Oleh: Maya Firrizky
Mediaoposisi.com- PT Bukit Asam Tbk (PTBA) merombak jajaran dewan komisaris mereka pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar Jumat (28/12). Dalam RUPSLB tersebut, perseroan memberhentikan dengan hormat mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Muhammad Said Didu sebagai komisaris. (CNN Indonesia 28/12)
Sementara itu, di akun twitternya, Said Didu sendiri merasa bahwa dirinya merasa bangga dengan kasus yang menimpanya. Karena dia bukan tipe penjilat penguasa.
Seperti dilansir oleh Tribun Medan 29/12, Said Didu memang menilai langkah pemerintah Indonesia melalui PT Inalum untuk mengambil alih 51,2% saham PT Freeport Indonesia adalah langkah korporasi biasa.
Said Didu juga menilai adanya potensi masalah yang akan dialami oleh PT Inalum dalam jangka pendek. Pasalnya, Inalum tidak memiliki keuangan yang cukup untuk membayar utang baik pokok maupun bunganya.
Lebih jauh, transaksi divestasi justru cenderung menguntungkan pihak Freeport McMoRan. Diantaranya : mendapatkan kepastian operasi hingga 2041, uang tunai US$ 4 miliar dari penjulan 51% saham, kepastian pengelolaan tambang, kepasatian pajak dan tidak dikenakan denda atas kerusakan lingkungan hidup. (CNBC Indonesia 28/12)
Untuk diketahui pula, bahwa pencopotan Said Didu merupakan usulan langsung dari PT Inalum selaku pemborong ke 51,2% melalui sepucuk surat benomor 930/L-Dirut/XII/2018 yang ditujukan kepada Pimpinan RUPS Luar Biasa PT Bukit Asam Tbk.
Kasus yang marak dibincangkan di dunia maya ini tentu menambah daftar panjang rusaknya sistem hidup buatan manusia yang meniscayakan munculnya rezim anti kritik. Corong aspirasi yang sekiranya membahayakan elektabilitas lembaga negara ditutup rapat. Rakyat seakan diminta diam menyaksikan kebijakan demi kebijakan digoalkan oleh pemangku kekuasaan sekalipun isi didalamnya merugikan rakyat dan menguntungkan asing.
Said Didu tentu bukan korban pertama omong kosong kebebasan yang diusung oleh sistem ini. Jauh sebelumnya, prof Suteki juga mengalami nasib serupa. Diberhentikan sementara dari jabatan setelah menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan pencabutan badan hukum HTI di PTUN Jakarta.
Tanda tanya besar, jika memang benar segala kebijakan yang dilakukan penguasa demi kepentingan bangsa ini - bukan kapital - lalu mengapa para penguasa begitu terusik dengan kritik dan pandangan yang disampaikan rakyatnya?
Tindakan represif semacam inilah yang menjadi satu dari sekian banyak alasan mendesak kebutuhan sistem Islam (red: Khilafah) di tengah tengah umat. Yang dengannya mampu menjamin terselenggaranya fungsi dan tugas masing-masing komponen negara. Penguasa, berangkat dari keimanan Islam akan benar-benar bertindak sebagai pelayan rakyatnya, bukan pelayan para kapital, asing, bahkan aseng. Pun dengan rakyat yang akan menjalankan fungsinya sebagai pengoreksi segala kebijakan penguasa.
Dengan sistem Islam pula lah, segala bentuk penjajahan bisa dihapuskan. Baik itu penjajahan fisik sebagaimana yang dialami Palestina, maupun penjajahan ekonomi sebagimana yang dialami mayoritas negara negara berkembang. Penerapan syariat Islam akan menjamin pengalokasian harta sesuai kepemilikannya.
Terkhusus untuk kasus Freeport, atau kekayaan alam lainnya, maka sejatinya peran negara hanyalah sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mengelola, untuk kemudian dimanfaatkan demi kepentingan/kesejahteraan rakyat. Sehingga, tidak ada hak baginya untuk menjual, mengalihtugaskan kepada pihak swasta, bahkan berkolaborasi dengan asing yang memungkinkan terjadinya peralihan keuntungan.[MO/sr]