Oleh: Nasrudin Joha
Mediaoposisi.com-Pasal 170 UU No. 4/2009 itu memerintahkan penambang termasuk Freeport bikin smelter, paling lambat lima tahun. Jadi, tahun 2014 seharusnya freeport kelar memiliki smelter.
Smelter ini penting, setidaknya untuk beberapa hal :
Pertama, ada nilai tambah dari hasil tambang jika proses pemurniannya dilakukan di Indonesia. Menyerap tenaga kerja lebih banyak, manfaat produk lebih variatif, kontrol negara lebih maksimal. Intinya, ada nilai tambah dan nilai lebih dari proses pemurnian tambang.
Kedua, kedaulatan tambang ada pada kendali NKRI. Bukan perusahaan tambang. Negara, bisa mengontrol proses pemurnian sehingga peluang penambang nakal, bisa dieliminasi.
Ketiga, menjamin kepastian jumlah dan varian tambang yang digali dari bumi pertiwi. Selama ini, semua bahan mentah dalam bentuk konsentrat langsung diusung ke luar negeri. Negara hanya mendapatkan manifest laporan penambang, tanpa bisa mengontrol kebenarannya.
Contoh, bagaimana mungkin negara bisa tahu kalau yang di ekspor konsentratnya 200 ton, bukan 20.000 ton, wong kontrol ada pada penambang ? Bagaimana negara bisa tahu, yang dibawa cuma emas dan tembaga, tanpa uranium ? Thorium ? Dan siapa yang menjamin perbandingan emas dan tembaga 3:7, bagaimana jika emas dan tembaga yang dibawa ke luar negeri 8:2 ?
Tapi aneh, bukannya negara memaksa freeport bikin smelter Pemerintah justru terbitkan izin eksport konsentrat ke freeport yang tak jua kunjung bangun smelter. Kini, setelah Inalum borong mahal 51% saham Freport (PI Rio Tinto) dengan harga USD 3,8 miliar, freeport juga dipaksa ikut iuran bangun smelter.
Inalum selaku pemegang 51% saham Freeport akan menyetorkan investasi smelter sebanyak US$ 1,53 miliar, dari total investasi membangun smelter sebesar US$ 3 miliar atau Rp 42,2 triliun.
Ini negara bodoh kudrat ! Sudah membeli dengan mahal, dimana untuk 51 % harus bayar USD 3,8 miliar, sementara Indocooper 9,63 % harganya cuma USD 400 juta. Kini, Inalum ikut tanggung beban bikin smelter USD 1,5 miliar ! Bodoh !
Apalagi, dalam dua tahun Inalum tidak dapat Deviden freeport. Artinya, dua tahun ini Inalum keluar duit doang.
Pertama, keluar duit untuk borong saham mahal frerport USD 3,8 miliar.
Kedua, keluar duit untuk bayar cicilan dan bunga kupon Global Bond yang totalnya USD 4 miliar.
Ketiga, keluar duit untuk bangun smelter yang nilai investasinya USD 1,5 miliar.
Jika Inalum wajib menanggung 51 % biaya bangun smelter, apakah nanti Inalum juga wajib menanggung kerugian kerusakan lingkungan yang ditimbulkan freeport ? Artinya, dari nilai kerugian 185 T akibat kerusakan lingkungan, Inalum (baca: negara) wajib menanggung lebih dari separuhnya ! Ini bodoh kuadrat !
Belum lagi, frerport yang harusnya 2021 hengkang, kini mendapat izin menambang karena IUPK berlaku sejak 2018 hingga 2041. Benar-benar bodoh kuadrat bangsa ini. Sudah merdeka tapi masih bangga dijajah Amerika ! [MO/ge]