-->

6 Kegagalan Fatal Penegakkan Hukum, Jokowi Pantas Turun Sebelum Akhir Jabatan

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Oleh : Vongola Primo

(Mafia Jurnalis)


Mediaoposisi.com-Inilah investigasi Vongola terhadap kinerja Jokowi-Jk dalam penegakkan hukum selama 4 tahun masa jabatanya.

1. Kinerja Aparat Penegak Hukum Kasus Korupsi Belum Optimal

Salah satu program Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK adalah menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegak hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.1 Ada sekitar 1.055 lembaga penegak hukum yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia khusus untuk menangani tindak pindana korupsi mulai dari tingkat Polres, Polda, Bareskrim, Kejari, Kejati dan Jampidsus.

Tabel 1. Jumlah Lembaga Penegak Hukum

KETERANGAN
JUMLAH LEMBAGA
Kepolisian
535
Kejaksaan
520
TOTAL
1.055


2. Kinerja Kejaksaan Agung yang Kurang Netral


Sebagai cermin Pemerintahan Jokowi – JK di bidang penegakan hukum. Sejak awal, pengangkatan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung sudah menuai kontroversi. 

HM Prasetyo adalah mantan anggota Partai Nasdem yang dalam posisinya sebagai penegak hukum menimbulkan potensi konflik kepentingan, terutama karena dirinya harus mengambil keputusan yang imparsial dalam penegakan hukum. Kekecewaan publik terhadap penunjukan HM. Prasetyo juga dibuktikan dari kinerja yang tidak baik dalam pemberantasan korupsi selama empat tahun ini.

HM Prasetyo
Bahkan, sejak kepemimpinan HM Prasetyo, setidaknya 5 (lima) orang Jaksa yang ditangkap oleh KPK dan 2 (dua) orang jaksa terjerat oleh Tim Saber Pungli. Hal ini menunjukkan sedikit banyak masalah leadership pada institusi Kejaksaan yang semestinya mampu mendorong perbaikan di internalnya.

Jaksa Agung juga terkesan tidak mendukung pembersihan di tubuh organisasnya. Hal itu bisa dilihat dari pernyataannya yang defensif dan menyerang manakala ada oknum Jaksa yang terciduk oleh KPK, seperti menyatakan bahwa KPK melakukan “OTT Receh” terhadap Parlin Purba, serta menyatakan bahwa OTT KPK justru mengundang kegaduhan ketika KPK melakukan OTT terhadap Kajari Pamekasan, Rudi Indra Prasetya.

Simak Juga : Ogah Sampaikan Visi Misi, Eks Relawan : Jokowi Khianati 66 Janji 
                      Ulama Kok Penjilat? Pesan VP Untuk Kyai Ma'ruf Amin
3. Lambannya Penanganan Penyerangan Kasus Novel Baswedan

Novel Baswedan
Pelemahan terhadap KPK dalam berbagai bentuk baik secara isntitusi maupun personal terus saja terjadi, salah satunya adalah penyerangan terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. 6 (enam) bulan pasca penyerangan atau tepatnya 11 April 2017 lalu, Kepolisian Republik Indonesia belum juga berhasil mengungkap pelaku penyerangan, apalagi aktor intelektual yang menyuruh melakukan eksekusi di lapangan.

Meski Polri telah menyebarkan sketsa wajah orang yang diduga sebagai pelaku penyerangan, tapi praktis tak ada perkembangan berarti. Maka tak aneh jika publik mempertanyakan kinerja Polri. Di saat yang sama, Presiden Jokowi juga tidak memperlihatkan dukungan berarti,  misalnya soal dorongan publik untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang tak juga diindahkan.

Link Donasi Untuk Membangun Media Pro Islam
Link Donasi Bantu Muslim Uighur

4. Ketidakberpihakan Terhadap Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

Selain Inpres 1/ 2016, ketidakberpihakan Pemerintahan Jokowi – JK juga dapat dilihat dari Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Pada 2015, Presiden Jokowi baru mengeluarkan Inpres 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi pada 6 Mei 2015, dan Inpres 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi pada 22 September 2016. 

Kedua Inpres ini dikeluarkan untuk masa berlaku yang sangat pendek mengingat proses untuk menerbitkannya sangat lama. Akibatnya, waktu yang disediakan untuk mengevaluasi implementasi Inpres menjadi tidak tersedia, dan akibatnya, minim daya tekan untuk dilaksanakan K/L.

Dilihat dari substansinya, Inpres ini memiliki semangat baik, namun tidak akan dapat menjawab tantangan pemberantasan korupsi di level birokrasi manakala tidak dibarengi dengan mekanisme reward and punishment bagi K/L yang melakukan atau tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya sebagaimana tertuang dalam Inpres tentang Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi ini. Tunggakan Program Nawa Cita dalam Penguatan Upaya Pemberantasan Korupsi

Dalam hal pemberantasan mafia peradilan, Kabinet Kerja jelas masih memiliki Pekerjaan Rumah yang berat, utamanya jika melihat beberapa jaksa dan anggota Polri yang diciduk baik oleh KPK, maupun oleh Tim Saber Pungli. Hal ini diperparah juga dengan masih minimnya upaya bersih-bersih internal lembaga baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kepolisian Republik Indonesia.

Selain terkait dengan upaya penegakan hukum, penguatan upaya pemberantasan tindak pidana perbankan dan pencucian uang juga masih belum didukung dengan produk legislasi yang mumpuni. Permasalahan ini harusnya dapat ditanggulangi dengan mempercepat pembahasan RUU Pembatasan Transaksi Penggunaan Uang Kartal yang belum juga terwujud sejak 2015, padahal RUU ini sudah diusulkan oleh Pemerintah dan masuk dalam Prolegnas Lima Tahunan di DPR.

5. Banyak Terjadi Ketajaman Hukum Ke Rakyat Kecil dan Kekebalan Hukum Terhadap Pelaku Tertentu

Kasus yang paling disoroti adalah perkara ujaran kebencian yang menjerat Asma Dewi dan perlakuan penegak hukum terhadap kasus penistaan agama yang melibatkan politikus Partai NasDem, Viktor Laiskodat.

Viktor Laiskodat
"Ibu Asma Dewi ini ada konpres terkait dengan saracen kemudian dibilang sejumlah uang transfer dengan saracen pada akhirnya divonis yang seolah dipaksakan. Sisi lain kasus Viktor Laiskodat sampai sekarang tidak ada progressnya," ujar Habiburokhman dalam diskusi di Prabowo-Sandi Media Center, di Jalan Sriwijaya 35, Selasa (8/1).

Lalu Kasus Drs. Moh.Suherman ditangkap dan ditahan pada tanggal 26 Juni 2018 atas dugaan tindak pidana ITE yang seharusnyatidak layak di pidanakan karena hanya menyebarkan dokumen photo atau gambar, tidak mengedit, tidak mengubah bentuk, juga tanpa menambahkan kalimat provokatif berupa ujaran kebencian yang dapat dijerat dengan Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU No.19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.

6. Pencabutan BHP HTI Dengan Sewenang-wenang Melangkahi Prosedur Hukum

Pencabutan BHP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tanpa proses peradilan telah menunjukkan kepada publik bahwa Rezim seperti memiliki dendam mendalam terhadap salah satu ormas yang sebelumnya legal di Indonesia ini.

Ismail Yusanto (Jubir HTI)
Akibatnya banyak kecaman yang dilakukan berbagai tokoh terhadap perlakuan sewenang-wenang Rezim Jokowi ini. bahkan publik sampai menilai Rezim Jokowi ini Anti Islam karena alasan yang disampaikan seperti menyudutkan ajaran islam yang selalu diserukan oleh HTI [MO]



Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close