Oleh : Salasah, S.Pd
Mulai dari kekerasan dalam rumah tangga, membahayakan kesehatan ibu dan bayi, meningkatkan angka anak putus sekolah, tingginya angka perceraian, hingga dugaan melahirkan pekerja anak. Berdampak pada rendahnya indeks pembangunan manusia dan membebani negara..
Menurut data BPS (badan Pusat Statistik) tahun 2017, angka perkawinan anak di atas 10 persen merata tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Jika ditotal, 67 persen wilayah di Indonesia darurat perkawinan anak.
Tiga provinsi yang memiliki presentase pernikahan anak tertinggi di Indonesia adalah provinsi Kalimantan Selatan, dan kepulauan Bangka Belitung. Di dua provinsi tersebut angka pernikahan dini mencapai di atas 37 persen.
Perkawinan anak di atas 10 persen merata tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Pada tahun 2017 warga Kalimantan Selatan yang melakukan perkawinan di bawah usia 20 tahun terdiri 586 perempuan dan 65 laki-laki. Terbanyak di kecamatan Amuntai Tengah sebanyak 110 jiwa. Sedangkan di 2018 perempuan 415 jiwa dan laki-laki 63 jiwa.
Berbagai program terus dilancarkan dari berbagai pihak untuk menghambat lajunya angka pernikahan dini. Bahkan Kasus pernikahan remaja Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan, yang pernah viral di tahun 2018, berakhir hanya dalam dua malam.
Pernikahan dini anak tersebut dinyatakan tidak sah, salah satu alasannya karena usia yang masih dianggap bocah. Usia pernikahan yang tidak memenuhi aturan UU No. 1 tahun 1974, 19 tahun untuk mempelai laki-laki dan 16 tahun untuk mempelai wanita. Mengacu pada Undang-Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak memiliki memiliki kreteria khusus. Seorang yang belum berusia 18 tahun masih tergolong sebagai anak.
Kedewasaan usia
Normalnya karakter kematangan usia secara biologis ditandai dengan perubahan fisik pada laki-laki yang mulai menampakkan kemaskulinannya dengan suara yang bertambah berat dan jakun yang mulai tumbuh.
Pada perempuan ditandai dengan sudah mulai tumbuh fisik kewanitaannya, buah dada yang mulai tumbuh membesar. Serta dibarengi dengan datangnya menstruasi, sebagai tanda mulai beroperasi-onalnya fungsi rahim sebagai tempat pembuahan.
Pertumbuhan dan perkembangan fisik setiap anak berbeda, tergantung dari kesehatan dan pemenuhan gizi seimbang setiap anak. Umumnya usia 11-12 tahun sudah memperlihatkan kesiapan fisiknya sebagai usia yang bukan anak-anak lagi.
Islam lebih spesifik membatasi kematangan fisik anak sebagai usia akhil baliqh, yang di tandai dengan mimpi basah untuk anak laki-laki dan menstruasi untuk anak perempuan.
Seketika anak sudah memasuki akhil baliqh, Islam memberikan semua pembebanan/taklif hukum yang harus dipertanggungjawabkannya. Demikian juga pernikahan akan dibolehkan dan sah dilakukan ketika sudah mencapai baligh dengan tanda yang jelas, sebagai tanda kesempurnaan akal dan kesiapan reproduksi.
Namun tentu saja usia baligh tidak secara otomatis menunjukkan kedewasaan seorang, baik dalam pemikiran maupun perbuatan. Perlu adanya pembekalan yang harus difahamkan dan dibiasakan sejak kecil.
Rasulullah mengajarkan bahwa anak usia 7 tahun sudah harus dibiasakan untuk menerima tanggung jawab langsung sebagai hamba. Usia 10 tahun sudah mulai mendapatkan sanksi teguran bila melalikan tanggung jawab.
Shalat sebagai sebuah tanggung jawab utama dan pertama anak kepada Tuhannya. Pembelajaran tanggung jawab ini disiapkan untuk menyambut masa usia balighnya, sehingga usianya akan berimbang dengan kedewasaannya.
Pemberian bekal tentang lika liku pernikahan pun juga harus menjadi sebuah pembelajaran yang harus dimiliki oleh mereka yang belum menikah. Pengaturan dan managemen dalam urusan keluarga juga harus mereka kenal.
Belum lagi situasi konflik yang harus mereka hadapi ketika memutuskan untuk mengarungi bidung rumah tangga dalam komitmen pernikahan. Pernikahan haruslah dijadikan layaknya urusan politik yang menjadi problem solving untuk kehidupan.
Karakter kepemimpinan, kemandirian dan tanggung jawab yang ditanamkan sejak usia dini untuk memasuki usia baligh juga tidak lepas dari pengaturan sistem ekonomi yang menjadi kebijakan Negara. Ekonomi yang semrawut dan kurangnya lapangan kerja tentu menjadi permasalah tersendiri yang juga mempengaruhi setiap aspek dalam pembentukan karakter.
Gejolak yang menggoda
Harus kita sadari beratnya menjadi anak-anak yang memasuki usia baligh, yang disebut sebagai anak-anak remaja zaman now dalam sistem kehidupan yang liberalis-hedonis. Mereka harus berhadapan dengan serangan yang massif dari media massa, terutama televisi dan media online.
Media tontonan mereka bukan lagi film kartun di TV dan kaset CD, tapi sudah lebih wah melalui media online youtube yang kadang nyasar kepada film-film bergenre nakal dewasa.
Serangan massif pornografi dan pornoaksi yang harus mereka hadapi selama 24 jam tanpa batas memasuki ruang privasi dan ruang jiwa mereka, tanpa mereka sadari, bahkan melenakan karakter mereka dengan segudang potensi yang mati. Bahkan mereka mempelajari pendidikan seks di usia dini langsung secara vulgar tanpa sensor oleh keluarga bahkan oleh Negara sekalipun.
Banyak kasus asusila dilakukan oleh anak. Ada saudara kandung yamg menggerayangi adiknya perempuannya sendiri, padahal masih usia sekolah dasar.
Ada sekumpulan anak yang sudah berani melakukan seks secara bergantian, bahkan belaja mempraktekkan semua kepornoaan justru dengan tetangganya yang masih balita. Free seks mengintai pada anak. Televisi dan media online menjadi wadah pergaulan bebas dan ladang inspirasi bagi penontonnya, terutama anak-anak.
Usia yang menjadi tersangka permasalahan yang membawa dampak negative bukannya tambah menjadi bergejolak ketika kebolehan yang halal bukan menjadi jalan pilihan untuk meredamnya.
Justru anak Indonesia berada dalam situasi kewajaran, ketika kehamilan dan kelahiran sebelum menikah menjadi lumrah. Haruskah Bahkan anak Indonesia dengan bangga masuk pasar prostitusi online.
Ketika usia baligh diterpa gejolak, maka sistem sewajarnya mesti meredam, sistem Islam memberi arahan. Pergaulan harus punya aturan, bahkan di abad teknologi Melenia yang berbasis online. Membatasi usia pernikahan tanpa membatasi peluang gelombang kehancuran yang lain hanya sekedar solusi semu sistem sekularis untuk perbaikan generasi. [MO/ge]