Oleh : Merli Ummu Khila
(Kontributor Media Oposisi)
Hal yang paling membahagiakan bagi perantau, bersilaturahmi dengan sanak saudara yang bertahun tak bertemu.
Namun kebahagiaan menjadi kekecewaan bagi sebagian besar masyarakat, bagaimana tidak ongkos pulang kampung berganti harga berlipat-lipat. Tarif tol, tiket kereta, tiket pesawat dan tiket bus.
Seperti dilansir oleh Pikiran Rakyat. Com, 24 Mei 2019, Sejumlah pengguna jasa tol Jakarta-Cikampek mulai mengeluhkan pengoperasian gerbang tol utama yang berlokasi di Kalihurip, Cikampek.
Selain menimbulkan kemacetan, penggunaan gerbang tersebut juga memunculkan kenaikan tarif tol di atas kewajaran.
"Saya tidak habis pikir, masak tarif tol dari gerbang Cikopo hingga gerbang utama tarifnya Rp 15 ribu. Padahal, tarif sebelumnya dari Cikopo hingga Karawang Timur hanya empat ribu rupiah," ujar salah seorang pengguna tol Jakarta Cikampek, Ajam, Jumat 24 Mei 2019.
Infrastruktur yang dibangga-banggakan pemerintah sebagai sebuah pencapaian terbaik namun dimata masyarakat seperti lintah penghisap darah.
Sejak pembangunannya yang sudah menjadi polemik dimasyarakat, dari pembebasan lahan, E-tol yang mengharuskan pengemudi mempunyai kartu dan tidak melayani tunai, sampai pada puncaknya ketika tarif tol melonjak naik jelang arus mudik lebaran.
Apalagi akan diberlakukan one way yang seolah memaksa masyarakat yang mau mudik mau tidak mau harus masuk jalan berbayar ini.
Pembangunan tol bukanlah solusi demi meningkatkan perekonomian jika pada akhirnya dikomersilkan. Rakyat yang seharusnya berhak menikmati jalan yang dibangun oleh uang rakyat namun justru diserahkan pada para kapitalis yang tentu saya mengutamakan keuntungan.
Seperti diketahui bagaimana pemerintah menggenjot pembangunan tol sampai menelan dana yang fantastis.
Total nilai investasi yang dibutuhkan sekitar Rp137,74 triliun. Angka ini hampir setara dengan APBD Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat pada tahun 2019
Mahal nya biaya pembangunannya tentu saja pemerintah tidak mampu mengeluarkan dana tersebut dari APBN dan solusi yang paling memungkinkan yaitu dengan berhutang.
Dan untuk menutupi utang tersebut, mau tak mau jalan tol yang sudah selesai dibangun dijual atau didivestasikan ke swasta.
Seperti diketahui bahwa jalan tol yang sudah dibangun pemerintah tidak dikuasai oleh BUMN namun didominasi oleh asing. Apapun beberapa perusahaan swasta yang diketahui memegang konsesi jalan tol diantaranya :
1. PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP)
2. PT Nusantara Infrastructure (META) Tbk
3. PT Astratel Nusantara (Astra Infra)
4. Kompas Gramedia
5. Sinarmas Land
Infrastruktur adalah hal penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan bagi rakyatnya. Jadi bukan sesuatu yang salah bagi pemerintah jika bersemangat membangun infrastuktur demi kesejahteraan rakyat.
Namun yang salah adalah sumber pendanaan negara ini yang salah. Bagaimana tidak sumber APBN kita terbesar dari pajak.
Pemerintah mendapatkan dana untuk mengelola negeri ini bergantung pada iuran wajib rakyat yang diambil dari pendapatan, kekayaan alam dan semua yang terkena wajib pajak.
Semakin besar anggaran belanja negara maka negara akan semakin membebankannya pada rakyat melalui pajak.
Jika dari pajakpun tetap tidak mencukupi APBN maka negara mau tidak mau menambal APBN dengan hutang ke luar negeri.
Seperti kita ketahui bahwa Utang luar negeri Indonesia(ULN) periode Agustus 2018 tercatat US$ 360,7 miliar atau jika dikonversikan ke mata uang dalam negeri sebesar Rp 5.410 triliun dengan kurs yang digunakan Rp 15.000.
Maka jika berharap rakyat akan sejahtera dengan pembiayaan negara yang justru membebankan rakyat,maka kesejahteraan tidak akan pernah tercapai.
Indonesia ini negeri yang luas dan penduduk yang banyak. Tentu saja butuh dana yang besar demi mencukupi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Dan itu tidak mungkin bisa didapat jika hanya mengandalkan pajak.
Bagaimana infrastruktur dalam Islam ?
Didalam Islam sebuah negara dibangun dengan mengelola kekayaan alam sebagai sumber pendanaan utama. Dan infrastruktur pun dibangun dari APBN bukan dari hutang.
Karena dalam Islam negara wajib membangun insfrastruktur yang baik, bagus dan merata ke pelosok negeri. Dasarnya adalah kaidah, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib (Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib).
Berkaca pada sejarah kekhalifahan Umar bin al-Khaththab di dalam buku The Great Leader of Umar bin al-Khaththab, halaman 314 – 316, diceritakan bahwa Khalifah Umar al-Faruq menyediakan pos dana khusus dari Baitul Mal untuk mendanai infrastruktur, khususnya jalan dan prasarana.
Untuk mempermudah perpindahan barang dari berbagai jazirah Syam dan irak, khalifah menyediakan sejumlah unta sebagai alat transportasi kala itu bagi para pedagang yang tidak memiliki kendaraan.
Selain infrastruktur jalan, Al-Faruq juga mendirikan pos (semacam rumah singgah) yang disebut sebagai Dar ad-Daqiq.
Rumah singgah ini adalah tempat penyimpanan sawiq, kurma, anggur dan berbagai bahan makanan lain yang diperuntukkan bagi Ibnu Sabil yang kehabisan bekal dan tamu asing dan tentu saja semuanya gratis.
Solusi kembali kepada Islam bukanlah utopis atau khayalan apalagi percobaan, karena kesejahteraan rakyat tercatat dalam tinta emas sejarah peradaban Islam.
Seorang islamolog asal Amerika Kevin Barrett pada ia menuliskan dalam artikelnya yang berjudul "Who's afraid of an Islamic caliphate? Ia mengatakan pada akhir tulisannya :"Tidak ada alasan untuk takut dengan kebaikan Khalifah Islam yang baru kecuali anda adalah bankir internasional yang bertujuan memperkosa dan memperbudak dunia.[MO/ad]