Oleh : Nurita Sari
Mediaoposisi.com-BPJS adalah program pemerintah indonesia yang sedang naik daun akhir-akhir ini. Program yang sebenarnya sudah lama dicanangkan oleh pemerintah dalam bidang pelayanan kesehatan, pada awalnya tidak begitu populer karena minimnya sosialisasi. Hanya sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkannya.
Dengan seiring berjalannya waktu, sebagian besar masyarakat mulai berbondong-bondong untuk mengikutinya. Program yang awalnya bersifat “pilihan” pribadi kini berubah status menjadi program “wajib” untuk seluruh rakyat.
Setiap orang memiliki pertimbangan masing-masing dalam memutuskan keikutsertaannya dalam program BPJS.
Sebagian orang menganggap BPJS adalah program yang memberi manfaat sangat besar, sebagian yang lain merasa tidak perlu mengikuti program BPJS dengan alasan regulasi yang tidak jelas, hukum yang meragukan dan lain sebagainya.
Yang jelas dari awal kemunculannya program BPJS sudah menuai banyak polemik. Yang terbaru adalah dikeluarkannya permenKes No 51 2018 tentang urun biaya dalam program BPJS.
Pada intinya masyarakat akan membayar biaya tambahan untuk layanan kesehatan dalam kasus-kasus tertentu.
Deputi Direksi Bidang Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief mengungkapkan urun biaya yang dibebankan pada masyarakat sebesar Rp 10 ribu setiap kali kunjungan rawat jalan di rumah sakit tipe C dan D juga klinik utama, serta Rp 20 ribu untuk rumah sakit tipe A dan B.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.
Penetapan urun biaya paling tinggi Rp 350 ribu untuk paling banyak 20 kali kunjungan dalam waktu tiga bulan.
Peraturan tersebut lahir dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus penyalahgunaan yang terjadi. Sehingga untuk meminimalisir adanya penyalahgunaan dan kecurangan serta mengurangi defisit maka tercetuslah ide “urunan” yang dibebankan kepada rakyat.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menilai langkah tersebut sudah baik dalam hal efisiensi dan mencegah kecurangan yang dilakukan beberapa oknum. "Urun biaya ini merupakan faktor efisiensi supaya tidak terjadi fraud, baik dilakukan oleh oknum dokter, rumah sakit, dan pasien.
Di lapangan kami mendapatkan informasi-informasi seperti itu," kata Tulus. Tulus menilai langkah itu bisa mengefisienkan BPJS Kesehatan baik dari tindakan medis maupun efisiensi untuk mencegah defisit keuangan BPJS Kesehatan.
Penyalahunaan yang terjadi serta defisit yang di alami oleh BPJS seolah hendak dibebankan sepenuhnya kepada rakyat. Bagaimana tidak? Rakyat yang sudah membayar iuran rutin BPJS masih dikenakan biaya urunan setelah berobat.
Aturan urun biaya BPJS Kesehatan kepada peserta program Jaminan Kesehatan dinilai tidak tepat sasaran. Pasalnya, BPJS Watch menyebut bahwa penyalahgunaan layanan kesehatan tidak hanya dari peserta, melainkan juga pihak rumah sakit (RS) dan dokter.
Ini artinya, sambung Timboel, penyalahgunaan layanan kesehatan juga bisa datang dari dokter atau pihak RS. Persoalannya, aturan urun biaya yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 seolah-olah menempatkan peserta layanan satu-satunya yang harus bertanggung jawab.
Dengan di sahkannya PermenKes No 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan, semakin memperjelas keberpihakan pemerintah kepada kapitalis dan kedzolimannya kepada rakyat. Pihak BPJS yang tak mau rugi, regulasi yang terus menerus berubah, dan kondisi rakyat yang terdesak kebutuhan pelayanan kesehatan adalah rangkaian masalah yang hadir dikarenakan sistem yang tidak jelas.
Dari awal dibentuk memang sudah beresiko dan berpotensi menyimpang. Sampai akhirnya timbul banyak masalah termasuk defisit yang di alami BPJS. Upaya meminimalisir penyalahgunaan dan efesiensi tidak bisa dijadikan dalil untuk terus memeras rakyat.
Sudahlah rutin membayar iuran BPJS, ketika sakit dan ingin mendapat pelayanan terbaik masih saja dibebani dengan biaya urunan.
Pemimpin dan jajarannya sudah diberi amanah oleh rakyat untuk mengelola dan mengurusi hajat hidup mereka, mulai dari hajat rohani dan jasmani.
Melimpahnya sumber daya alam harusnya lebih dari cukup bila digunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Mengapa? Karena negara memiliki hak penuh untuk mengelolanya. Namun bila sumber daya alam tidak dikelola dengan bijaksana dan menyalahi syariat maka jelas yang ada hanyalah kekurangan, kerusakan dan masalah yang tak terselesaikan.
Sebagian besar rakyat masih menganggap bahwa pajak, BPJS, dan pungutan apapun yang diterapkan oleh pemerintah adalah suatu hal yang wajar sebagai bentuk pembayaran atas jasa pelayanan umum. Mindset seperti itu harusnya mulai dibenahi.
Rakyat harusnya sadar dan berpikir, seluruh kekayaan alam di bumi indonesia lebih dari cukup untuk dijadikan biaya operasional menjalankan aktifitas Negara.
Dalam sistem islam, negara menjamin pemenuhan pelayanan kesehatan. Rakyat memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan terbaik dalam hal apapun, termasuk pelayanan kesehatan. Solusi satu-satunya hanyalah dengan hadirnya pelaksana sistem kehidupan islam.
Mengapa? Pertama, karena sistem islam adalah sistem ciptaan Pencipta yang Maha Mengetahui, kedua, sistem islam adalah sitem sempurna dan terlengkap yang mengatur seluruh urusan manusia, dan yang paling penting adalah penerapan sistem islam adalah ajaran Islam yang diwajibkan Allah swt kepada kita semua.[MO/ad]