Oleh : Ghea Rdyanda
(Aktivis BKLDK Jember Raya)
Pernyataan yang tidak kalah kontroversial yaitu tentang penolakan PSI terhadap perda syari’ah. Dengan dalih diskriminasi, mengantisipasi politik identitas, dan menjaga toleransi PSI menolak perda syari’ah.
Merujuk pada UU No.74 tahun 1974 tentang perkawinan. Jika ditelaah secara mendalam, poligami tak serta merta harus ditolak secara mutlak. Hal ini disebabkan adanya keadaan yang memperbolehkan poligami dilakukan, misalnya istrinya cacat atau mempunyai penyakit yang tidak ada kemungkinan sembuh, mandul, maupun tidak mampunya istri melaksanakan kewajiban dalam kapasitasnya sebagai seorang istri.
Pun begitu, poligami sendiri memiliki syarat dengan kualifikasi yang tinggi. Misalnya adanya persetujuan dari istri, ada kepastian bahwa suami bersikap adil, serta menjamin kebutuhan istri dan anaknya dan sebagainya.
Terkait dengan adanya penyelewengan tidak berarti harus meniadakan poligami. Karena kasus yang disorot tersebut bersifat individual, bukan akar masalah. Sehingga mengambil keputusan untuk menolak poligami secara mutlak adalah keputusan dengan pemikiran yang dangkal atau pragmatis sedangkan akar masalahnya sendiri tidak terselesaikan.
Jika dicermati, asas berpikir yang digunakan oleh PSI adalah pemisahan agama dari kehidupan atau yang lebih dikenal dengan sekulerisme. Asas yang terbukti rusak dan merusak ini dengan sengaja dihembuskan kepada umat. Setelah sebelumnya dengan nama jaringan islam liberal yang mengusung konsep yang sama kini sudah tidak lagi laku dijajakan pada umat islam. Beralihlah pada PSI sebagai bentuk inovasi, untuk membungkus pemikiran liberal dengan bungkus yang baru.
PSI dengan massanya yang mayoritas pemuda seolah memberikan gambaran inilah gambaran pemuda millenial. Namun, pada faktanya PSI tak lebih sebagai perpanjangan tangan dari penyebaran invasi budaya dari barat yang dihembuskan pada umat Islam.
Pragmatis, seolah menjadi pandangan yang harus dipakai oleh generasi muda. Padahal pragmatis, atau menjadikan fakta sebagai sumber hukum adalah sebuah kesalahan. Fakta yang terus menerus berubah tak mungkin bisa dijadikan sumber hukum. Perlu konsep yang tetap yang sudah teruji hingga menghasilkan konsistensi hukum.
Selain itu, menjadikan fakta sebagai sumber hukum juga sarat akan kepentingan praktis yang justru akan banyak menimbulkan konflik. Perbedaan kepentingan itu justru akan mempertajam konflik, hingga fakta atau kasus yang seharusnya bisa selesai justru tak tertangani hingga berlarut-larut.
Penetapan UU yang bersumber pada fakta, tidak akan pernah menyentuh akar permasalahan karena fakta yang terjadi saat itu adalah sebuah rangkaian dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Ketika selesai pun, fakta yang terjadi sangat mungkin telah berubah. Hingga keputusan tersebut tak relevan lagi, dan harus mengulang lagi semua dari awal.
Terlepas dari itu semua, PSI yang baru saja berdiri seolah digunakan untuk membenturkan dan mengalihkan umat dari perjuangan yang sebenarnya. Sebagaimana tertulis dalam karya seorang pembaharu abad ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Dukhul Mujtama’. Beliau menyatakan bahwa umat islam akan berhadapan dengan organisasi yang sengaja dibuat tembok penghadang oleh penjajah untuk mengulur waktu dan mengalihkan umat dari perjuangan yang sebenarnya.
Sikap kita, adalah menjelaskan bagaimana hukum islam, menentang opini yang sengaja dihembuskan, serta tetap istiqomah dalam perjuangan penegakan institusi pemersatu umat islam di seluruh penjuru bumi ini.[MO/sr]