-->

Sistem Hukum dan Keadilan

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Ria Nurvika Ginting, SH, MH 
(Dosen FH-UMA)

Mediaoposisi.com- Pembakaran bendera tauhid pada perayaan Hari Santri Nasional (HSN) di Garut, Jawa Barat yang dilakukan oleh ormas tertentu mendapat respon tidak hanya dari umat Islam Indonesia tapi seluruh dunia. Video Pembakaran bendera tauhid yang berdurasi 2,04 menit itu mulai beredar pada Senin, tanggal 22 Oktober 2018 yang lalu dan menjadi viral sehingga langsung mendapat respon kecaman dari seluruh umat Islam.

Tersangka pembakaran bendera pun membuat pernyataan maaf kepada media di Malpolres Garut pada Selasa, Tanggal 23 Oktober 2018 malam dengan didampingi Kapolres Garut AKBP Budi Sattrua Wiguna. Tersangka menyampaikan bahwa mereka melakukan pembakaran karena menganggap bendera tersebut adalah bendera milik ormas yang terlarang.

Pernyataan maaf telah dilakukan tapi hukum tetap harus berjalan. Sidang untuk tersangka pembakaran bendera pun digelar dan babak akhirnya adalah dua tersangka pembakar bendera di Garut ini dijatuhi vonis 10 hari penjara dan denda Rp.2.000.

Timbul beberapa pertanyaan dengan dijatuhkannya vonis 10 hari penjara dan denda Rp.2000 ini kepada tersangka pembakaran bendera. Pertanyaan pertama, apakah jatuhnya vnis hukuman ini kepada para pembakar bendera yang bertuliskan tauhid di Garut sudah adil dan tepat? Tuntutan yang diajukan kepada para pembakar bendera pun menggunakan Pasal 174 KUHP. Pasal tersebut memuat norma hukum pidana yaitu “sengaja mengganggu rapat umum yang diizinkan dengan jalan menimbulkan kekacauan atau suara gaduh”.

Tersangka pembakar bendera tersebut hanya dipandang dari sisi mereka melakukan kegaduhan selama agenda Hari Santri Nasional di Garut. Pertanyaan berikutnya, apakah tuntutan Pasal 174 sudah termasuk mengadili perbuatan pembakaran bendera tauhid yang merupakan simbol umat islam, inti ajaran umat islam.

Pembakaran bendera tauhid tersebut telah melukai umat islam. Hal ini juga seharusnya menjadi pertimbangan dalam memandang kasus tersebut. Alasan bahwa itu adalah bendera ormas tertentu pun terbantahkan karena ormas  tersebut tidak pernah mendaftarkan bendera tauhid sebagai miliki ormas tersebut.Selain itu, ormas yang diduga pemilik bendera tersebut juga tidak pernah dinyatakan sebagai ormas terlaranng. Ormas tersebut hanya diputuskan bahwa BHP nya dicabut. Ini juga seharusnya menjadi perhatian jangan sampai para pemimpin yang pastilah orang-orang cerdas menyebarkan hoax ditengah-tengah masyarkat.

Umat islam telah merasa tersakiti dan ternodai dengan dibakarnya kalimat tauhid yang merupakan dasar dari agamanya. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi penegak hukum untuk menyatakan kasus ini termasuk dalam pasal penodaan agama. Namun, hal ini tidak dilakukan karena penegak hukum menyatakan alasannya karena para pembakar bendera tidak ada ‘mens rea’ (niat jahat).  Padahal harus diingat dan dipahami dengan seksama dan cermat bahwa persoalan pembakaran bendera yang bertuliskan kalimat tauhid ini telah menimbulkan reaksi keras dan meluas.

Bahkan, bukan hanya umat Isalm di Indonesia tapi juga merambah ke umat islam di berbagai dunia. Kembali umat islam merasa tidak mendapatkan keadilan bagi ajaran agamanya yang seharusnya juga mendapatkan perlindungan dari hukum. Sebagaimana telah tercantum dalam UUD Negara dan Pancasila. Hak bagi masyarkat untuk beragam dan melaksanakan ajaran sesuai agama dan keyakinannya tersebut. Hal ini lah salah satu yang menjadikan umat kembali turun ke jalan dengan Reuni Akbar Aksi Bela Islam Jilid 2.

Hukuman yang diberikan kepada pembakar bendera dengan vonis penjara 10 hari dan denda Rp.2000 tersebut terlalu ringan dan kesannya menganggap bahwa perbuatan tersebut merupakan hal yang sepele padahal reaksi yang ditunjukkan oleh masyarakat khususnya umat islam seharusnya menjadi pertimbangan bahwa hal ini telah menodai tauhid yang diagungkan oleh agama tertentu yaitu umat islam.

Hukuman yang seringan itu bukan tidak mungkin akan ada keinginan untuk yang lain  melakukan hal yang sama dimasa yang akan datang. Sebelumya juga hal ini telah terjadi. Ringannya hukuman yang dibeikan kepada pejabat yang telah menista agama umat islam berikutnya semakin menjamur penistaan-penistaan agama yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Hal ini karena tidak ada ketakutan untuk terjerat hukum yang berat dengan melakukan hal tersebut.

Indonesia yang mayoritas masyarkatnya adalah umat islam merupakan asset yang besar bagi Negara ini. Aksi Bela Islam di reuni Akbar 212 menjadi pemadangan yang tak terbantahkan dan nyata menunjukkan bagaimana potensi umat islam, baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Potensi ini seharusnya dijaga oleh Negara dengan memberikan keadilan kepada umat islam.

Hukum Bagi Pembakar Bendera
Membakar bendera tauhid yang diyakini oleh umat islam ini adalah bendera Rasulullah dan bendera nya umat islam tidak hanya ditanah air tapi juga di dunia jelas merupakan kemungkaran paling besar dan termasuk pelecehan, penghinaan dan penyerangan terhadap symbol-simbol Islam. Pelakunya jika muslim dihukumi murtad dari islam dan wajib dihukum mati. bagaimana seorang muslim membakar bendera tauhid sedangkan dahulu para sahabat mempertahankan dan menjaga bendera tersebut dengan mempertaruhkan nyawanya. 

Dalam Negara Islam (Khilafah Islam), ada ketentuan hukuman bagi pelaku penista agama secara terang-terangan. Disebutkan dalam kitab Nizham Uqubat karya syeikh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan beberapa tindakan yang dikategorikan menodai agama islam beserta sanksi yang diterapkan Negara atas pelakunya:

Orang yang melakukan propaganda ideology atau pemikiran kufur diancam hukuman hingga 10 tahun. Jika ia seorang muslim maka sanksinya adalah sanksi murtad yakni dibunuh.
Orang yang menulis atau menyerukan seruan yang mengandung celaan atau tikaman terhadap akidah kaum muslim diancam 5-10 tahun. Jika celaan tersebut masuk dalam kategori murtad maka pelakunya (jika muslim) dibunuh.

Orang yang melakukan seruan pemikiran kufur kepada selain ulama atau menyebarkan pemikiran kufur melalui berbagai media dipenjara hingga 5 tahun.

Orang yang menyerukan seruan pada akidah yang dibangun atas dalil zhann atau pemikiran yang dapat mengakibatkan kemunduran umat islam dicambuk dan dipenjara hingga 5 tahun.
Orang yang meninggalkan shalat dipenjara hingga 5 tahun. Jika tidak berpuasa tanpa uzur, ia dipenjara dua bulan dikalikan puasa yang ia tinggalkan dan orang yang menolak menunaikan zakat selain dipaksa membayar zakat ia dipenjara hingga 15 tahun.

Sistem islam yang sempurna mengatur segala aspek kehidupan begitu juga dengan penista agama sudah jelas dalam syariatnya. Sanksi yang diberikan tidak ringan karena ini merupakan penjagaan Negara terhadap agama dan akidah umat. Siapa pun tidak akan sembarangan dalam berkata dan bertindak jika itu terkait dengan agama dan akidah.

Bukan berarti islam tidak membolehkan untuk mengeluarkan pendapat dan mematikan kreatifitas seseorang. Silahkan berpendapat dan berkreatifitas selama dijalur syariatnya.Hal ini berbeda dengan demokrasi yang diterapkan saat ini yang memberikan ruang kebebasan berpendapat apa saja. Sehingga pendapat dan kreatifitas yang dilakukan oleh seseorang pun kebablasan. Ditambah sanksi yang diberikan oleh hukum pun tidak berat sehingga tidak ada efek jera dan mebuat hal tersebut berulang kali terjadi.

Saatnya umat islam mulai memikirkan kepemimpinan islam yang mengerti akan hukum yang menjadi sumber segala hukum keadilan. Pemimpin islam yang berjuang menegakkan nilai-nilai islam yang rahmatan Lil ‘alamin. Penjagaan terhadap akidah dan agama pun menjadi hal yang tidak sepele dan akan dikenakan sanksi yang berat sesuai hukum syariatnya. [MO/sr]




Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close