Oleh Isromiyah SH
Pemerhati Generasi
Mediaoposisi.com-Beras sachet kembali. Perum Bulog menggagas penjualan beras dalam bentuk rencengan atau sachet agar masyarakat bawah pun tetap bisa makan nasi dengan harga terjangkau, Direktur Utama Bulog Komjen (Purn) Budi Waseso menuturkan, harga yang dipatok pun terbilang murah, sekitar Rp 2.000-2.500 dalam kemasan 250 gram(14/5/19).
Bahkan di wilayah Kaltim dan Kaltara telah dipasarkan dengan merek “kita” melalui Rumah Pangan Kita (RPK).
“Beras jenis premium dalam kemasan praktis ini cocok untuk anak kos atau mahasiswa, traveler dan masyarakat berpenghasilan harian,” ujar Kepala Bulog Divisi Regional Kaltim & Kaltara (Kaltimra) Arwakhudin Widiarso(20/3/19).
Komoditas yang tidak pernah lepas dari kontroversi ini kini dipasarkan lagi dengan solusi lama kapitalis. Guna menjamin pemerataan beras ke masyarakat tanpa melalui pihak ketiga, Bulog memasarkan berasnya dalam kemasan sachet, agar harga terjangkau, dan memangkas kesempatan mafia pangan untuk bermain-main.
Bicara tentang mafia pangan, eksistensi mafia pangan di Indonesia telah menggurita dalam waktu yang cukup lama dan berjalan secara sistematis berkat pembiaran sistem kapitalis berjalan. Di dalamnya terdapat pengambil kebijakan dan penegak hukum yang berhasil disuap, sehingga kejahatan mafia pangan sulit dibongkar.
Mafia beras Di Indonesia memiliki jaringan yang begitu kuat dari hulu hingga ke hilir, mereka memiliki informasi akurat mengenai kondisi pasar, seperti berapa banyak beras yang tersedia dan berapa banyak kebutuhan di setiap daerah.
Dengan dukungan gudang-gudang besar untuk menimbun beras, memudahkan mereka mengendalikan suplai ke pasar, yang berdampak pada kontrol harga dan kontrol pasokan.
Mafia beras selama ini mengeruk keuntungan sangat besar. Komite Ekonomi Nasional (KEN) beberapa tahun lalu menyebutkan, kartel importir pangan di Indonesia, termasuk mafia beras, diperkirakan meraup keuntungan sekitar Rp 13,5 triliun per tahun. Keuntungan itu berasal dari 15 persen dari nilai impor komoditas pangan yang setiap tahun sekitar Rp 90 triliun(17/1/18).
“Problem pangan kita sudah menggurita selama 4 dekade. Tak heran menyebabkan negeri ini terkesan tersandera oleh kelompok mafia.
Mulai dari soal pangan pokok seperti beras, kedelai, jagung, daging, ikan, garam, gula pasir, susu dan telur serta komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar dunia,” tegas Pengamat Ekonomi Kerakyatan dari Universitas Trilogi dan Dewan Pembina Indonesia Food Watch, Muhamad Karim(23/7/18).
Berdasarkan hasil penindakan Satgas Pangan Mabes Polri, sebanyak 373 kasus pangan berhasil dibongkar, diantaranya 66 kasus beras. Dari 373 kasus pangan, sebanyak 409 telah ditetapkan tersangka.
”Kalau meningkatkan produksi gampang. Kenapa (melawan mafia pangan) paling berat? Dia punya modal besar, dia punya jaringan ke mana-mana, dan tidak jelas pelakunya, ada di area yang abu-abu. Tapi kalau kami temukan tidak ada kompromi. Di internal, kami black list 15 perusahaan, sebentar lagi jadi 21. Itu perusahaan besar, bukan kecil.
Enggak ada kompromi, jangan permainkan ekonomi rakyat kecil. Ada salah satu perusahaan bisa untung sampai triliunan rupiah. Ini ada barangnya. Sudah ada 409 tersangka, ini bukan pekerjaan kecil. Setiap satu (perusahaan yang terlibat mafia pangan) kami tutup, buzzer-buzzer-nya menyerang”, jelas Mentan Andi Amran Sulaiman.
Bergejolaknya harga beras pada dasarnya disebabkan oleh tidak tercukupinya pasokan beras ke masyarakat dan macetnya distribusi beras.
Islam memandang bila permasalahan melonjaknya harga beras disebabkan oleh kurangnya pasokan beras yang mungkin disebabkan oleh produksi beras petani lokal tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat maka langkah yang ditempuh oleh negara harusnya lebih menguatkan dan mendisiplinkan politik pertanian agar tercapai produktifitas pertanian yang tinggi.
Dalam kondisi darurat sepanjang tidak menyebabkan kerugian petani lokal di mana tidak ada pilihan lain lagi kecuali harus mendatangkan bahan pangan dari luar maka pemerintah harus melakukan kebijakan impor beras.
Impor beras dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan rakyat bukan untuk berbisnis.
Bila naiknya harga beras disebabkan masalah distribusi, maka harus dilihat apakah oleh faktor fisik seperti rusaknya jalan dan tiadanya sarana transportasi yang memadai atau karena permainan spekulan yang menimbun beras. Bila penyebabnya masalah pertama maka pemerintah segera memperbaiki jalan dan sarana transportasi yang rusak.
Bila penyebabnya karena penimbunan beras, maka pemerintah secepatnya mengembalikan beras yang ditimbun oleh pedagang spekulan tersebut dan memberikan hukuman setimpal terhadap para pelakunya. Rasulullah telah melarang manusia melakukan penimbunan bahan makanan dan menyatakan perbuatan tersebut adalah salah.
Islampun tidak akan menerapkan pematokan harga batas maksimal maupun minimal sebab hukumnya haram dan fakta kebijakan pematokan harga tersebut pada akhirnya juga akan merugikan petani.
Untuk menjaga harga beras agar stabil dan terjangkau masyarakat, Islam menerapkan operasi pasar untuk menjaga kemampuan daya beli masyarakat dan menciptakan keuntungan bagi para petani.
Langkah praktisnya pemerintah dapat melakukan kebijakan pembelian beras petani sesuai harga pasar kemudian menjualnya kepada para pedagang dan masyarakat dengan harga terjangkau di bawah harga pasar.
Demikianlah konsep dan nilai syariah Islam memberrikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan.konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya.