Oleh: Dini Azra
Mediaoposisi.com-Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Said Aqil siradj, kembali membuat kontroversi dengan ucapannya. Pada saat memberi sambutan di harlah Muslimat NU ke 73 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, dia mengucapkan kalimat yang tidak mengenakkan hati, yang tidak semestinya keluar dari mulut seorang kiyai. Dalam acara yang juga dihadiri oleh Presiden dan Ibu Negara beserta beberapa orang Menteri dan tokoh lainnya, beliau menyampaikan bahwa masyarakat NU harus berperan di berbagai bidang, salah satunya bidang keagamaan.
"Berperan di tengah masyarakat. Peran agama. Harus kita pegang. Imam masjid, khatib, KUA (kantor urusan agama), harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua," tutur Said lalu tertawa kecil yang diikuti hadirin yang mendengar. (CNN Indonesia 27/1/2019)
Kalimat terakhir inilah yang membuat resah, seolah ingin mengatakan harakah selain NU semuanya salah, hanya NU yang boleh diberi kepercayaan memegang urusan keagamaan ditengah masyarakat. Hal itu pun menuai kritik pedas, dari tokoh Muhammadiyah Anwar Abbas. Beliau pun menyayangkan ucapan Said Aqil Siradj tersebut, karna hal itu berpotensi membahayakan persatuan dan kesatuan umat. Juga tidak mencerminkan akal sehat.
"Saya sesalkan. Pernyataan ini jelas tidak mencerminkan akal sehat. Saya yakin pernyataan ini adalah pernyataan dan sikap pribadi dari Said Aqil Siradj dan bukanlah sikap dari NU," kata Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/1).(CNN Indonesia/28/1/2019)
Anwar pun mengatakan bahwa yang dia sampaikan ini murni dari dirinya pribadi. Bukan kapasitasnya sebagai salah satu Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Sekjen MUI. Dengan ini, dia meminta supaya Said Aqil Siradj menarik kata-katanya tersebut dan meminta maaf.
Namun, Said Aqil Siradj menolak untuk menarik ucapannya dan meminta maaf. Sebab dia merasa tidak ada yang salah dengan apa yang disampaikannya saat itu. Selain itu menurutnya NU adalah organisasi Islam yang independen. Sementara MUI hanyalah forum silaturahmi ulama lintas ormas Islam, bukan induk NU.
“Sekjen majelis ulama meminta saya mencabut ungkapan saya kemarin, saya atau NU bukan bawahan ulama, tidak ada hak mereka perintah-perintah saya,” kata Said lantang saat membuka acara Rakornas Lembaga Dakwah Nahdahtul Ulama (LDNU) se-Indonesia di Auditorium Binakarna, Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (28/1). Lebih jauh dia mengaku tidak takut kepada siapapun.
Memang bukan sekali dua kali beliau ini mengucapkan hal yang mengundang kontroversi, tanpa pernah merasa bersalah. Padahal meminta maaf adalah perbuatan mulia yang dianjurkan Nabi Shalallahu alaihi wassalam, bukannya sesuatu yang merendahkan seseorang. Kecuali bagi orang yang memiliki sifat sombong, merasa diri lebih tinggi dan merendahkan selain nya.
Namun kita harus memahami bahwa ucapan tersebut tidak mewakili sikap seluruh warga NU, melainkan kekhilafannya sebagai individu. Sehingga kita tidak boleh terpancing, dan mengambil sikap yang bisa merusak ukhuwah Islamiyah diantara sesama muslim. Baik bagi masyarakat NU sendiri ataupun dari harakah yang lain, perlu bersikap bijaksana tidak mencela semaunya ataupun membela dengan membabi buta. Bersikaplah obyektif, tidak memihak kepada sesuatu yang salah, hanya karena ashabiyah terhadap seorang tokoh besar.
"Perhatikan apa yang disampaikan , jangan melihat siapa yang mengatakan." Begitu seharusnya yang kita lakukan, karena kita dilarang untuk ashabiyah terhadap seseorang, kelompok, suku, madzhab ataupun negara. Ashabiyah (fanatik buta) artinya membela dan mengikuti pihak yang dijadikan obyek ashabiyah nya. Baik yang diikuti itu benar ataupun salah tetap saja dianggap benar. Sikap ashabiyah inilah yang dapat membuat persatuan umat jadi terbelah. Mudah diadu domba, dibenturkan, saling mencaci-maki hanya karena beda pemahaman dan uslub dalam berdakwah. Padahal Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam pernah bersabda :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).“
Bagi muslimin sandaran kebenaran adalah Alquran dan Sunnah Nabi Shalallahu alaihi wassalam, sebagai warisan yang beliau tinggalkan. Ketika ada perselisihan, solusinya adalah kembali pada keduanya. Bukan pada gelar ulama, atau gelar akademik yang melekat pada diri seseorang. Begitupun fanatik terhadap golongan , harakah, bahkan negara.Tidak boleh kita mengatakan bahwa kelompok kitalah yang paling benar, dan selain nya salah.
Seolah hanya pengikut dari kelompok tersebut yang berhak mendapatkan surganya Allah Subhanahu wataala. Sampai-sampai ada slogan hidup mati untuk "harakah", berani mati bela ulama! Meskipun yang dibela dalam posisi bersalah.
Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam pun bersabda : "Barangsiapa yang terbunuh di bawah bendera (fanatisme) buta, mengajak pada ashobiyyah atau menolong karena ashobiyyah (fanatik), maka matinya seperti mati Jahiliyyah" (H.R Muslim)
Fanatik yang benar hanyalah terhadap Allah dan Rasul Nya, dengan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan syariat Nya. Tidak pakai tapi dan tanpa menunggu nanti, ketika syariat menetapkan sesuatu itu wajib maka kerjakan, dan bila haram maka segera tinggalkan. Sami'na wa atho'na, kami dengar dan kami taati.[MO/sr]