Oleh : Achmad Fathoni
(Direktur el-Harokah Research Center)
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siroj, menyatakan bahwa warga NU mesti berperan dalam berbagai bidang di masyarakat. Salah satunya di bidang keagamaan. Said mengatakan hal itu, sangat member sambutan di Harlah Muslimat NU ke-73 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Minggu (27/2) pagi. “Berperan di tengah masyarakat. Peran agama. Harus kita pegang. Imam masjid, khatib, KUA (Kantor Urusan Agama), harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua,” tutur Said lalu tertawa kecil yang diikuti hadirin yang mendengar. (https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190127093712-32-364165/ketum-pbnu-kalau-imam-dipegang-selain-nu-salah-semua).
Tentu saja, pernyataan tersebut patut disayangkan oleh publik, terutama kaum muslimin. Pasalnya, pernyataan tersebut sangat mengusik kedamaian hati kaum muslimin dan cenderung provokatif serta bisa mengarah pada upaya pemecah belah umat. Padahal beberapa waktu akhir-akhir ini semangat persatuan umat Islam sudah terasa sangat menggembirakan. Hal itu bisa dilihat dari antusiasnya kaum muslimin yang hadir pada agenda reuni 212 “Bela Tauhid” pada 2 Desember 2018 lalu, yang dihadiri tidak kurang dari 10 juta kaum muslimin dari berbagai ormas dan elemen kaum muslimin di seluruh pelosok negeri.
Untuk itu, maka pernyataan KH. Said Aqil Siroj, patut untuk dikritisi oleh publik, karena pernyataan tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan beragama di negeri ini. Maka ada beberapa hal yang patut menjadi sorotan dan kritikan tajam dari publik di negeri ini.
Pertama, pernyataan tersebut merupakan tindakan ashabiyah (membanggakan-banggakan kelompok) yang sangat dilarang dalam Islam. Tentu saja sikap itu sangat bertolak belakang dengan sikap uswatun hasanah dan teladan abadi kaum muslimin, Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Sabda Beliau SAW: “Bukanlah dari golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyah, orang yang berperang karena ashabiyah, serta orang yang mati membela ashabiyah” (HR. Abu Dawud). Maka pernyataan KH. Said Aqil Siroj seyogyanya dicabut dan hendaknya segera meminta maaf kepada publik, terutama kepada kaum muslimin di negeri ini. Karena sesungguhnya negeri dan bangsa ini adalah milik semua, bukan milik golongan tertentu. Dan sudah seharusnya beliau juga harus menghormati elemen umat Islam yang lain yang telah berjuang dan membangun negeri ini.
Kedua, pernyataan tersebut merupakan sikap yang arogan dan ambisius terhadap jabatan kekuasaan. Sikap ini juga sangat ditentang oleh Islam. Karena sesungguhnya jabatan itu adalah amanah bukan untuk diperebutkan. Bahkan syariat Islam melarang memberi jabatan terhadap orang yang memintanya. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah menolak permintaan shahabat Abu Dzar Al-Ghifari untuk menduduki jabatan pemerintaan dalam Daulah Islam di Madinah ketika itu. Bahkan Rasulullah SAW memberikan nasehat bahwa jabatan adalah khizyun (kehinaan) dan nadamah (penyesalan), kecuali bagi orang-orang yang menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, sangat tidak patut pernyataan meminta jabatan dalam pemerintahan, keluar dari lisan seorang pemimpin ormas Islam, apalagi mengganggap kelompok lain adalah salah semua.
Ketiga, pernyataan tersebut bertentangan dengan sikap para ulama’ terdahulu. Semestinya seorang ulama’ itu menjadi pewaris para Nabi, yang senantiasa lisan dan perbuatannya mengikuti tuntunan Nabi SAW yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana dalam sebuah hadist, “Ulama’ adalah pewaris para nabi” (HR. At-Tirmidzi dari Shahabat Abu Dzar Al-Ghifari r.a). Artinya ulama’ itu sangat berpegang teguh memegang Islam serta mendakwahkan kepada seluruh umat manusia dimana pun dia berada. Hal itu bisa dirujuk pada pernyatan ulama’ terkemuka Imam Asy-Syafi’i, “kullu ra’yi shawab yahtamilu khatha’, wa kullu ra’yi ghairi khatha’ yahtamilu shawab” (pedapatku adalah benar tapi mengandung kemungkinan untuk salah, pendapat orang lain salah tetapi mengandung kemungkinan untuk benar). Itulah sikap ulama’ pewaris para nabi yang seharusnya diteladani oleh KH. Said Aqil siroj.
Selain itu, pernyatan KH. Said Aqil Siroj tersebut sangat bertentangan dengan sikap Ulama’ terkemuka, panutan kaum nahdliyin, Hadharutusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Sang Pendiri NU, saat merespon adanya benih-benih “ketegangan” di tengah-tengah elemen umat Islam di masa itu. Ketika muncul pertentangan sesama tokoh Islam akibat perbedaan pendapat tentang madzhab, beliau menulis surat terbuka bertajuk Al-Mawaizh yang dibacakan pada Muktamar NU ke XI di Banjarmasin tahun 1935, lalu disebarluaskan kepada seluruh ulama’ di Indonesia. Isinya adalah anjuran untuk ishlah, meninggalkan fanatisme buta dan mengesampingkan perbedaan pendapat dalam hal-hal yang tidak prinsip guna menghindari perpecahan yang merugikan umat Islam sendiri. Menurut beliau, bila umat Islam pecah, maka yang diuntungkan adalah orang lain, terutama kaum penjajah, yang ingin menancapkan kukunya di bumi pertiwi. Terkesan oleh isi surat tersebut, maka pada tahun 1959, Haji abdul Malik Karim Amrullah yang akrab disapa Buya Hamka, menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk disebarluaskan melalui majalah Panji Masyarakat. Begitulah teladan dari para Ulama’ pendahu kita yang sangat arif dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan di tengah-tengah kaum muslimin.
Dengan demikian, maka seluruh bangsa Indonesia saat ini, khususnya kaum muslimin agar senantiasa tetap waspada terhadap pernyataan dan sepak terjak para tokohnya, baik yang ada di Parpol, Ormas, dan juga yang ada di pemerintahan. Kita berharap masyarakat Islam kuhususnya agar tidak terbawa dan terjebak oleh sikap dan pernyataan tokoh yang membahayakan kepentingan umat Islam, juga yang bisa berpotensi mengganggu keharmonisan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Umat Islam harus bersatu menolak setiap upaya yang mengganggu ukhuwah Islamiyah dan yang memecah belah persatuan dan kesatuan umat Islam. Wallahu a’lam.[]
from Pojok Aktivis