[Catatan Hukum Diskusi Publik Pusat Kajian & Analisis Data Surabaya]
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
Alhamdulilah, pada Ahad 31 Maret 2019, penulis bersama Mas Agus Maksum dan Prof. Suteki hadir sebagai nara sumber dalam diskusi politik yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian & Analisis Data (PKAD) di Surabaya. Cak Slamet, selaku Pimpinan PKAD bertindak langsung sebagai moderator.
Diskusi ini juga dihadiri sejumlah tokoh di Surabaya, ada Pak Misbahul Huda Caleg PKS (Mubaligh Surabaya), ada Pak Alim Tualeka BPP Prabowo Sandi Jatim, Pak Ibrahim (PDM Surabaya), Pak Mintardjo tokoh RGP, dan tokoh tokoh Surabaya lainnya.
Diskusi ini dilakukan menindaklanjuti adanya temuan sejumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang invalid yang ditemukan oleh tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Sandi. Data awal yang jumlahnya 25 juta dari sekitar dari 185 juta DPT, saat ini menyisakan angka 17,5 juta DPT invalid dari total DPT akhir KPU yang dinyatakan sejumlah 190 juta.
Mas Agus Maksum cukup rinci mengurai masalah DPT invalid ini, dimulai dari sebab invalid, sebaran, hingga jumlah total data DPT invalid yang tercatat 17,5 juta. Diantara sebab invalid semisal NIK ganda, Tangga lahir ganda dan sama, satu KK denbdb alamat domisili berbeda, tanggal lahir aneh (bahkan mengenai hal ini, ada DPT yang tanggal lahirnya se zaman dengan nabi Musa AS, kelakar Mas Agus), data DPT dengan kode tertentu yang tidak dikenal dalam sistem kependudukan nasional, dan masih banyak lagi.
Fakta lain juga, kondisi sistem IT KPU yang ternyata tidak terstandarisasi sehingga sangat rawan di hack. Terbukti, beberapa kali KPU mengeluh adanya upaya peretasan laman KPU dari peretas China, menambah praduga publik atas adanya potensi kecurangan Pilpres pada Pilpres tahun 2019.
Apalagi serentetan peristiwa yang mendukung praduga publik atas adanya kecurangan, cukup relevan. Banyak Kasus E KTP tercecer, serbuan TKA China, WNA memiliki e KTP, menjadi pengatar peristiwa yang menguatkan dugaan curang ini.
Temuan Mas Agus Maksum dari BPN Prabowo, yang menyebut ada data 17,5 juta DPT invalid ini sangat meresahkan. Bukan hanya ratusan atau seribuan, tapi ini 17,5 juta. Jumlah yang sangat signifikan mempengaruhi hasil akhir Pilpres, jika data DPT invalid ini dijadikan pintu untuk berbuat curang.
Angka 17,5 juta DPT invalid dari total DPT yang ditetapkan KPU sebesar 190 juta, berarti sebesar 10,8 % atau kita anggap bulat 10 % dari total DPT akhir yang ditetapkan KPU. Jika selisih kemenangan suara antara pasangan capres - cawapres kurang dari 10 %, maka angka DPT invalid sebesar 10 % ini bisa mengubah konstelasi hitungan suara, dan tentu berpengaruh pada hasil akhir dan pemenang Pilpres.
Belum lagi, dari DPT akhir 190 juta ada potensi suara golput. Artinya, tidak semua jumlah DPT akhir ini mencoblos saat Pilpres. Jika tren golput itu rata-rata 25 % dari 190 juta, maka jumlah suara yang akan mencoblos adalah 190 juta dikurangi 47,5 juta suara golput (berasal dari 25 % dari total DPT Syah). Ditemukan angka 142,5 juta DPT sah yang memilih dalam Pilpres.
Selisih nilai DPT invalid dengan suara DPT sah yang ikut mencoblos lebih besar lagi. Yakni 17,5 juta data DPT invalid berbanding 142,5 juta DPT sah yang memilih dalam Pilpres. Data DPT invalid memiliki bobot prosentai lebih besar, yakni 12,28 %. Tentu, ini adalah nilai prosentasi yang sangat signifikan jika dijadikan sarana untuk curang.
Prof Suteki melihat, persoalan ini sederhana jika semua pihak memang memiliki tujuan untuk menyelenggarakan pemilu dan Pilpres secara jujur, bersih dan adil. Data invalid sejumlah 17,5 juta ini direkomendasikan untuk dihapus, dengan demikian potensi menyalagunakan data DPT invalid untuk curang tertutup.
Penulis sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Prof Suteki. Jika rekomendasi ini ditindaklanjuti, maka KPU akan terhindar dari praduga publik atas adanya potensi curang menggunakan data DPT invalid. Agar pemilu berjalan LUBER dan JURDIL sebagaimana amanat konstitusi dan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Lagi pula, seluruh partai dan calon tidak akan ada yang dirugikan jika data 17,5 juta DPT invalid ini dihapus. Sebab, semua calon dan partai akan fokus berkonsentrasi untuk memenangi hati pemilih yang jumlah totalnya 190 juta (DPT akhir KPU) dikurangi data DPT invalid sejumlah 17,5 juta.
Dengan data bersih yang telah dikeluarkan data DPT invalid, maka KPU memiliki DPT sejumlah 190 juta dikurangi 17,5 juta. Jadi, DPT pemilu tahun 2019 itu jumlahnya 172,5 juta.
Angka DPT 172,5 juta ini adalah angka bersih, angka yang terbebas dari praduga publik. Sedangkan angka 190 juta yang diumumkan KPU belum lama ini, adalah angka berpraduga karena memuat data 17,5 juta DPT invalid, sebagaimana diterangkan Mas Agus Maksum.
Jika jumlah DPT KPU yang diumumkan sejumlah 190 juta ini tidak dikoreksi, masih memuat data 'invalid' yang jumlahnya mencapai 17,5 juta, maka wajar jika publik memiliki praduga akan ada yang memanfaatkan angka 17,5 juta data DPT invalid untuk curang. Dan jika praduga curang ini menguat, jelas petahana yang menjadi pihak tertuduh karena petahana yang paling memiliki wewenang dan akses terhadap sumber data dan penyimpanan dan penggunaannya.
Melihat fenomena ini, dari berbagai masukan diskusi penulis memiliki beberapa rekomendasi :
*Pertama,* perlu membuat serangkaian langkah politik dan hukum, untuk 'memaksa' KPU menghapus 17,5 juta data DPT bermasalah agar celah curang Pilpres melalui DPT invalid ini terkunci dan tertutup rapat.
Semua pihak perlu mempersoalkan masalah DPT invalid ini, agar kualitas Pilpres benar-benar baik serta menghindari dakwaan publik atas adanya kecurangan pasca Pilpres. Lagi pula, semua partai dan capres tidak akan dirugikan jika data invalid ini dihapus. Namun, jika KPU atau ada partai yang keberatan, wajar jika publik menduga ada skenario curang dalam Pilpres 2019.
*Kedua,* proses politik yang diduga tidak fair ini akan bernilai jika selisih suara tidak signifikan. Karenanya Perlu angka kekalahan yang telak atas kubu zalim rezim Jokowi, sehingga potensi DPT invalid untuk curang ini tidak mampu membalik neraca kekalahan Jokowi yang kalah telak.
Jika selisih kemenangan itu hanya 5 % sampai 10 % , angka ini tidak aman dan bisa kalah ketika bandul kecurangan dimainkan melalui 17,5 juta data DPT invalid yang memiliki bobot 10,8 % dari 190 juta DPT akhir KPU, apalagi jika dibandingkan bobot 12,28 % dari 142,5 juta total suara yang memilih (asumsi golput 25 %).
Cara untuk menang mutlak itu bisa dengan cara mempengaruhi dan meyakinkan Undecided Voters untuk melabuhkan pilihan politik pada kubu penantang. Selanjutnya, melakukan kritik tajam terhadap kinerja politik kubu petahana yang zalim, bohong, ingkar dan khianat agar pemilih mengurungkan niat memilih petahana dan otomatis bermigrasi ke kubu penantang.
Dilihat dari ceruk pasar suara, kegiatan mengkritik rezim petahana agar pemilih bermigrasi ke kubu penantang angkanya jauh lebih signifikan ketimbang meyakinkan swing Voters atau Undecided Voters.
Menurut survei Litbang kompas, ceruk pasar petahana 49,2 % jauh lebih besar ketimbang angka Undecided Voters yang hanya sebesar 13,4 %. Kubu penantang bisa berfokus merawat suara penantang sebesar 37,4 % sekaligus menawarkan program dan kampanye untuk meneguhkan pilihan Undecided Voters sebesar 13,4 % agar memilih kubu penantang.
Sementara itu perlu kerja ekstra keras untuk melakukan kritik tajam terhadap rezim, melakukan diskredit kepada rezim melalui pengungkapan berbagai dusta dan pengkhianatan rezim atas umat. Sehingga, hal ini menyebabkan 49,2 % suara petahana ini meninggalkan petahana dan otomatis bermigrasi kepada kubu penantang, bukan kepada calon lainnya karena Pilpres tahun ini hanya terdiri dari dua pasangan calon.
Kerja-kerja politik yang dilakukan HTI dalam melakukan aktivitas politik diskredit pada Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2016, bisa menjadi referensi politik untuk memindahkan suara petahana kepada kubu penantang. Dalam konteks ini, kubu penantang tidak perlu mempertanyakan lagi komitmen pilihan politik HTI yang telah dicabut BHP nya secara zalim oleh rezim, tetapi lebih fokus untuk melakukan kerja-kerja politik sebagaimana dilakukan HTI, untuk memindahkan suara pemilih dari petahana bermigrasi ke kubu penantang.
*Ketiga,* perlu pengawasan dan kontrol masyarakat secara ketat, di semua lini, termasuk di seluruh TPS, sebagaimana disampaikan Pak Alim Tualeka. Dengan demikian, pihak-pihak yang berfikir untuk curang dan mau menyalahgunakan suara rakyat, Alan berfikir ribuan kali untuk melakukan hal itu.
Penulis kira tiga rekomendasi penting ini perlu diperhatikan dan dilakukan oleh segenap elemen anak bangsa, agar kepemimpinan yang zalim, bohong, ingkar dan khianat ini dapat segera diakhiri. Kita semua menunggu tanggal 17 April bukan sekedar dimaknai sebagai hari pemungutan suara, tetapi sekaligus deklarasi dan salam perpisahan pada rezim yang represif, zalim dan anti Islam. Semoga saja. []
from Pojok Aktivis