Oleh: ummu hanif
Mediaoposisi.com- Rencana sosialisasi visi dan misi pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak akan difasilitasi oleh komisi pemilihan umum ( KPU). Keputusan tersebut diambil berdasar kesepakatan antara KPU dengan tim kampanye pasangan calon melalui rapat bersama yang digelar pada jumat (4/1/2019) malam. Sosialisasi tetap akan dilakukan, tetapi oleh masing-masing tim kampanye. (www.detik.com, 2 Januari 2019)
Tujuannya ialah memberikan pengenalan awal kepada masyarakat mengenai visi-misi sebelum digelarnya debat. Evi mengatakan pemaparan visi-misi pra-debat sudah dibahas dengan tiap timses, yaitu tim kampanye nasional jokowi-ma'ruf dan badan pemenangan nasional prabowo-sandi.
Sebelumnya, kubu prabowo mengkritik kpu yang akan menggagas penyampaian visi dan misi pasangan calon dalam pilpres 2019 beberapa hari sebelum dilakukannya debat perdana. Jubir divisi hukum tim prabowo-sandiaga, habiburokhman menyatakan idealnya pasangan calon memaparkan langsung visi dan misi itu.
Sementara itu, tribunnews.com pada tanggal 6 januari 2019 mengabarkan bahwa Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI), karyono wibowo menyayangkan sikap KPU yang tidak jadi memfasilitasi penyampaian visi misi pasangan capres. Menurut karyono wibowo, justru penyampaian visi misi capres yang seharusnya dikedepankan agar masyarakat mengetahui arah pembangunan yang akan dilaksanakan pada 5 tahun ke depan.
Kita bisa melihat, alasan KPU untuk tidak memfasilitasi penyampaian visi dan misi Capres sangat lemah. Padahal hal ini penting bagi rakyat, agar rakyat memiliki bekal untuk mampu bersikap. Termasuk upaya muhasabah jika diketahui ada visi dan misi yang menyimpang, apalagi menyangkut agama.
Dalam perspektif Islam, pemimpin merupakan hal cukup fundamental dalam tatanan sosial. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat. Ibarat kepala dari seluruh tubuh, peranannya sangat menentukan perjalanan dalam mewujudkan kemaslahatan umat. Tak hanya kemaslahatan dunia, seorang pemimpin juga memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur serta mengawasi tegaknya syari’at Allah.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah dan mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Namun dalam perjalanannya, manusia senantiasa dibelenggu dan digoda oleh setan agar berpaling dari pengabdian tersebut. Sehingga Allah Ta’ala mengutus para nabi dan rasul-Nya untuk memimpin manusia agar senantiasa taat kepada Allah. Setelah penutup para nabi wafat, maka tugas memimpin tersebut berpindah ke pundak para imam (khalifah) kaum Muslimin.
Al-Baidhawi menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikuti (tunduk kepada)-nya. (Al-Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’, hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al-Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)
Dengan demikian Imamah (kepemimpinan) bukanlah tujuan, akan tetapi ia hanya wasilah untuk menjalankan ketaaan kapada Allah. Ketika pemimpin tidak bisa mewujudkan atau memudahkan rakyatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka pemimpin seperti ini tidak layak dipilih oleh umat. Sesuai firman Allah :
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Haj: 41)[MO/sr]