-->

(Dugaan) Illegal Logging di Sentani?

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen
Gambar: Ilustrasi
Oleh : Mila Ummu Tsabita
(Pegiat Komunitas Muslimah Lit-Taghyir)

Mediaoposisi.com-Musibah lagi. Banjir bandang yang melanda Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua (16/3) menuai tanda tanya sejumlah kelompok di masyarakat. Terutama, soal penyebab terjadinya bencana yang menewaskan puluhan orang itu. Pasalnya, banjir itu tidak hanya membawa air tapi juga potongan-potongan kayu  dari pegunungan.

Ketua Dewan Adat Papua, Paul Finsen Mayor, mencurigai munculnya kayu-kayu gelondongan yang menyertai banjir (diduga) yang berasal dari aktivitas penebangan hutan ilegal di atas Pegunungan Cycloop. "Jangan-jangan di sana ada penebangan liar. Soalnya sampai merusak pesawat.  Jangan sampai kita tidak tahu, ada penebangan liar di atas," kata Finsen kepada Tirto, Minggu (17/3/2019). Beliau meminta ada investigasi lebih lanjut, karena penting untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang karena pengrusakan alam yang (sengaja) dibiarkan.(tirto.id, 18/3).

Demikian juga, menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua, Aiesh Rumbekwan,  Ia menduga, puing-puing kayu-kayu tersebut adalah dari hasil penebangan liar. "Karena, nampak dari beberapa jenis pohon yang hanyut ke kota itu pohon yang sebenarnya bukan karena longsor. Mungkin ada, sejauh ini ada juga yang seperti sudah ditebang," ujarnya. Benarkah?

Dikuatkan oleh Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho.  Beliau  memaparkan, penyebab banjir bandang di Sentani, Papua, akibat Gunung Cycloop gundul.  Lantaran, banyak penebangan pohon secara ilegal.  "Jadi para warga ini menebang pohon untuk kayu bakar dan pembukaan perkebunan liar, pembuatan perumahan," kata Sutopo. (okezone.com, 18/3)

Ia mengatakan, sebelum banjir bandang terjadi, sejak 2018, BNPB telah mengirim sebanyak dua ribu bibit pohon untuk ditanam di Gunung Cycloop. Bahkan, saat itu, pihaknya juga memperingatkan potensi banjir bandang. “Hari itu (16/3) Hujan sangat ekstrem, kecepatannya  235,1 milimeter per jam," tutur Sutopo. Banjir itu juga berlangsung selama delapan jam, sehingga berakibat banjir dan longsor.

Salah Kelola Alam?
Saat ini, di wilayah perbukitan yang ada di Sentani telah menjadi destinasi wisata yang berpadu dengan pemukiman penduduk.  Padahal seharusnya, daerah pegunungan menjadi hutan daerah resapan air dan penahan longsor. Tapi, justru sekarang disulap menjadi ladang dan kebun.  Kerusakan hutan ini memang sudah berlangsung lama. Banjir bandang pun pernah menimpa Sentani 12 tahun lalu (tahun 2007) Juga menimbulkan kerugian material dan puluhan korban jiwa.

Kerusakan Pegunungan Cycloop sudah berlangsung sejak 2003. Perambahan cagar alam oleh 43.030 jiwa atau 753 keluarga berlangsung sejak itu. “Terdapat penggunaan lahan permukiman dan pertanian lahan kering campur pada DTA (DAS Sentani) banjir 2.415 hektare,” kata Sutopo (BNPB). “Penebangan hutan dilakukan untuk pembukaan lahan dan perumahan juga adanya kebutuhan kayu dan penambangan galian C,“ tambah Beliau.

Polisi, sekarang, sedang menyelidiki izin penambangan di kawasan Gunung Cycloop. Apakah ada unsur pidana atau tidak? “Siapa yang yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi di situ. Siapa yang memberi izin, dan sudah berapa lama. Kemudian, ada audit tentang lingkungan hidup sejauh mana akibat kerusakan itu,” kata Brigjen Dedi Prasetyo, dari Mabes Polri. (detik.com, 18/3).

“Penyelidikan akan dilakukan terpadu. Kepolisian bekerja sama dengan dinas lingkungan hidup, juga saksi ahli lingkungan. Terkait hutan, pihaknya akan bekerja sama dengan dinas kehutanan setempat. Sehingga, terjadi audit yang komprehensif dan diketahui fakta hukumnya, masalah lingkungan hidup, juga tentang UU Kehutanan dan naskah konversi. Jadi, bisa terjadi, tidak hanya satu pidana saja,” kata Dedi.

Saat ini, di era liberalisasi dan kapitalisasi di semua lini menyebabkan masyarakat dan korporasi kurang begitu peduli terhadap lingkungan. Menurut Walhi, laju kerusakan hutan di Indonesia terbilang besar. Pertambangan dan perkebunan memberikan kontribusi terbesar. Semua itu karena adanya “kemudahan” dalam pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk kepentingan bisnis pertambangan dan perkebunan.

Dan, kadang lokasinya tumpang tindih dan bersinggungan dengan kawasan hutan primer. Penguasaan kawasan hutan oleh pebisnis ini sudah lama, dan meningkat secara signifikan pada 2015. “Tahun 2001 luas area HTI mencapai 5.043.772 hektar. Dan, tahun 2015 luasnya menjadi 10.700.842 hektar,” ungkap Walhi.(republika.co.id, 22/3/2018). Kesan yang tertangkap bahwa pemerintah bukannya melindungi ekologi yang ada di dalam hutan, tapi melindungi kawasan hutan(nya) saja.

Koordinator Desk Politik Walhi, Khalisah Khalid, mengungkapkan izin pengelolaan hutan di Indonesia kerap “diobral” untuk dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI). “Ini menjadi persoalan serius karena terkait politik oligarki di setiap pemilu. Karena, biaya politik yang mahal, salah satu modus yang dilakukan korporasi adalah memberikan dana politik agar mendapatkan izin pengelolaan hutan.” Katanya. (kontan.co.id, 15/2).

Kepala Greenpeace  Indonesia, Leo Simanjuntak, menambahkan lagi bahwa pengalihan fungsi tata ruang oleh izin-izin yang “diobral” memang menjadi permasalahan besar pemerintahan hingga sekarang.

Sampai-sampai ada statement begini, "Kalau di zaman Belanda, untuk menjadikan Jayapura sebagai ibu kota Netherland New Guinea, mereka melakukan penelitian dulu sebelum membangun perumahan dan sarana prasarana umum. Di Indonesia saat ini, pembangunannya sembrono," ujar Paul Finsen Mayor, Ketua Dewan Adat Papua, menyesalkan.

Ah masa' iya? Apakah ini berarti di bawah penjajah Belanda, Papua lebih baik? Tapi, harus kita akui, perubahan alih fungsi hutan dan tata ruang, di mana pun, menjadi persoalan yang tidak terbantahkan.  Dan, itu merata di seluruh Indonesia. Diakui atau tidak oleh pemerintah!

Kita tunggu, bagaimana hasil investigasi aparat pada kasus banjir bandang Sentani. Semoga menjadi jelas. Dan, yang lebih penting, bagaimana menjadi lebih baik dalam mengelola alam ke depan? Menjaga lingkungan hidup itu wajib, jangan sekedar janji kampanye semata.

Kapitalis dan Islam dalam Pengelolaan Alam
Sistem Kapitalisme memandang bahwa alam itu sebagai sumberdaya yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendatangkan keuntungan materi. Paham kebebasan kepemilikan telah membuat penguasa mempersilakan swasta lokal maupun asing untuk mengeksploitasi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA). Tentu, dengan berharap royalti atau pajak dari situ. Makanya, hutan-hutan di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Papua, telah banyak yang dikuasai kapital dan industri.

Masyarakat (yang jauh dari areal hutan) terkadang tidak sadar sedang terjadi ecocide. Yaitu penghancuran lingkungan secara luas sehingga hubungan antara alam dan manusia terputus. Ekosistem rusak oleh ulah kaum kapitalis yang membawa semua peralatannya untuk menghancurkan jutaan hektar hutan (deforestasi) setiap tahunnya. Bahkan, sampai menggerus hutan lindung atau hutan konservasi seperti kasus Pegunungan Meratus yang dikuasai perusahaan tambang. Dan itu legal, berizin. (banjarmasinpost.co.id, 28/10/2018)

Memang disinyalir, telah terjadi revisi dan pengurangan ratusan ribu hektar kawasan hutan lindung dan konservasi berubah menjadi kawasan hutan produksi. Juga, deforestasi yang menyebabkan botaknya areal hutan, kasus Pegunungan Cycloop salah satunya. Sejak 2001 sampai 2014, Global Forest Watch mencatat, Indonesia telah kehilangan 18,91 juta hektar hutan. Dan pada tahun 2014-2015, telah terjadi deforestasi sebesar 901.300 hektar. Angka itu meningkat 3 kali lipat dari periode sebelumnya.  Kalimantan adalah penyumbang terbesar atas kehilangan hutan nasional, karena perluasan areal perkebunan kelapa sawit. (tirto.id, 13/7/2017).

Kondisi yang memperlihatkan adanya “hubungan mesra” antara korporasi dengan elit negara.  Sebagaimana yang disampaikan komunitas peduli lingkungan.  Bahkan, bisa jadi aparat negara pun telah menjadi pelaku dan pendukung perambahan hutan dan menjadikannya sebagai lahan perkebunan atau tambang.

Semua menampakkan keserakahan manusia yang akhirnya mendorong mereka memanfaatkan alam secara liar, tanpa peduli aturan. Hanya memikirkan keuntungan materi semata. Akibatnya ekosistem terganggu, bencana atau kerugian pun datang. Seperti banjir dan musibah lainnya, yang tidak hanya merugikan harta tapi juga jiwa manusia sendiri.

Allah Subhanahu wa ta’ala pun telah memperingatkan, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka  sebagian dari perbuatan  mereka, agar mereka kembali.”  (TQS. AR-Ruum: 41)

Kegagalan pengelolaan hutan sudah jelas akibat dari kesalahan pembuat kebijakan, termasuk penyelewengan terhadap regulasi dan penyimpangan dalam tataran teknis di lapangan. Akar masalahnya adalah sistem yang diterapkan di negeri ini, sistem Kapitalis-Sekuler. Kapitalisme yang individualis dan liberal, melahirkan ide kebebasan kepemilikian individu (private property) sebagai premis ekonomi-nya. Maka, hutan dipandang sebagai milik individu yakni milik pengusaha melalui pemberian “jatah” oleh penguasa.

Selama sistem ini masih dianut, sulit untuk “keluar” dari persoalan yang semakin hari makin rumit. Bencana pun silih berganti dialami negeri ini. Maukah kita berpikir ulang dan menginstal sistem alternatif?

Dalam Sistem Islam, pengambilan kebijakan publik (termasuk tata ruang dan peruntukan lahan) tidak selalu diserahkan kepada mekanisme pasar dan suara terbanyak. Jika suatu masalah menuntut keputusan berdasarkan keahlian maka para ahlilah yang diambil pendapatnya.  Berdasarkan pendapat ahli, maka penguasa memutuskan pengaturan yang tepat. Tidak diserahkan pada keinginan para pemilik modal. Sehingga, bias kepentingan ekonomi sesaat bisa dihindari untuk kepentingan umum yang lebih besar.

Selain itu, paket sistem ekonomi Islam juga akan membuat kesulitan ekonomi akibat keharusan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia juga dapat dihindari karena akan ditanggung oleh negara. Negara juga akan dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum.

Berbeda halnya dengan saat ini, dimana banyak tanah terlantar yang dimiliki oleh orang-orang kaya hanya untuk disimpan. Ironisnya banyak orang yang berprofesi sebagai petani tapi tidak yang mempunyai tanah untuk diolah. Atau banyak yang tak punya lahan dan rumah untuk tinggal. Ironis.

Dulu, ketika Nabi Salallahu a’aihi wa salam memimpin Madinah dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan, beliau menetapkan empat unsur pokok dalam tata ruang kota. Pertama, masjid. Kedua, kediaman Nabi Salallahu a’aihi wa salam yang berdekatan dengan Masjid Nabawi. Ketiga, pasar. Keempat, pemukiman penduduk. Ini adalah empat unsur utama untuk memenuhi kebutuhan dan membantu manusia melaksanan kewajiban dan ibadah.

Ibadah, belajar, mengatur pemerintahan, pusat komando jihad, dan menerima utusan dari luar negeri dilakukan di masjid. Rumah Rasulullah menjadi pusat perhatian penduduk negara karena menjadi tempat sang pemimpin. Tempat umat mengadu dan bertanya. Kebutuhan sehari-hari dipenuhi di pasar. Pasar juga tempat orang bekerja mencari nafkah. Pemukiman penduduk menjadi area tinggal manusia dari berbagai kabilah menjalani kehidupan kesehariannya.

Dengan prinsip itulah juga para Khalifah membangun kota-kota baru agar mampu memenuhi kebutuhan manusia tanpa merusak alam. Syariah telat menentukan mana yang bisa dimiliki pribadi, mana yang milik negara, dan yang mana merupakan kepemilikan umum.

Dalam Islam, hutan termasuk dalam kepemilikan umum bukan kepemilikan individu atau negara. Syariah telah menentukan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan termasuk dalam kepemilikan umum. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi Salallahu a’aihi wa salam, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: dalam air, padang rumput (gembalaan), dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)

Hadist ini menunjukkan bahwa tiga hal tersebut adalah milik umum karena menjadi hajat hidup orang banyak. Pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja bukan oleh pihak lain (swasta atau asing). Negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam baitul mal (kas negara) dan distribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum syariah.

Negara wajib melakukan pengawasan dan pengelolaan terhadap hutan melalui Muhtasib (pengadilan Hisbah) yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak masyarakat secara umum termasuk pengelolaan hutan. Negara juga wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan dan melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya.

Sanksi ta’zir yang tegas oleh negara akan dijatuhkan kepada semua pihak yang merusak hutan. Baik yang melakukan pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan. Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan hukuman mati tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Pada prinsipnya, dengan adanya ta’zir akan menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi.

Pembalakan liar (illegal logging), deforestasi dan perubahan fungsi hutan tidak akan terjadi lagi kalau pengelolaan diatur sesuai Syariah Islam. Sungguh masyarakat harus segera mencampakkan sistem kapitalis yang menjadi akar masalah carut marutnya  pengelolaan dan pemanfaatan hutan milik umat. Sudah saatnya kita kembali kepada Syariah Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Insya Allah, kekayaaan hayati seperti hutan akan menjadi berkah. Bukan musibah. Insya Allah [MO/ms]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close