Oleh : Ghea RDyanda
Mediaoposisi.com- Tahun politik 2018 telah ditutup, namun tahun 2019 akan semakin memanaskan kondisi perpolitikan di Indonesia. Manuver-manuver politik diluncurkan. Perang kepentingan tarik ulur. Pada akhirnya nasib umatlah yang dipertaruhkan.
Debat pilpres jadi ajang perang janji yang hanya sekedar janji. Al-Quran pun tak luput jadi ajang menaikkan elektabilitas masing-masing kubu. Al-Quran Karim, yang seharusnya dimuliakan justru dijadikan bancakan untuk meraih sekerat tulang dunia yang hina dina.
Rakyat bingung memilih figur pemimpin. Saat ini kita dihadapkan dengan pilihan yang sama-sama buruk yang dipoles dengan berbagai macam citra positif. Diharuskan memilih yang terbaik dari yang terburuk. Adab dan ilmu tak lagi jadi prioritas, yang penting kekuasaan jadi milik sendiri. ‘siang’nya ibarat malam, dimana semuanya gelap. Tak tau mana benar dan salah. Tak ada standar.
Di sela-sela gelapnya malam, muncul secercah cahaya senja. Umat mulai tersadar siapa yang sesungguhnya bersamanya. Siapa yang bervisi akhirat, yang tak takut tuk melaksanakan afdholu jihad. Khilafah sudah seharusnya jadi pilihan, bahkan khilafah adalah mahkota kewajiban.
Sebuah institusi yang mewajibkan pemimpinnya bervisi akhirat. Yang “memaksa” rakyatnya untuk masuk surga, bukan dibiarkan terjerumus dalam kubangan dosa yang menghinakan. Sekali lagi, bukan visi receh yang dibutuhkan apalagi visi untuk terus menelantarkan hukum Asy-Syari’. Visi akhiratlah yang seharusnya jadi visi yang hakiki.
Umat Islam memang harus berkuasa, namun bukan sekedar berkuasa tetapi kekuasaan yang diberkahi, yang mensejahterakan, yang membumikan kalimat langit, dan bervisi meraih ridho Ilahi.[MO/sr]