Mediaoposisi.com-Awal bulan Februari, berita tanah air kembali dihebohkan dengan kasus ujaran kebencian yang dilakukan oleh musisi tanah air, Ahmad Dhani Prasetyo (ADP). Hal ini bermula ketika ADP mengunggah twitnya pada 6 Maret 2017 yang berbunyi, “Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya”.
Jaksa sebelumnya mendakwa Dhani dengan pasal berlapis, yakni pelanggaran pasal 45 ayat 2 UU No.19/ 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pasal 28 ayat 2 UU ITE, pasal 55 ayat 1 KUHP dengan total ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara. (19/11)
Berdasarkan berita ini, banyak netizen mempertanyakan dimana letak kebebasan berpendapat?
Jika pendapat yang bersebrangan dengan kepentingan penguasa dibatasi, slogan demokrasi hanya ilusi ideologi negeri. Hal ini jelas menjadi bukti bahwa rezim saat ini represif.
Bukan sebuah tudingan tanpa bukti. Sebab banyak oposisi yang dijebloskan ke penjara hanya karena mereka lugas menyampaikan kritik. Sementara banyak lawan sekubu yang lolos dari jerat hukum padahal jelas melanggar hukum. Dari kasus ADP dan kasus lain semisal Viktor Laiskodat netizen mencerna karakter rezim dewasa ini.
Pemerintah hendaknya lebih hati-hati dan tidak bersikap posesif jika tak mau dianggap rezim represif. Namun telah nampak dengan jelas bahwa sikap anti kritik dan represif menunjukkan politik dalam demokrasi hanya untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan, bukan untuk kepentingan rakyat. Lalu seperti apakah politik yang mengurus kepentingan rakyat?
Sistem politik yang mengurus kepentingan rakyat adalah system politik yang menegakkan hukum-hukum Islam secara kaffah (total bukan parsial). Sebab system politik Islam akan membuka ruang umat dalam mengawal pelaksanaan hukum, melalui muhasabah/ mengkritisi penguasa sesuai tuntunan hukum-hukum syara’.[MO/ge]