[Korban Fatwa SAS]
Oleh: Nasrudin Joha
Mediaoposisi.com-Haji Ngachiro, sepulang haji dari Mekah tidak menerima tetangga untuk silaturahmi. Air zam zam masih rapih di pack barang, bersama Qurma dan kacang Arab. Istri haji Ngachiro juga tidak nampak batang hidungnya.
Konon, mereka sibuk membayar (Qadla') sholat selama hampir satu bulan di kota suci Mekah Al mukaromah. Apa soal ?
Ternyata, haji Ngachiro tidak bermahzab maliki, Hanafi, syafi'i atau Hambali. Haji Ngachiro penganut berat mahzab AS SASISI, iya, SAS Sang Idola. Menurut fatwa asy syaikh as SAS sisi, sholat bersama Imam masjidil haram salah, tidak sah. Karena selain Imam dari kalangan NU salah semua.
Sementara diketahui secara pasti, ma'lum Min Ad Diin Bi Ad Dloruri, bahwa Imam masjidil haram bukan dari kalangan ngaNU. Khotbah di tanah haram, juga bukan dari Imam dan khatib bermahzab ngaNU.
bahkan, Haji Ngachiro juga pergi ke KUA wilayah ngaNU. Dia dan istri mbangun nikah, akad baru dihadapan petugas KUA ngaNU. Sebab, dulu KUA yang menikahkan mereka (karena umumnya di kampung wali pihak perempuan menyerahkan kepada petugas KUA untuk menikahkan putrinya), petugas KUA nya bukan bermahzab AS SASISI. Bukan dari ngaNU.
Selesai melakukan akad nikah ulang di KUA dihadapan petugas KUA bermahzab ngaNU, haji Ngachiro masih bingung. Dia garuk garuk kepala, kalau urusan akad nikah bisa mbangun nikah, tapi anak-anaknya bagaimana ?
Apakah semua anaknya yg lahir dari akad nikah di KUA non ngaNU, semuanya anak zina ? Apakah kemudian dia putus nasabnya ? Karena anak zina putus nasabnya dengan ayah biologis. Anak zina nasabnya menginduk ke ibunya.
Dia pusing memikirkan, generasi Ngachiro putus. Tidak ada Nasab penyambung. Semua terpaksa bernasab ke istrinya. Ah, masak Ngachiro juga anggota DKI ? Dibawah kendali istri ?
Dia bolak balik kitab mahzab AS SASISI. Sampai halaman akhir, haji Ngachiro tetap tidak menemukan solusi untuk anaknya. Padahal, putri keduanya mau menikah, Ngachiro sangat ingin menjadi wali secara langsung. Tapi nasabnya putus, bagaimana ini ?
Sambil pusing memikirkan persoalan, haji Ngachiro terus membayar sholat. Dia sedang khusuk menghitung berapa sholat yang harus dibayar saat berjamaah di kota haram bersama Imam masjidil haram.
Jika sehari semalam lima waktu, dikalikan tiga puluh hari, berarti haji Ngachiro harus membuat ulang sholat untuk membayar sebanyak 150 waktu.
Dzhuhur 30 kali, dikali 4 rakaat, total 120 rakaat. Ashar Dzhuhur 30 kali, dikali 4 rakaat, total 120 rakaat. Magrib 30 kali, dikali 3 rakaat, total 90 rakaat. Isya' 30 kali, dikali 4 rakaat, total 120 rakaat. Subuh 30 kali, dikali 2 rakaat, total 60 rakaat. Total hutang takast sholat selam di Mekkah : 510 rakaat.
Sampai seminggu haji Ngachiro tidak menerima tamu. Dia terus sibuk sholat Qadla, membayar sholatnya yg tidak sah selama di masjidil haram. Ngachiro korban fatwa sesat SAS. [MO/ge]