadi di tingkat nasional, atau regional, bahkan juga menjadi problem dunia Islam pada umumnya. Untuk itu, maka umat Islam dan terutama sekali para pemimpin negeri-negeri Islam harus menyikapi secara tepat, tentu harus merujuk kepada pandangan yang shahih dari khasanah hukum Islam. Yang bisa dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, terkait dengan sebab dilaksanakan puasa Ramadhan, hukum syara’ menjelaskan bahwa ru’yatul hilal (melihat bulan sabit) merupakan sebab dimulai dan diakhirinya bulan Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa di-ru’yah (dilihat), maka puasa dilakukan setelah istikmal (menggenapkan 30 hari pada bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan). Ketetapan ini didasarkan pada banyak dalil syara’, antara lain beberapa hadist berikut, sebagaiman Sabda Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal/bulan sabit) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal/bulan sabit). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Bukhari no.1776). Juga terdapat pada riwayat lain: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbuklah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang, maka hitunglah tiga puluh hari” (HR. Muslim no. 1810). Hadist lain juga menjelaskan: “Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Idul Fitri) dan satu bulan itu 29 hari” (HR. Abu Dawud no. 1982, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/142, dari Ibnu Abbas dan di-shahih-kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujuan oleh Adz-Dzahabi).
Berdasarkan hadist-hadist tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru’yatul hilal (melihat bulan sabit). Imam An-Nawawi menyatakan: “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya’ban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka berpuasa.
Kedua, menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama’ ahli ilmu), kesaksian ru’yatul hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi Muslim yang adil. Ketetapan ini didasarkan oleh beberapa hadist Nabi SAW, dari Ibnu Umar r.a: “Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan kepada Rasulullah SAW,”Sesungguhnya saya melihat (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Dawud no. 1995, Ad-Darimi no. 1744, Ad-Daruquthni no. 2170). Dalam hadist ini, Rasulullah SAW berpuasa dan dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan kesaksian Ibnu Umar r.a. Itu artinya, kesakisan seorang Muslim dalam ru’yatul hilal dapat diterima. Dari Ibnu Abbas bahwa: “Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad SAW kemudia berkata, “Apakah Anda bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW adalah Rasulullah?” orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasullullah SAW bersabda, “Wahai Bilal, umumkanlah kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok” (HR Imam yang lima, dishahihkan oleh Khuzaimah dan Ibnu Hibban). Dalam hadist tersebut dikisahkan, Rasulullah tidak langsung menerima kesaksian seseorang tentang ru’yah. Beliau baru mau menerima kesaksian ru’yah orang itu setelah diketahui bahwa dia dalah seorang Muslim. Andaikan status Mulim tidak menjadi syarat diterimanya ru’yah Ramadhan, maka Rasulullah SAW tidak perlu melontarkan pertanyaan yang mempertanyakan keislamannya.
Ketiga, menurut pendapat yang rajah dan dipilih jumhur (ulama’ ahli ilmu), jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal (bulan sabit) bulan Ramadhan dan Bulan Syawal, maka ru’yah itu wajib diikuti oleh kaum muslimin yang berada di negeri lain, tanpa kecuali. Siapapun dari kaum Muslimin yang berhasil melakukan ru’yatul hilal maka ru’yah tersebut merupakan hujjah (argumentasi syar’i) bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang Muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang Muslim di negeri lainnya.
Abdurrahman al-Jaziri menuturkan, “Apabila ru’yatul hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannyatidak ada perbedaan lagi antaranegeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ru’yatul hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaan matla’ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Hambali). Al-Qurthubi menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah -diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim- apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu berita itu sampai Kufah, Madinah, dan yaman, maka wajib atas kaum Muslimin berpuasa berdasarkan ru’yah tersebut. Atau melakukan qadha’ puasa (mengganti puasa di waktu lain), jika berita itu datangnya terlambat. Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hasyfaky menyatakan, “Bahwasannya perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus mengikuti (ru’yah kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ru’yat mereka dapat diterima (syah) menurut syara’. Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ru’yah telah terbukti di suatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan.
Sebagian pengikut madzhab Maliki, seperti Ibnu Al-Majisyun, menambahkan syarat, ru’yatul hilal itu harus diterima oelh seorang Khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti ru’yah negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-Imam al-A’dham (Khalifah). Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan Khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim.
Keempat, perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan saat ini karena diakibatkan oleh pembagian dan batas-batas territorial wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat institusi “Nation State” yang memiliki otoritas untuk menentukan istbat (penetapan) awal-akhir Ramadhan. Biasanya sidang itsbat tersebut hanya mendengarkan kesaksian ru’yatul hilal orang-orang yang berada yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri tersebut tidak seorang pun yang memberikan kesaksian tentang ru’yatul hilal, maka langsung digenapkan, tanpa menunggu terlebih dahulu kesaksian rukyatul hilal di negeri-negeri Islam yang lain. Kemudian hasinya langsung diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan antara negeri muslim satu dengan negeri Islam yang lain.
Dengan demikian, solusi tuntas terhadap problem perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan di seluruh dunia adalah dengan menyatukan kembali negeri-negeri kaum Muslimin dalam satu kepemimpinan. Yang dengannya, institusi itu mempunyai otoritas tunggal dalam penetapan awal-akhir Ramadhan, sehingga hasil keputusannya ditaati oleh umat Islam di manapun berada. Itulah institusi Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallahu a’lam.
from Pojok Aktivis