(pemerhati masalah sosial)
Mediaoposisi.com- Untuk kali pertama, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan presiden (Pilpres) bersamaan dengan pemilihan legislatif (Pileg) pada 2019 yang akan digelar tanggal 17 bulan April mendatang. Imbasnya, pemilih bakal mendapatkan lima kertas suara pada hari H pencoblosan.
Gelaran Pemilu tahun ini terbilang paling ribet, seperti yang diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. JK menyebut gelaran pemilu tahun ini "tersulit di dunia". Dari sisi anggaran, pemilu 2019 juga lebih besar dari biasanya. Dalam Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2019, ada alokasi Rp24,8 triliun untuk menggelar pemilu serentak. Anggaran ini naik 31 persen dari alokasi anggaran pemilu 2014 sebesar Rp18,9 triliun.
Membengkaknya anggaran pemilu tersebut dipengaruhi oleh karena naiknya honorarium penyelenggara, meningkatnya kebutuhan dana kampanye caleg dan capres cawapres, bertambahnya anggaran untuk pengamanan pemilu, bertambahnya biaya untuk badan penyelenggara pemilu seperti KPU, BAWASLU, POLRI, Kementerian Pertahanan, BIN, Menko Polhukam, Kominfo, TVRI, RRI dan lain sebagainya. ( tirto.id )
Mahalnya biaya pemilu tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi dinegara lain seperti pada pemilu Kenya 2017 yang menghabiskan dana US$ 480 juta, di Srilanka US$ 9.29 juta dan di Amerika Serikat dengan US$ 6.5 miliar. ( tirto.id )
Hal tersebut membuktikan bahwa dalam sistem Demokrasi Liberal yang saat ini diterapkan oleh dunia, membuat mahalnya biaya untuk memilih seorang pemimpin menjadi sesuatu yang wajar bahkan sebuah keniscayaan. Bak ajang pemilihan artis/penyanyi idola yang hanya menitikberatkan pada penampilan luar namun tidak mengutamakan kemampuan maupun kredibilitasnya sebagai calon pemimpin. Pantas saja segala bentuk pencitraan selalu menghiasi proses kampanye menjelang pemilu digelar.
Bukan cuma pencitraan, ajang debat yang diselenggarakan oleh KPU yang bertujuan memfasilitasi kandidat pemilu pun juga tak luput dari sebuah skenario/rekayasa. Buktinya, debat tersebut tidak murni menampilkan kemampuan para kandidat untuk memaparkan program dan visi misinya. Namun justru diberikan kisi-kisi yang semakin menunjukkan bahwa jawaban dari setiap pertanyaan debat sudah dipersiapkan.
Bagaimana bisa akan menunjukkan kualitas para kandidat kalau semuanya sudah direkayasa?. Karena pada kenyataannya, pemimpin yang terpilih akan tetap melanjutkan sistem demokrasi beserta kerusakan-kerusakannya.
Segala kerusakan yang terjadi telah membuat umat mulai jengah, sehingga berharap akan ada perubahan dan perbaikan dengan memilih calon pemimpin yang mereka nilai ideal yakni yang terlihat lebih islami. Sehingga muncul gerakan-gerakan tolak pemimpin anti Islam, tolak pemimpin ingkar janji dan sebagainya. Gerakan yang digulirkan untuk mengajak agar masyarakat memilih pemimpin yang lebih pro pada Islam.
Adakah pemimpin ideal dambaan umat yang dapat dipilih dalam sistem Demokrasi Liberal ini? Karena faktanya, tampak islami saja tidak cukup. Yang penting beragama Islam juga tidak cukup, karena dari pemilu-pemilu yang telah lalu juga terpilih pemimpin yang beragama Islam yang tampaknya ideal. Namun korupsi, ketumpulan hukum, hutang luar negeri, mahalnya pendidikan, mahalnya kesehatan, kerusakan remaja bahkan tindakan kriminal toh tidak berkurang justru semakin besar. SDA dikuasai asing, BUMN dijual, Timor-Timor lepas, OPM juga kian beringas. Semua juga terjadi ketika dipimpin oleh orang Islam yang dinilai ideal.
Harusnya dari sini, rakyat dapat lebih jeli menilai dan dapat mengambil kesimpulan bahwa permasalahan ini bukan cuma masalah sosok pemimpin. Namun juga dari masalah sistem aturan yang diterapkan. Kerusakan-kerusakan di atas adalah bukti bahwa Demokrasi gagal mencetak pemimpin yang ideal. Tentu saja hal ini disebabkan karena Demokrasi adalah aturan yang dibuat oleh manusia. Aturan yang membebaskan manusia untuk membuat hukum. Padahal jelas bahwa manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas, sehingga tidak akan mampu membuat aturan yang sempurna. Lalu, masihkah layak sistem Demokrasi ini dipertahankan?
Tentu saja tidak, masyarakat harus memperhatikan dan fokus bukan pada sosok calon pemimpin saja namun juga fokus dengan sistem apa yang harus diterapkan. Dan sistem yang wajib diterapkan adalah sistem Islam. Karena dalam Islam, pemimpin dipilih berdasarkan kapabilitasnya dalam mengurusi urusan rakyat dan pemimpin harus sanggup untuk menerapkan hukum Allah yaitu syariat Islam secara kaffah. Ini baru akan menghasilkan pemimpin ideal dambaan umat.
Allah SWT berfirman:
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 50).[MO/sr]