Oleh: Mochamad Efendi
Mediaoposisi.com-Segala permasalah banyak bermuncullan di dalam sistem sekuler demokrasi yang memisahkan agama dengan kehidupan.
Aturan Allah, solusi terbaik untuk masalah kehidupan, ditingalkan dan dengan sombongnya menggunakan aturan buatan manusia yang tidak mampu menyelesaikan permasalah sosial yang lagi marak, yakni prostitusi online.
Prostitusi dalam alam demokrasi bukan sesuatu yang haram selama tidak mengganggu masyarakat yang lain. Bahkan, dengan berbagai alasan, bisnis haram ini ada yang dilegalkan karena dianggap memberi nilai manfaat, pemasukan keuangan negara.
Mereka juga berdalih bahwa dengan melegalkan lokalisasi yang isinya bisnis pelacuran akan mencegah penyebaran prostitusi di jalan.
Sungguh logika yang tidak masuk akal dengan membiarkan bisnis prostitusi yang merupakan penyakit masyarakat yang akan merusak tatanan kehidupan masyarakat yang beradab. Hukum yang tidak tegas pada pelaku yang terlibat dalam bisnis ini akan terus menyuburkan bisnis prostitusi ini karena iming-iming keuntungan yang besar.
Seiring perkembangan teknologi dan sosial media, bisnis haram ini dijajakan melalui media online, dan tentunya menjanjikan keuntungan yang lebih besar. Satu malam kencan tarifnya sampai 28 juta karena melibatkan artis dan model papan atas. Ini sangat menggiurkan bagi orang-orang yang terbiasa berfikir kapitalistik. Semuanya akan diukur dengan uang dan nilai manfaat yang akan didapat.
Dalam sistem demokrasi, hukum tidak jelas. Pelaku dosa besar tidak terjerat hukum karena hukum demokrasi tidak mengatur, padahal mereka sudah terbukti melakukan zina, dosa besar.
Mereka tidak tersentuh hukum karena hukum dalam sistem demokrasi hanya menghukum bagi mereka yang memperoleh keuntungan dari bisnis prostitusi illegal. Sementara mereka yang memberi keuntungan pada negara dilindung dan dilegalkan. Kita tentu ingat Alexis yang didalamnya terdapat bisnis pelacuran terselubung yang saat itu dilindungi oleh penguasa.
Dalam kasus prostitusi online yang melibatkan para artis yang terjerat hukum hanyalah mucikarinya yang mengambil keuntungan dari bisnis haram ini.
Para artis yang menjadi pelacur dan lelaki hidung belang yang menikmati perbuatan melacurnya hanya dijadikan saksi karena hukum tidak mengatur hukuman bagi penzina jika itu dilakukan suka sama-suka, tidak ada keuntungan financial atau paksaan di dalam perzinaan itu.
Padahal perbuatan Zina inilah penyakit masyarakat yang menjadi biang masalah dan kerusakan. Kehancuran sebuah keluarga juga berawal dari perbuata zina. Seorang remaja terdorong melakukan perbuatan sadis yang melanggar hukum juga disebabkan perbuatan zina yang mereka lakukan.
Seperti yang terjadi di kwangsan Sedati Sidoarjo, pelajar SMK tega membunuh bayi perempuan yang tidak berdosa hasil dari perbuatan zina yang mereka lakukan. Sungguh, zina akan membawa malapetaka pada masyarakat. Nasab yang tidak jelas jika seorang pelacur sampai hamil dan melahirkan seorang anak. Korbannya adalah anak yang tidak berdosa.
Dalam Islam hukumannya jelas bagi penzina baik suka sama suka atau karena terpaksa. Hukuman sangat tepat untuk para penzina agar mereka jera bagi yang lain. Hukuman ini juga berfungsi sebagai penebus dosa bagi pelaku.
Jika syariat Islam diterapkan secara kaffah akan menghilangkan semua bisnis haram, termasuk prostitusi online.
Sosial media yang merupakan produk teknologi harus digunakan secara bijak. Disinilah fungsi pemerintah untuk melindungi rakyat dari dampak buruk perkembangan media sosial. Jangan ulama' yang diawasi dan dipersekusi.
Bisnis-bisnis haram yang tersebar melalui media online ini yang harus diawasi dan diberantas dan dikriminalkan sehingga kehidupan masyarakat yang beradab dan bermartabat bisa terus terjaga.
Hanya khilafah yang akan memberantas segala bentuk penyakit masyarakat termasuk masalah prostitusi online.
Demokrasi dengan pemikiran sekularisme dan kapitalisme, hanya akan menyuburkan praktek prostitusi online. Masyarakat yang beradab dan bermartabat akan terbentuk dengan khilafah. Rakyat hidup aman, sejahtera dan terlindungi dari berbagai penyakit masyarakat.[MO/ge]