Oleh: Endiyah Puji Tristanti, S.Si
(Penulis dan Pemerhati Politik Islam)
Mediaoposisi.com-Bagai pita kaset usang yang kusut diputar ulang. Sinisme terhadap perjuangan penegakan khilafah terus diaruskan demi kepentingan syahwat politik praktis.
Pola pikir pragmatisme produk pandangan hidup sekulerisme telah menjatuhkan politikus-politikus demokrasi ke level berpikir terendah. Logika patah menyandingkan proyek khilafah global dengan seremonial demokrasi lokal terpaksa dibangun.
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), M Romahurmuziy menuding bahwa kelompok yang menginginkan khilafah dan mengubah Pancasila saat ini berkumpul semua di kubu paslon nomor urut 02, Prabowo-Sandiaga.
Padahal jauh-jauh hari Badan Komunikasi DPP Gerindera, Andre Rosiade kepada Kantor Berita Politik RMOL (30/10/2019) telah menjawab tuduhan serupa sebagai isu sesat dan menyesatkan yang tidak masuk akal tanpa landasan fakta.
Jawaban yang masuk akal sebab selama ini Prabowo dikenal sebagai seorang nasionalis non agamis, sehingga saat ini sulit untuk memasukkan Capres 02 ini dalam bursa penegakan khilafah.
Pernyataan terbuka atas persetujuan terhadap gagasan khilafah dan kepemilikan HGU yang jelas tidak merujuk pada sistem ekonomi Islam turut memperkuat jauhnya Prabowo Subianto dalam isu perjuangan khilafah.
Lantas mengapa monsterisasi khilafah massif dilakukan oleh pendukung rezim yang dinilai banyak kalangan sebagai rezim gagal ini?
Ada beberapa alasan diantaranya, pertama politik demokrasi adalah politik sekuler yang menghalalkan segala cara.
Fitnah dan kebohongan senantiasa menjadi jubah resmi kampanye politik mereka. Sekulerisme secara hakiki mengabaikan pentingnya agama termasuk Islam. Maka politik sekuler mensahkan praktik monsterisasi konsep khilafah yang merupakan bagian integral ajaran Islam.
Kedua, politik demokrasi lokal tidak independent dari intervensi demokrasi global. Rekomendasi Rand Corporation think-thank neo-conservative AS berjudul "Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies", menjadi salah satu masterpiece Barat untuk menjegal proyek khilafah.
Indonesia dengan rezimnya yang sangat berkhidmat pada asing memandang wajib mengambil rekomendasi tersebut untuk adu domba kelompok-kelompok umat demi menunjukkan loyalitas terhadap Barat.
Ketiga, trauma politik partai-partai pendukung rezim atas kekalahan Ahok pada pilgub DKI. Tidak dapat dipungkiri peran besar kelompok Islam mendakwahkan syariah-khilafah menjadi inisiator gerakan massal tolak pemimpin kufur.
HTI sebagai salah satu gerakan politik yang tidak dapat dikecilkan. Terlebih setelah panji Rosulullah liwa' royah diterima umat. Kini opini jangan pilih pemimpin pembohong terus menjadi trending. Ketakutan rasional meski diikuti tindakan represif rezim yang irrasional kepada setiap kelompok Islam oposisi.
Sebenarnya bukan hanya rezim yang ciut. Keyakinan sekaligus ketakutan Barat terhadap berdirinya kembali Khilafah pun telah mengakar.
George Bush, Donald Rumsfeld, dan Dick Cheney telah membicarakan tentang keinginan kaum Muslim untuk mendirikan khilafah dan mereka semua berbicara sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional Amerika.
Terpilihnya Presiden Trump pasca Obama terlihat tidak ada perubahan pada tujuan kebijakan luar negeri Amerika yakni melanjutkan War on Political Islam.
Termasuk Putin, Presiden Rusia, berbicara dalam sebuah acara dialog di sebuah setasiun televisi yang disiarkan secara langsung pada bulan Desember tahun 2002 menyatakan, “Terorisme internasional telah mengumumkan peperangannya atas Rusia dengan tujuan merampas sebagian wilayah Rusia dan mendirikan Khilafah Islamiyah”.
Dengan demikian karena khilafah merupakan ajaran Islam maka diskusi seputar khilafah harus dikembalikan kepada sumber dan rujukan khasanah pemikiran Islam.
Hadits yang sangat fenomenal untuk dijadikan referensi diskusi seputar probabilitas tegaknya Khilafah Islamiyah yakni hadits riwayat Imam Ahmad.
"Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” Dalam Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273
Artinya hadits akan datangnya kembali Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah derajatnya berkisar antara shahih dan hasan.
Selanjutnya Imam al-Ghazali (w. 505 H) menyatakan, “Kita tidak mungkin bisa menetapkan suatu perkara ketika negara tidak lagi memiliki Imam (Khilafah) dan peradilan telah rusak.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn. Lihat juga syarahnya oleh az-Zabidi, II/233).
Beliau juga menyatakan: “Karena inilah, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya.
Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan lenyap” (Al Iqtishod Fil I’tiqod halaman 128, Dâr al Kutub Al Ilmiyyah).
Jadi, boleh saja sebagian pihak belum sepenuhnya sepakat dengan konsep negara Khilafah Islamiyah. Namun tetap bersikap adil, toleran dan jujur apa adanya dalam membangun wacana seputar khilafah harus tetap dikedepankan. Agar pendidikan politik umat ini dibangun dengan akal sehat dan nalar rasional.[MO/ad]