[Sebuah Tanggapan Untuk Prof. Daniel Mohammad Rosyid]
Ahmad Khozinudin
Penulis tergugah dengan artikel ringan yang dibuat oleh Prof. Daniel Mohammad Rosyid, sebuah tulisan Bernas yang secara apik mampu menggambarkan dinamika politik pemilu 2019, meskipun dibuat di perjalanan dalam sebuah kereta Exprees. Tulisan beliau layak untuk dijadikan bahan renungan, khususnya bagi umat Islam ditengah polarisasi politik yang terbelah menjadi kubu 01 dan 02.
Pada paragraf awal, beliau menggambarkan betapa berhasilnya para musuh Islam -khususnya pada kalangan tertentu- mendeskripsikan khilafah secara buruk, sehingga banyak pihak berusaha membuat batasan dan benteng kokoh dan tak ingin dianggap 'pro khilafah' hingga partai yang dikenal sebagai partai dakwah sekalipun.
Statement ini benar adanya, bahkan hingga pasangan 02 selain membuat batas dengan khilafah juga 'termakan opini sesat' sehingga menyimpulkan khilafah secara keliru. Padahal, diksi khilafah, para pengusung khilafah, tidak memiliki dosa politik kepada kubu 02, bahkan kritik keras pejuang khilafah kepada kubu 01 jelas menimbulkan dampak benefit politik yang sangat signifikan bagi kubu 02.
Bagi kubu 01 khilafah telah nyata dikriminalisasi, sejak pencabutan status BHP HTI secara inskontitusional hingga entitas pejuang khilafah yang mengkritik kezaliman rezim kubu 01, jelas telah memposisikan khilafah dan para pengembannya sebagai 'musuh' kubu 01.
Bahkan, AM Hendropriyono secara khusus sampai harus terjun langsung membuat narasi memusuhi khilafah, dengan mengungkap pertarungan politik Pilpres tidak saja pertarungan capres Jokowi vs Prabowo, tetapi pertarungan antara ideologi Pancasila vs ideologi khilafah.
Meskipun fitnah, tuduhan, kriminalisasi dan upaya alienasi khilafah dari umat itu massif dilakukan, ternyata mereka menemui jalan buntu, mengalami kegagalan demi kegagalan. Tulisan Prof. Daniel Mohammad Rosyid adalah salah satu bukti, betapa upaya dan ikhtiar serius untuk memonsterisasi khilafah nyatanya tidak berhasil.
Tulisan Prof. Daniel justru meneguhkan entitas *khilafah sebagai negara Islam bagi seluruh kaum muslimin adalah sebuah Arsitektur Kepemimpinan Global.*
Khilafah menyatukan negeri kaum muslimin berdasarkan kesatuan akidah, bukan ikatan kebangsaan. Sejauh rentan abad khilafah, sejarah telah membuktikan khilafah mampu menyatukan banyak umat dan bangsa, dengan berbagai latar belakang, kultur, karakter, bahkan agama yang berbeda. Ikatan akidah ini, telah menghilangkan batasan sempadan kebangsaan.
Karenanya, dahulu khilafah memiliki wilayah yurisdiksi yang luar biasa luas, seluruh timur tengah, Afrika, Asia, hingga sebagian Eropa, pernah menjadi wilayah kekuasaan khilafah.
Saat ini, dalam dunia teknologi khususnya teknologi informasi dan transportasi yang begitu pesat, batasan wilayah dan kebangsaan nyaris tidak lagi mampu membuat pagar-pagar penghambat interaksi hubungan untuk saling mengambil manfaat.
Bahkan, kapitalisme global telah sejak lama menyadari hal ini. Methode penjajahan dengan menguasai wilayah melalui kolonisasi, telah diubah dengan penjajahan gaya baru melalui instrumen politik perjanjian dan utang, penguasaan sumber ekonomi sebuah negara, penempatan antek-antek sebagai penguasa wilayah. Methode ini dinilai lebih ejektif untuk merealisir visi penjajahan.
Saat ini, Amerika secara fisik tidak pernah menguasai wilayah Indonesia, atau berbagi konsesi wilayah dengan China sebagainya dahulu Inggris dan Belanda pernah berbagi kolonisasi di negeri ini. Nyatanya, cengkeraman penjajahan Amerika dan China di negeri ini dapat dirasakan secara nyata.
Karenanya, ide khilafah ini penting mendapat posisi strategis untuk didiskusikan dalam rangka melepaskan negeri ini dari berbagai bentuk penjajahan. Visi khilafah yang ingin membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada manusia menuju menghamba hanya kepada Allah SWT semata, sangat relevan untuk dijadikan spirit menangkal ekspansi penjajahan kapitalisme global, baik kapitalisme barat yang diwakili Amerika dan Eropa juga kapitalisme timur yang diwakili China.
Upaya menjadikan khilafah sebagai basis perjuangan melawan penjajahan, bukan hanya akan menjadikan negeri ini *'kawasan Perdikan'* sebagaimana terjadi pada sejarah yang telah lalu. Bahkan, putra-putra terbaik negeri ini, putra terbaik dari rahim umat Islam, bisa menjadikan negeri ini sebagai tempat babat alas sebagaimana dahulu Raden Wijaya babat alas hutan Tarik, yang akhirnya menjadi cikal bakal peradaban besar kerajaan Majapahit.
Posisi nusantara adalah 'tanah subur' untuk menebar benih khilafah, benih kekuasaan yang menebar kemaslahatan dunia yang diturunkan dari wahyu ilahi. Saat khilafah ini diterima oleh umat di negeri ini, saat para pengemban dakwah, para politisi, ulama, kaum cendekia, berhasil 'babat alas' dan menumbuhkan pohon khilafah di negeri ini, maka khilafah ar Rasyidah yang kedua, menjadi entitas negara yang wilayah nusantara ini kelak *bukan hanya dikenal sebagai 'kawasan Perdikan' tetapi wilayah inti dimana khilafah kembali ditegakkan, menjadi pusat peradaban Islam bahkan dunia.*
Penulis kira, Fikiran dan ide khilafah yang Agung ini perlu didiskusikan lebih intensif dan dengan pikiran terbuka. Dunia telah mengalami kebinasaan akibat berkuasanya ideologi kapitaslisme. Penjajahan dan penindasan, telah meluluhlantakkan mayoritas negeri-negeri muslim.
Khilafah adalah methode operasional untuk mengimplementasikan hukum Islam. Dengan khilafah, InsyaAllah umat Islam benar-benar akan menjadi rahmat bagi semesta alam. []
from Pojok Aktivis