Oleh: Isna Yuli
(Woman Movement Institute)
Mediaoposisi.com- Pejuang demokrasi. Begitulah masyarakat menyebutnya, mereka adalah para anggota (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) KPPS yang telah gugur dalam mengawal jalannya pesta demokrasi tahun ini. Hingga kamis (2/5/2019) menurut data KPU Jumlah anggota KPPSyang meninggal dunia bertambah menjadi 382 orang. Selain itu, sebanyak 3.529 anggota KPPS dilaporkan sakit.
Bukan hanya keluarga korban yang sedih, namun masyarakat pun turut berduka atas meninggalnya ratusan anggota KPPS, bahkan fenomena ini pun mendapatkan sorotan banyak pihak, termasuk media internasional. Media seperti Bloomberg, South China Morning Post, The Straits Times, hingga Sputniknews menyorot fenomena yang tak biasa ini.
Setidaknya nalar kita tidak hanya berhenti pada kepasrahan menerima alasan kelelahan sebagai penyebab kematian mereka. Evaluasi mendalam perlu dilakukan oleh beberapa pihak, paling tidak KPU, MK serta pemerintah secara umum harus bertanggungjawab atas fenomena ini dikarenakan;
Pertama, sungguh tak etis jika KPU hanya mensimplifikasi bahwa faktor utama petugas sakit dan meninggal dunia adalah karena kelelahan, di mana mereka harus melakukan penghitungan pada lima jenis surat suara Pemilu sekaligus.
Namun jika kelelahan adalah satu-satunya penyebab meninggalnya ratusan anggota KPPS tersebut, maka MK dan seluruh pengusul sistem pemilu serentak inilah yang pertama kali harus diminta pertanggungjawabannya.
Sebab, ide ini mereka pilih dengan dalih penghematan anggaran, namun tanpa memikirkan secara matang teknis dan resiko yang dibawa. Oleh sebab itu perlu tinjauan ulang terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Kedua, meski kematian adalah takdir, namun melihat banyaknya korban yang meninggal menimbulkan berbagai spekulasi di tengah masyarakat. Dalam dunia medis, kelelahan yang diakibatkan oleh tekanan pekerjaan dalam ilmu medis dikenal sebagai fatigue kill.
Menurut Matthew Hallowell, associate professor teknik konstruksi di University of Colorado Boulder, yang berisiko paling tinggi terhadap fatigue kill ini adalah pekerja industri yang bekerja berjam-jam, lembur berhari-hari, dan ketika bekerja terpapar dengan kondisi lingkungan yang keras, seperti bekerja di tengah hujan dan salju.
Pertanyaan selanjutnya, benarkah fatigue kill ini yang menyebabkan kematian anggota KPPS? Dilihat dari cara kerja dan lokasi kerja anggota KPPS tidak bisa di kategorikan sepenuhnya dan semuanya sebagai akibat dari fatigue kill.
Bahkan sebagian masyarakat banyak yang menyarankan agar pemerintah melakukan visum terhadap korban. Karena ini dinilai sebagai respon dan tindakan serius pemerintah atas perjuagan anggota KPPS yang gugur.
Ketiga, banyaknya nyawa yang melayang akibat sistem pemilu kali ini layak mendapat perhatian khusus. Meskipun saat ini konsentrasi kedua kubu masih dihadapkan pada perhitungan suara yang juga ‘melelahkan’, namun setidaknya harus ada pernyataan pertanggungjawaban bersama atas fenomena ini.
Sungguh disayangkan, pernyataan pemerintah justru mengklaim bahwa pemilu 2019 berlangsung aman dan terkendali seolah menyingkirkan serta mengabaikan duka cita keluarga korban.
Keempat, lagi dan lagi sistem demokrasi perlahan menelanjangi jatidirinya yang sesungguhnya. Demokrasi hanya berpihak pada suara terbanyak. Entah itu diberikan sukarela oleh rakyat, ataupun dengan berbagai intrik politik busuk.
Melihat berbagai kecurangan yang terjadi mulai kampanye hingga pemilu yang tak digubris oleh aparat maupun Bawaslu, hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi demokrasi hanya tertuju pada kemengan paslon semata.
Rakyat hanya dianggap sebagai legitimasi diperolehnya suara. Saat rakyat menjadi korban malapetaka pemilu, dimana pemerintah yang gemar bersua foto di lokasi bencana? Tidak adakah santunan dana bagi korban kekejaman pemilu?
Oleh karena itu berkaca pada penyelenggaraan pemilu kali ini. Negara harus merombak segala sistem yang mengantarkan ratusan nyawa melayang ini. Penyelenggaraan pemilu serentak tidak efektif, sudahlah menelan biaya yang tak sedikit, banyak petugas yang belum mendapat honor, belum lagi peluang kecurangan, rusaknya persatuan di masyarakat hingga jatuhnya korban jiwa.
Pemilu yang digadang gadang menjadi pesta rakyat, justru menjadi duka rakyat, pesta hanya berlangsung bagi mereka yang memiliki kepentingan yang tak takut akan siksa akhirat. [MO/ra]