Oleh : Nasrudin Joha
Mediaoposisi.com-Ada seorang nenek yang menghimbau para pemuda jangan menebar hoax di sosial media. Padahal, nenek ini diam seribu bahasa ketika penguasa yang dikenal dengan predikat 'Cak Jancuk' yang merupakan bonekanya, menebar banyak hoax dan menggadaikan aset negara.
Hoax pertama, rezim Cak Jancok mengklaim akan untung beliung membeli saham freeport. Dalam tiga hingga empat tahun, modal borong saham freeport sejumlah US$ 3,8 miliar akan kembali, sebab pertahun freeport diklaim akan sumbang Deviden rata-rata U$ 1 miliar.
Faktanya ? Deviden frerport tidak dibagi hingga dua tahun Kedepan. Inalum justru keluar kocek lagi senilai US$ 1,53 miliar untuk bikin smelter. Tidak dapet Deviden, keluar duit US$ 3,8 miliar, kini tambah lagi Amsyong harus mengeluarkan kocek US$ 1,53 miliar untuk bikin smelter.
Padahal, tahun 2014 adalah batas akhir freeport untuk bangun smelter. Bukannya dipaksa bangun dengan duit freepprt sendiri, ini malah pake duit BUMN (duit negara) untuk ikut nalangi smelter freeport. Belum lagi, duit Rp 185 T akibat kerusakan lingkungan freeport tidak ditagih.
Divestasi freeport, katanya untung tapi malah buntung. Apa yang begini bukan menebar hoax ?
Hoax kedua, rezim Cak Jancuk sesumbar akan membebaskan Ust. ABB. Disebut pembebasan murni, karena alasan kemanusiaan. Seantero negeri, umat Islam, khususnya keluarga Ponpes ngruki gegap gempita dan bahagia menyambut pembebasan Ust Abu Bakar Ba'asyir.
Ulama Muchlis yang mendapat perlakuan zalim dari rezim demokrasi yang menghamba kepada Amerika.
Nyatanya ? Rezim dusta, menteri menganulir dengan menyebut 'Presiden tidak boleh grasa grusu'. Rezim Cak Jancuk akhirnya buang badan, menyatakan pembebasan perlu mengikuti mekanisme dan prosedur. Apa yang begini bukan menebar hoax ?
Hoax ketiga, rezim Cak Jancuk sesumbar akan mengangkat pegawai honorer menjadi PNS. Terpisah, menteri mengoreksi. Daerah komplain, pembebanan gaji pengangkatan dibebankan APBD. Pusat mau selebrasinya, daerah kena getahnya.
Kondisi ini, bukan memberi solusi tetapi justru menciptakan ketegangan antara pusat dan daerah. Termasuk, mempermainkan psikologi para honorer yang telah bermimpi lama menjadi ASN. Bahkan, ada yang menunda menikah karena calon mertua hanya menerima calon menantu yang sudah ASN. Apa yang begini bukan menebar hoax ?
Hoax keempat, saya meminta kepada pembaca untuk meneruskannya. Jika diteruskan dan dipaksakan saya yang menulis, niscaya ujung jari telunjuk saya kapalan dan mata saya capek terus mengulik layar empat persegi ini. Yang jelas, hoax itu secara telanjang dipertontonkan rezim Cak Jancuk.
Lantas, nenek meminta kami para pemuda islam untuk diam ? Nenek meminta kami untuk menghentikan jihad sosmed ? Nenek menuding kami menyebar hoax ? Apa kerugian negara yang ditimbulkan oleh jihad kami ?
Sementara, semua mengindera dengan jelas kerusakan negara, tatanan nilai berbangsa dan bernegara, akibat salah urus rezim Cak Jancuk. Bahkan, yang paling mutakhir rezim Cak Jancuk mengkriminalisasi Ust. Slamet Ma'arif, ketua PA 212 dengan pasal pidana pemilu.
Dan kasus ini, memperpanjang deret Nama aktivis Islam yang masuk daftar kriminalisasi. Dari Habib Rizq Syihab, Alfian Tanjung, Asma Dewi, Jonru, Gus Nur hingga Ahmad Dani.
Nek, lebih baik Neneng pergi ke masjid banyak dzikir, agar kelak bisa mati khusnul khatimah. Ketimbang menebar tudingan dan memecah-belah anak bangsa.
Nenek sudah tua nek, waktunya istirahat. Sudah udzur. Saya khawatir, nenek tidak bisa menikmati hari tua hanya karena kehabisan energi untuk memikirkan anak anak muda. Kami bisa, dan kami tidak butuh wejangan-mu nek. [MO|ge]