[Catatan Safari Dakwah & Politik Jawa Timur]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
Mediaoposisi.com-Pagi ini, penulis sudah berada di terminal 2e Bandara Soeta menunggu penerbangan ke Surabaya. Ada dua agenda diskusi hukum & politik di Jawa Timur yang mengundang penulis sebagai salah satu Nara Sumbernya.
Pertama, didkusi di Lamongan mengambil tema "Korupsi Dalam Pusaran Pilpres". Kedua, diskusi di Surabaya mengambil tema "DPT, Pintu Kecurangan Pilpres ?".
Meski dengan tema berbeda, tetapi kedua tema diskusi baik yang diselenggarakan di Lamongan maupun di Surabaya, keduanya tetap berkaitan dengan hajat nasional pemilihan Presiden dan wakil Presiden. Tema pertama, menyoroti banyaknya korupsi khususnya OTT yang dilakukan KPK jelang Pilpres. Sementara tema kedua, mengangkat isu DPT yang diduga menjadi salah satu pintu kecurangan pada Pilpres 2019.
Isu korupsi itu sendiri sebenarnya isu biasa, masyarakat telah memandang korupsi pejabat sebagai 'tindakan lazim'. Betapapun masyarakat membenci dan menginginkan perilaku korupsi ditindak tegas, faktanya korupsi masih saja jamak ditemui.
Bahkan, perilaku korupsi nampaknya bukan lagi dipandang sebagai aib. Lihat saja, Romahurmuzy atau Romi, ketua umum PPP saat tertangkap tangan KPK masih bisa tersenyum sumringah. Bahkan, pada hari berikutnya Romi masih tampak 'ganteng' dengan kaca mata hitamnya.
Memang Pilpres saat ini spesial, sebab hanya dalam hitungan beberapa hari ada setidaknya tiga kasus OTT KPK. Pertama, OTT terhadap Romi terkait jual beli jabatan di kemenag. Kedua, kasus OTT pejabat KS yang uangnya akan digunakan untuk acara pernikahan. Dan yang ketiga, yang paling heboh adalah penangkapan Bowo Sidik Pangarso, kader Golkar yang juga menjabat sebagai ketua tim pemenangan Jokowi - Ma'ruf untuk wilayah Jateng.
Tidak hanya kena OTT KPK, Bowo kedapatan menerima sejumlah duit sebesar Rp. 8 miliar. Dan, duit itu telah didistribusikan secara rapih dalam amplop dalam 84 kardus yang berisi uang pecahan Rp.20.000 dan Rp.50.000,- yang diduga digunakan untuk 'serangan fajar' saat pemilu.
Publik sendiri memiliki praduga lebih, artinya duit didalam amplop tidak saja diakadkan untuk pencalegan Bowo di dapil 2 Jateng, tetapi juga ada hubungannya dengan Pilpres. KPK sendiri enggan memajukan amplop, satu tindakan yang tidak lazim. Biasanya KPK selalu 'memamerkan' barang bukti hasil OTT nya.
Jika dikaitkan dengan Pilpres, tentu OTT KPK terhadap Romi PPP dan Bowo Golkar ini berpengaruh besar terhadap rontoknya elektabilitas Jokowi. TKN Jokowi, sejauh ini tidak mampu melakukan antisipasi terhadap dampak destruktif OTT bagi elektabilitas Jokowi.
Ujaran 'Jokowi tidak pandang bulu', hukum era Jokowi 'tajam keatas' nyatanya tidak mampu menggerus kepercayaan publik terhadap Jokowi. Publik justru mempertanyakan komitmen 'putih' Jokowi, karena ternyata orang di barisan Jokowi terjaring OTT KPK.
Untuk isu DPT, pada 15 Desember 2018 Daftar Pemilih Tetap (DPT) ditetapkan dalam rapat pleno terbuka rekapitulasi DPT Hasil Perbaikan ke 2 (DPTHP-2) yang digelar di Hotel Menara Peninsula, Slipi, Jakarta Barat totalnya 192.828.520 pemilih.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 190.770.329 merupakan pemilih di dalam negeri. Sedangkan pemilih di luar negeri sebanyak 2.058.191 pemilih. Jumlah pemilih luar negeri ini tersebar di 130 perwakilan RI di seluruh dunia.
Namun, kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebelumnya meminta penetapan DPT Pemilu 2019 ditunda lantaran mereka menemukan 25 juta data pemilih ganda dari 137 juta data awal yang tercantum di DPS.
Angka 25 juta dari 137 juta atau dari 192 juta jumlah DPT adalah jumlah yang sangat signifikan. Nyaris 15 % dari total DPT. Padahal, total DPT yang ada belum tentu semua memilih, masih ada potensi Golput yang disinyalir cukup besar. Beberapa pengamat memprediksi angka Golput bisa mencapai 30 %.
Artinya 25 juta angka DPT yang bermasalah ini jika dijadikan sarana curang, sangat signifikan untuk mempengaruhi hasil akhir Pilpres. Meskipun pintu curang bukan hanya pada angka DPT, namun angka DPT adalah angka yang paling berpengaruh untuk membuat keputusan - keputusan penting mengenai angka kemenangan, selisih suara, total pemilih, yang semua ini menjadi ranah KPU.
Jika soal DPT ini diselewengkan, maka tidak akan bernilai ikhtiar maksimal kampanye pasangan calon untuk memenangi hati rakyat, jika 'kertas keputusan pemenang' didesain untuk memenangkan pasangan calon tertentu dengan mengambil celah DPT untuk membuat keputusan angka-angka mengenai jumlah kemenangan, selisih suara, dan total pemilih.
Tentu saja jika terjadi kecurangan, baik melalui sarana DPT yang bermasalah, atau sarana lainnya maka kasihan sekali pihak yang dicurangi. Tidak bernilai semua ikhtiar dan kerja keras selama kampanye. Dan jelas, jika terjadi kecurangan maka petahana menjadi pihak tertuduh, karena petahana yang memiliki kekuasaan dan memiliki akses atas semua sumber daya dan lembaga.
Untuk membuat kesimpulan paripurna, butuh diskusi lebih lanjut. Karenanya, Penulis bersama Prof Suteki, Bang Muslim Arbi, Mas Agus Maksum, sebagai Nara Sumber akan mendiskusikan ihwal tersebut di Surabaya.
Tidak terasa, pesawat sudah siap. Tulisan ini diakhiri saat penulis sudah ada di pesawat dan menunggu terbang ke Surabaya. Semoga Allah SWT ridlo dan melindungi perjalanan sampai tujuan hingga kembali, Amien yarobbal Alamien. []