Oleh : Rizkya Amaroddini
(Mahasiswi STEI Hamfara)
Mediaoposisi.com- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menerima bailout (dana talangan) sebesar Rp 4,993 triliun dari kemenkeu (Kementrian Keuangan). Pada tahun 2018 yang di dasarkan
pada rencana kerja dan anggaran tahunan (RKAT) mengalami defisit arus kas (cashflow) berkisar Rp 16,5 triliun. Defisit lain berasal dari Cukai Rokok sebesar 50%.
Bentuk efisiensi yang di lakukan berupa penyakit katarak, persalinan bayi, dan fisioterapi. Direktur BPJS Fahmi Idris mengatakan bahwa “ Dalam layanan ini kami tidak mengurangi atau menghilangkan layanan”. Bentuk lain berupa rujukan online, pelayanan ini akan memperoleh layanan rumah sakit berupa kompetensi, jarak, dan kapasitas rumah sakit yang menjadi rujukan pasien.
Pada tahun 2017, premi per orang mencapai kisaran Rp 34. 119, sementara rata-rata biaya per orang sebesar Rp 39.744 per bulan. Artinya : ada selisih sebesar Rp 5.625 per bulan yang di tanggung oleh BPJS kesehatan.
Kebijakan BPJS lahir dari Undang-undang No. 24 tahun 2011 dan kebijakan tentang Jaminan Sosial Negara (SJSN) lahir dari UU No. 40 tahun 2004 merupakan produk liberal agar dapat mewujudkan kepentingan Asing. Sama halnya dengan UU Migas, SDA, dan Penanaman Modal di Indonesia merupakan produk liberal serta keterikatan dengan perjanjian-perjanjian luar negeri.
Pasalnya undang-undang secara fundamental memberikan jaminan kesehatan terhadap rakyat merupakan kewajiban dari Negara namun jaminan telah di ubah menjadi asuransi social. Penjajahan ekonomi melalui program Pemerintah sudah jelas memiliki maksud terselubung. Program tersebut menyatakan bahwa kesehatan setiap individu rakyatnya akan di tanggung oleh pemerintah.
Namun faktanya, Pelayanan terhadap rakyat justru terbengkalai, banyak pihak yang tidak merespon atas penderitaan rakyat. Bahkan biaya pengobatan di bayar sendiri oleh rakyat. Sekalipun di berikan layanan namun tidak secara maksimal. Inikah wujud kesejahteraan dari sistem saat ini ?
Banyak kebijakan yang menyengsarakan rakyat, mereka para penguasa yang duduk manis hanya bertumpu tangan menerima uang sedangkan rakyat terus di peras melalui program yang berkesan mengurusi rakyat. Faktanya hanya omong kosong. UU pun memposisikan hak social rakyat menjadi
komoditas bisnis, Negara ini benar-benar mengeksplotasi rakyat demi keuntungan pribadi.
Bukti nyata pengaruh neoliberalisme terhadap Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai ladang jaminan social untuk investasi melalui program BPJS. Masihkah rakyat mempertahankan sistem yang rusak ini ?
Dalam pandangan Islam, jaminan social seperti BPJS merupakan haram. Karena produk ini jelas milik penjajah yang secara nyata akan menguasai dan mengendalikan umat muslim. Penetapan program tersebut sejak pemerintahan SBY hingga era Jokowi terus memberikan dampak negative terhadap jaminan kesehatan dan ekonomi di Indonesia.
Produk-produk liberal tidak akan di adobsi oleh ideology Islam. Islam memiliki perisai yang mampu menjamin kebutuhan rakyat baik muslim atau non muslim. Islam akan menghapuskan kebijakan kebijakan yang pro dengan penjajah dan akan memberlakukan kebijakan sesuaihukum syara’. Sistem Islamlah yang mampu mewujudkan kesejahteraan bagi semuanya, yakni dengan kembalinya Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah sebagai janji Allah dan bisyaroh Rosulullah. (MO/ra)