Gambar: Ilustrasi |
Oleh: Tawati
(Member Revowriter Majalengka)
Mediaoposisi.com-"Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."
Pluralitas adalah sebuah realitas alamiah. Pluralitas dalam artian adanya keanekaragaman ras, suku, golongan, dan seterusnya, baik secara fisik maupun non fisik, merupakan sunatullah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam alquran surat Al Hujurat ayat 13 di atas. Hal itu sebegai bentuk menepis tuduhan tanpa dalil dan tendensi fitnah terkait Khilafah yang meniadakan keberagaman (pluralitas).
Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa menghormati orang lain, sekalipun berbeda agama dan keyakinan. Islam juga menganjurkan umatnya untuk bekerjasama dan tolong menolong dengan umat lain sebagaimana disebutkan dalam alquran surat Al Mumtahanah ayat 8, dalam batas-batas yang telah ditentukan. "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bahkan mencela orang-orang yang menghina dan merendahkan kafir dzimmi. Selain itu, kaum muslim tidak dibenarkan memaksa umat lain untuk menjadi penganut Islam seperti apa yang tertuang dalam alquran surat Al Kaafirun. Sejarah justru membuktikan banyak umat lain yang berbondong-bondong masuk Islam setelah mereka merasakan sendiri keagungan Islam dan kesejahteraan hidup di bawah naungan pemerintahan Daulah Islam. Inilah gambaran pluralitas yang diakui Islam. Pluralitas dalam Khilafah sebagai realitas dikelola dengan tuntutan syara' untuk melahirkan kebahagiaan tanpa diskriminasi.
Harus dibedakan antara pluralitas dengan pluralisme. Islam tidak memiliki paham pluralisme. Sebab pluralisme adalah paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim kebenaran' (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Pluralisme akan menjamin terciptanya keharmonisan dan menghindari klaim kebenaran mutlak dari salah satu kelompok dalam masyarakat. Karena menurut paham ini, rasa benar sendiri dan ekslusivisme merupakan biang terjadinya berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi di tengah-tengah masyarakat. Inilah hakikat ide pluralisme yang saat ini dipropagandakan di dunia Islam melalui berbagai cara dan media.
Dalam perkembangannya, ada faktor lain yang mempercepat penyebaran pluralisme ini. Yakni faktor kepentingan ideologis dari Kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme telah menjadi sebuah gagasan yang terus disuarakan Kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalangi kebangkitan Islam. Karena itu, jika ditinjau dari aspek sejarah, faktor pertama (upaya untuk menghilangkan truth claim/klaim kebenaran) bolehlah diakui sebagai alasan awal munculnya gagasan pluralisme. Namun selanjutnya, faktor dominan yang memicu maraknya isu pluralisme adalah niat Barat untuk makin mengokohkan dominasi Kapitalismenya, khususnya atas dunia Islam.
Dalam buku A New Religion America : How A ”Christian Country” Has Become The World’s Most Religiuosly Diverse Nation (2002) karya Diana L. Eck dikatakan bahwa pluralisme bukan saja berbicara pada perbedaan tapi juga pada komitmen, keterlibatan, dan partisipasi antar pemeluk agama dalam aktifitas keagamaan. Pluralisme juga pertukaran, diadakan dialog, dan perdebatan dalam masalah teologi. Jadi, pluralisme tidak hanya terbatas sekedar pada toleransi. Bahkan, dalam buku yang lain “The Challenge of Pluralism,” Diana L. Eck menggandengkan pluralitas dengan pluralisme. Sebab menurutnya, pluralitas saja tidak cukup, seorang pluralis harus terlibat intens. Artinya mengakui pluralitas agama tidak cukup, mestinya mengakui realitas kebenaran agama-agama. Itulah target program pluralisme.
Bahaya Pluralisme dalam Pandangan Islam
Pengelolaan keberagaman dalam sistem sekularisme-kapitalisme mengandung bahaya penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Ide pluralisme yang berasal dari Barat ini menyimpan bahaya untuk Islam.
Bahaya itu diantaranya adalah pertama, mengaburkan konsep Islam sebagai ajaran keyakinan sekaligus solusi total setiap permasalahan kehidupan. Semua agama/pemahaman/doktrin/ideologi dianggap hanya berbeda secara kulit, tapi tidak dengan isi (substansi). Selain membahayakan, akidah pemahaman seperti ini dapat menggiring kaum muslim untuk bersikap ”moderat” dalam memahami dan mengamalkan Islam. Ketika mereka harus terbuka dan mau menerima ajaran lain sebagai sebuah kebenaran, maka telah terjadi pencampuran antara yang haq dan yang bathil. Shalat dan puasa tetap dikerjakan, doa bersama, nikah beda agama antara perempuan muslim dengan laki-laki non muslim juga dilakukan. Bahkan, di Yogyakarta ada satu tempat ibadah yang diperuntukkan bagi seluruh agama.
Kedua, munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, adalah beberapa contohnya. Lalu dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam.
Ketiga, pluralisme tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat. Ini merupakan upaya Barat untuk mengglobalkan nilai-nilai Kapitalismenya. Karena itu, jika kita menerima pluralisme agama berarti kita harus siap menerima Kapitalisme itu sendiri.
Inilah bahaya pemahaman pluralisme yang telah dan sedang mengancam kaum Muslimin saat
ini ketika kaum Muslimin kehilangan Kepemimpinan yang berfungsi sebagai “perisai/junnah” (Khilafah Islamiyah) hampir satu abad lalu. Khilafah Islamiyah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim yang menerapkan Islam, melindungi akidah Islam, serta menjaga kemuliaan Islam dari berbagai penodaan, termasuk oleh pluralisme. [MO/ms]